Mohon tunggu...
dedi s. asikin
dedi s. asikin Mohon Tunggu... Editor - hobi menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sejak usia muda

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tarik Tambang, Peternak Ayam Vs Petani Jagung

17 September 2021   13:03 Diperbarui: 17 September 2021   13:06 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari lalu saya sempat merasa gembira. Waktu itu baru saja membaca chatingan teman-teman di grup WA TASELA. Chatingan itu cukup banyak bersahut sahutan.

Ternyata mereka sedang peduli dan apresiasi atas panen jagung di kebun penduduk.

Diceritakan ada seorang guru SD bernama Hasan yang berpanen 4 ton jagung dari 1 ha lahan di blok  Rancailat Padawaras kecamatan Cipatujah.

Dari ladang jagung itu pak guru mengantongi Rp.20 juta. Jumlah yang patut disyukuri karena harga jagung sedang selangit, Rp 5.000,-/kg. Itu harga yang layak dan membuat petani jagung tak sesak jantung. Benefit cost rasio jagung dengan harga itu bisa terbaca jika biaya produksi jagung per hektar Rp. 4.500.000,- maka keuntungan petani Rp.15.500.000,- setiap musim panen.

Kegembiraan saya bukan hanya keberuntungan petani jagung, tetapi juga karena adanya peduli teman-teman di Presidium Tasik Selatan kepada perkembangan ekonomi masyarakat di sana. Saya memang sudah berulang mengusulkan agar arah perjuangan juga difokuskan kepada pembangunan ekonomi di selatan Jawa Barat Selatan ic Tasik Selatan.

Usul ini dulu saya terima antara lain dari gubernur Jabar waktu itu pak Ahmad Heryawan. Hal demikian itu disampaikan kang Aher ketika saya ikut bersama Forum Jabar Selatan menemuinya di gedung Pakuan akhir tahun 2009.

Waktu itu TASELA g bersama 4 wilayah selatan Jabar lain sedang berusaha memperjuangkan pembentukan Daerah Otonomi Baru.

Kata kang Aher, sambil menunggu proses DOB, lebih baik kita secara bersama juga membangun ekonomi masyarakat JBS. Saya tidak tahu apakah waktu itu kang Aher sudah punya firasat politik bahwa pembentukan DOB itu bukan perkara gampang, bukan "simsalabim, abra kadabra".

Ternyata firasat politik pak gubernur memang nyata terbukti. Sampai sekarang DOB JBS itu belum ada yang terwujud. Salah satu sabab musababnya adalah moratorium yang dilakukan pemerintah.

Nah jadi saya pantas bergembira ketika membaca berbalas pantunnya  teman teman soal panen jagung itu.

Saya pikir, ini pemikiran maju dan dinamis dari teman teman di Tasela. Tidak lagi terus terusan terbelenggu oleh masalah DOB. Tetapi tak kalah penting juga masalah ekonomi. Masalah keroncong perut banyak orang.

Tetapi kemarin saya terkejut dan sebentar menundukkan kepala.

Ada sebuah chat di WA kemudian,  yang berbunyi "gara-gara Suroto, harga jagung turun lagi".

Suroto itu seorang peternak ayam yang tiba-tiba "slonongboy" membentang sebuah spanduk di depan hidung presiden Jokowi di Blitar.

Spanduk itu berbunyi ; "Pak Jokowi bantu peternak ayam membeli jagung dengan harga wajar".

Suroto yang sempat disergap dan diamankan polisi akhirnya diundang Presiden ke istana.

Aspirasi peternak ayam Blitar yang dibawa nekad Suroto mendapat tanggapan Presiden. Salah satunya segera setelah itu 3000 ton jagung dikirim ke Blitar. Saya tak paham persis apakah jagung itu hadiah atau beli murah.

Namun yang membuat saya sempat terkejut dan sebentar tertunduk adalah protes teman saya di TASELA itu. Bahwa gara gara Suroto harga jagung turun lagi.

Apakah benar demikian, apakah secepat itu efek sampingnya ? Kok bisa secepat itu ya ? Memang logis terjadi "balak genep" alias "efek gapleh" atas kebijakan harga itu.

Tetapi setahu saya jagung untuk  pakan ternak itu berasal dari jagung impor. Kita memang masih menginpor jagung lebih dari 500 ribu ton setiap tahun. Junlah itu menurun jauh dari 6 tahun'lalu. Tahun 2015 kita masih import 3,3 juta ton jagung.

Sepertinya kebijakan pemerintah tak bisa parsial dengan hanya menurunkan harga jagung doang. Harus dicari modus lain.

Semua komunitas petani harus dilindungi.

Jagung tidak turun tapi peternak ayam bisa membelinya dengan ringan saku. Misalnya dengan memberi subsidi salah satu komponen produksi ternak ayam.

"Ulah ngeunah Eon teu ngeunah Ehe". Ini mah sama dengan membiarkan mereka bermain tarik tambang seperti di pesta Agustusan.

Semua harus berjalan bersama dan menjadi bagian dan kekuatan dari upaya Pemulihan Ekonomi Nasional yang sedang diasa pemerintah.- ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun