Mohon tunggu...
dedi s. asikin
dedi s. asikin Mohon Tunggu... Editor - hobi menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sejak usia muda

Selanjutnya

Tutup

Money

Singkong dan Bahan Bakar Nabati

4 Mei 2021   09:44 Diperbarui: 4 Mei 2021   10:04 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2005 kita mengalami krisis Bahan Bakar Minyak. Harga minyak dunia meroket . Bertengger sampai hampir $130 Amrik perbarel. Padahal  APBN kita hanya mematok $.70.

Defisit anggaran menganga lebar. Apa daya ? Menaikan harga minyak terutama bensin bukan perkara gampang. Rakyat pasti ngamuk. Walaupun memang terpaksa juga dilakukan. Apa boleh buat.

Di tengah kekacauan dan kebingungan, muncul ide. Harus mulai melirik potensi alam non fosil.   BBN fosil itu susah diprediksi. Kekayaan alam itu sudah dieksploitasi dan dimanfaatkan lebih dari 200 tahun. Jadi cadangannya sudah menipis dan tidak bisa dibarukan.

Para akhli ekonomi dan pertanian sepakat untuk menggunakan Bahan Bakar Nabati. Bahan bakar yang terbuat dari tanaman yang tersedia di nusantara ini disebut juga Bahan Bakar Terbarukan.

Mengandalkan terus kepada bahan bakar fosil bukan lagi jalan fikir terbaik. Hasil minyak fosil kita hanya tinggal  800 ribu barel per hari. Itu pun 40 persen harus diberikan sebagai profit sharing kepada kontraktor. Padahal kebutuhan kita 1.800 ribu barel.

Sementara itu di bumi pertiwi ini konon tersedia hampir 50 macam tanaman yang bisa diolah menjadi bahan bakar.

Sebut saja singkong, kacang tanah, kelapa sawit, jagung, jarak pagar, kapok, karet, kecipir, akar kepayang, kemiri cina, labu merah, wijen, randu agung, pepaya, pulasan, rambutan, rosela dan lain-lain.

Presiden SBY tertarik ide itu. Lalu dikeluarkanlah Inpres No. 1 tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati sebagai bahan bakar pengganti bahan bakar fosil. Setelah itu Presiden juga membuat Perpres No. 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional.

Untuk meratifikasi kedua sumber hukum itu, SBY juga mengeluarkan Kepres No. 10 tahun 2006 tentang pembentukan tim nasional pengembangan bahan bakar nabati untuk percepatan pengurangan kemiskinan dan pengangguran. Tugas Timnas itu antara lain membuat blue print dan road map pengembangan BBN sebagai acuan operasional.

Tak lama bekerja, masih tahun 2006, Timnas sudah menyelesaikan tugas itu. Dalam hal jenis tanaman Timnas merekomendasikan 2 jenis tanaman yaitu  singkong dan jarak pagar. Pertimbangannya kedua jenis tanaman itu mudah ditanam. Singkong dan jarak pagar itu bisa tumbuh dimana saja. Dari mulai dataran rendah sampai tinggi. Bisa tumbuh di lahan miskin hara dan terlantar. Waktu itu diketahui ada 24 juta hektar lahan terlantar tersebar di beberapa provinsi yang bisa dimanfaatkan. Pertimbangan kedua, tanaman itu minim potensi saing dengan bahan konsumsi terutama jarak pagar.

Menindak lanjuti rekomendasi Timnas, presiden SBY kemudian menunjuk beberapa departemen dan BUMN sebagai lembaga pembina.  Instruksi juga dikeluarkan untuk para gubernur yang memiliki lahan luas untuk tanaman itu.

Konon pula pemerintah sudah merancang pendirian 11 industri pengolahan singkong menjadi bioethanol dan jarak pagar untuk biodessel. Rancang biayanya akan mencapai 200 trilyun yang akan ditanggung renteng pemerintah dan BUMN. Rencananya akan ditanam 6 juta hektar untuk kedua jenis tanaman itu.

Namun sayang program ini ibarat nyanyian Tety Kadi "layu sebelum berkembang". Persoalannya pertama, harga minyak fosil keburu terjun lagi. Bahkan pernah menyentuh harga $.30 per barel. Persoalan ke dua mungkin sulit memperoleh investasi domestik senilai 200 trilyun. Wallahu a'lam.

Dengan tulisan ini saya ingin membangun keyakinan bahwa singkong memiliki potensi ekonomi yang tinggi. Ia bukanlah komoditas rendahan. Bukan lagi cuma makanan orang miskin. Selain dengan teknologi baru singkong, dapat diolah menjadi berbagai kepentingan. Untuk industri dan bahan makanan. Dengan pengolahan menjadi Mocaf singkong menjadi makanan yang enak di mulut dan nyaman di perut. Tanaman itu juga bisa diolah menjadi bahan bakar pengganti bensin.

Gerakan menanam "sampeu" itu sekarang mulai terdengar. Di Jawa Barat sudah ada instruksi Gubernur. Itu diakui oleh Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Jawa Barat Jafar Ismail. Menurut dia, penggalaan singkong akan difokuskan di Jabar Selatan. Di sana banyak "lahan bengong " bekas perkebunan yang kini terlantar. Di Cianjur sudah diperoleh 5 ribu hektar yang bisa segera dimanfaatkan untuk menanam singkong. Akan bekerja sama dengan PTP VIII kata Jafar.

Akan terus diinventarisir, tambah dia  dalam sambutan pelantikan pengurus Masyarakat Singkong Jawa Barat di Lembang beberapa waktu lalu.

Program petani melineal yang sedang diusung pemprov Jabar mungkin salah satunya untuk pengembangan kembali tanaman singkong itu.- ***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun