Konon pula pemerintah sudah merancang pendirian 11 industri pengolahan singkong menjadi bioethanol dan jarak pagar untuk biodessel. Rancang biayanya akan mencapai 200 trilyun yang akan ditanggung renteng pemerintah dan BUMN. Rencananya akan ditanam 6 juta hektar untuk kedua jenis tanaman itu.
Namun sayang program ini ibarat nyanyian Tety Kadi "layu sebelum berkembang". Persoalannya pertama, harga minyak fosil keburu terjun lagi. Bahkan pernah menyentuh harga $.30 per barel. Persoalan ke dua mungkin sulit memperoleh investasi domestik senilai 200 trilyun. Wallahu a'lam.
Dengan tulisan ini saya ingin membangun keyakinan bahwa singkong memiliki potensi ekonomi yang tinggi. Ia bukanlah komoditas rendahan. Bukan lagi cuma makanan orang miskin. Selain dengan teknologi baru singkong, dapat diolah menjadi berbagai kepentingan. Untuk industri dan bahan makanan. Dengan pengolahan menjadi Mocaf singkong menjadi makanan yang enak di mulut dan nyaman di perut. Tanaman itu juga bisa diolah menjadi bahan bakar pengganti bensin.
Gerakan menanam "sampeu" itu sekarang mulai terdengar. Di Jawa Barat sudah ada instruksi Gubernur. Itu diakui oleh Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Jawa Barat Jafar Ismail. Menurut dia, penggalaan singkong akan difokuskan di Jabar Selatan. Di sana banyak "lahan bengong " bekas perkebunan yang kini terlantar. Di Cianjur sudah diperoleh 5 ribu hektar yang bisa segera dimanfaatkan untuk menanam singkong. Akan bekerja sama dengan PTP VIII kata Jafar.
Akan terus diinventarisir, tambah dia  dalam sambutan pelantikan pengurus Masyarakat Singkong Jawa Barat di Lembang beberapa waktu lalu.
Program petani melineal yang sedang diusung pemprov Jabar mungkin salah satunya untuk pengembangan kembali tanaman singkong itu.- ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H