Mohon tunggu...
dedi s. asikin
dedi s. asikin Mohon Tunggu... Editor - hobi menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sejak usia muda

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Kekerasan yang Saya Alami, Gebrak Pistol dan Isu PKI

25 Juni 2021   06:59 Diperbarui: 25 Juni 2021   07:02 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kang Samsul itu orang Madura yang medok. Tapi karena istrinya orang Tasik,  orientasi dan pergaulannya lebih ke sundaan. Maka itu saya selalu panggil dia kang.

Saya merasa kehadiran teman-teman itu yang membuat orang Brigif melepas saya pulang dan minta maaf. Mungkin mereka takut peristiwa penyekapan saya itu menjadi berita di koran koran.  Bisa berabe itu.

Tak hanya kekerasan fisik seperti itu saja yang saya alami. Saya juga mengalami teror mental. Tahun 1980 saya diisukan PKI. Pada saat itu PKI sedang menjadi bulan bulanan. Di PKI keun itu hal yang sangat ditakuti, naif bahkan aib. Tentu saja isu yang setahu saya sengaja dilempar dari kalangan birokrasi yang didominasi Golkar itu tidak saya terima. Ironis sekali.  Saya ini mantan Sekjen SSPTT, Serikat Sekerja Pos Telegraf dan telepon itu anggota Kino Gakari Golkar. Masa di PKI keun.

Saya ini pernah dicalonkan Sekber Golkar untuk mengisi 17 kursi DPRD Kotamadya Bandung yang kosong  karena  terlibat G30S/PKI dan dipecat. Saya juga dicalonkan untuk DPRD Jawa Barat  pada pemilu 1971. Tapi semua kesempatan itu saya abaikan karena saya lebih memilih jadi wartawan.

Semua dokumen bukti bukti keterlibatan saya di Sekber Golkar itu saya serahkan ke Seksi I Korem di Garut. Semua itu diurus teman saya Kustomo yang juga wartawan Mandala. Maka selesailah isu PKI itu.

Ternyata kebencian orang kepada saya tak berhenti juga. Lepas kasus PKI, Muspida Tasik masih terus berusaha membekap  mulut saya dalam profesi sebagai wartawan. Masih sekitar tahun itu Muspida  mengutus Kasdim dan Sekwilda menemui Pemred  Mandala. Mereka minta agar saya dipindah dari  Tasik.

Ketika saya ditanya Pemred saya mengatakan ingin tetap di Tasik apapun adanya. Singkat sekali Pemred, (pak Krisna) menanggapi sikap saya.

"Ya sudah" katanya. Saya tetap di Tasik. Baru pindah ke Bandung ketika ditugaskan menjadi salah seorang redaktur.

Saya ungkap pengalaman ini untuk menjadi suri bagi saya sendiri, bagi teman teman dan adik adik wartawan muda. Profesi ini tetap ada resiko. Ada press phobia, presshatter yang tidak segan "mendor" kita. Tengoklah teman kita yang bernasib malang. Direnggut maut dengan kebencian dan dendam kesumat.- *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun