Mohon tunggu...
Dedi Ems
Dedi Ems Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Various organizations during school and college. highest position General Secretary of the Student Senate of the Faculty of Economics, Andalas University. working experience at BRI starting from staff until reaching twice as Head of BRI Branch (Padangpanjang and Sampang). And various Section Heads at Regional Offices and Inspection Offices in several BRI Regional Offices / Kanins.

Selanjutnya

Tutup

Trip

Naik Bis ke Jogja, Siapkan Mental dan Fisik

15 April 2019   09:01 Diperbarui: 15 April 2019   11:04 3945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : id.foursquare.com

Sudah lama sekali saya tidak naik (menggunakan) bis ke Jogjakarta dari Surabaya atau sebaliknya. Terakhir sekitar bulan Februari 2011. Jadi sudah sekitar 8 tahunan yang lalu. 

Waktu itu masih tugas dan berdinas di Kanwil salah bank BUMN, sementara keluarga (anak-anak dan istri) masih tetap berdomisili di Surabaya. Alasan yang sangat mendasar "meninggalkan" keluarga di Surabaya adalah sekolah anak-anak yang "nanggung". 

Ada yang baru masuk SMU/SMA, ada yang sudah kelas 3 SMP, satunya lagi masih SD. Bisa saja sekolahnya dipindahkan, tapi opsi itu sama sekali tidak saya ambil. Karena pertama, pindah sekolah apa lagi ke sekolah yang terbaik/favorit di daerah/kota yang di tuju tidak pernah "gratis". 

Ada biaya "rupiah" yang harus dikeluarkan, dan "ngurusnya" repot. Dan kedua, ada "biaya" yang harus dikorbankan yang tidak bisa dinilai berapa nilai riil rupiahnya. 

Yaitu biaya beban psikologis anak di sekolah yang baru, penyesuaian dengan lingkungan baru (baik saat di sekolah maupun di lingkungan kota/tempat yang baru), ditambah beban persiapan untuk UAN/UAS di sekolah yang baru. 

Untuk penyesuaian atau sinkronisasi pelajaran di sekolah yang lama dengan sekolah yang baru, terpaksa harus dilengkapi dengan les atau belajar di luar jam sekolah. Apakah belajar secara private di rumah atau bergabung dengan lembaga bimbingan belajar/tes. Dan ini adalah biaya tambahan lagi.  

Selama lebih kurang 2,5 tahun berdinas di Jogjakarta, yakni sejak bulan Oktober tahun 2008, hampir bisa dipastikan minimal setiap dua minggu sekali naik bis dan/atau kereta api (KA) untuk bolak-balik Jogjakarta-Surabaya untuk keperluan dinas dan keluarga. 

Kalau naik bis selalu pilihannya ke bis AKAP Patas yang menghabiskan waktu sekitar 7 jam, dan kalau naik KA Executive menghabiskan waktu sekitar 5 jam karena double track-nya baru hanya Jogjakarta-Solo. 

Meski ada perbedaan waktu yang cukup signifikan (sekitar 2 jam), untuk Jogjakarta-Surabaya pilihannya hampir selalu menggunakan atau naik bis AKAP Patas karena waktu keberangkatannya bisa kapan saja. 

Bahasa keren-nya 24/7. Sedangkan kalau naik KA jadwalnya sudah tertentu dan hanya beberapa kali, dan kita tidak boleh telat sampai di stasiun.

Setelah sekitar 8 tahun tidak naik bis AKAP Patas Jogjakarta-Surabaya, beberapa waktu yang lalu saya ada kesempatan untuk bernostalgia ke Kota Gudeg Jogjakarta. Karena sendirian, saya naik bis AKAP Patas seperti dulu karena hitungan secara eonomis jauh lebih efektif dan efisian. 

Ternyata kondisi perjalannya semakin parah. Waktu tempuhnya semakin panjang, yakni menjadi sekitar 9 jam dengan menggunakan jalur yang sama dengan sekitar 8 tahunan yang lalu. 

Alhamdulillah, itu pun tidak ada hambatan yang cukup berarti selama dalam perjalanan seperti kemacetan,  kecelakaan dll. Kalau ada, maka bisa dipastikan waktu tempuh perjalanan akan semakin lama (lebih dari 9 jam).

Berangkat dari Terminal Purbaya Bungurasih Sidoarjo sekitar jam 06.00 WIB, baru sampai di halte Janti (sekitar flyover Janti) sekitar jam 15.00 WIB. Mulai dari terminal Bungurasih Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Kertosono, kawasan hutan Saradan, Ngawi, Sragen, Solo, Kartasura, Klaten, Kabupaten Sleman, dan terakhir Jogjakarta. 

Sumber : id.foursquare.com
Sumber : id.foursquare.com
Relatif hampir tidak ada penambahan lebar ruas jalan sama sekali, sementara di sisi lain jumlah kenderaan semakin banyak. 

Pada hal jalan sepanjang sekitar 325 km ini adalah juga infrastruktur jalan nasional yang sangat bisa menggerakan perekonomian hingga ke lapisan yang paling bawah. Sangat berbeda perlakuannya terhadap infrastruktur jalan tol, yang belum tentu dinikmati oleh seluruh orang.

Akibatnya terjadi perebutan luas lahan atas jalur jalan yang terbatas ini dengan berbagai moda transportasi. Mulai dari bis AKAD, AKAP (Patas, Ekonomi, Super Executive, bis mini, bis kota), Angkot, Angdes, truk (tronton, gandeng, konteiner, engkel), pick up, sepeda motor, andong, sepeda angin/pancal (anak sekolah), becak, bentor dsb. 

Luas/lebar jalan yang terbatas ini semakin sempit karena ada kenderaan yang parkir seenaknya (syukur-syukur di pinggir atau di bahu jalan), pedagang asongan di setiap prapatan/pertigaan TL, Pak Ogah yang katanya "membantu" kenderaan lain untuk mutar balik di u-turn, di pertigaan atau prapatan jalan desa/kampung. 

Jalan di beberap tempat juga sebagian digunakan untuk lahan jemuran padi/gabah serta gilingan padi berjalan (portable).

Karena luas lahan yang tidak bertambah sementara jumlah kenderaan semakin banyak, ini yang membuat waktu tempuh menjadi tambah lama. Semua kenderaan berebut tempat di lahan/jalan yang sama. Akibatnya kecepatan kenderaan di saat tertentu hanya bisa dipacu maksimal sekitar dalam kecepatan 60 km/jam. 

Dan kalau sudah ketemu truk gandeng, tronton dan kenderaan berat lainnya, kecepatan kenderaan yang dibelakangnya terpaksa mengikuti truk tersebut dengan kecepatan sekitar 20 km/jam. 

Mau disalip atau didahului juga sulit sebab dari arah berlawanan kondisinya juga sama, dan hanya tersedia dua jalur meski statusnya jalan nasional. Dan kesempatan untuk memacu kenderaan secara maksimal hampir tidak bisa sakingnya banyaknya kenderaan di jalan.

Kondisi ini akan semakin parah jika ada kenderaan, apalagi truk gandeng atau tronton yang rusak atau ngeban di jalan. Karena truk ini akan menutupi satu jalur sendiri. 

Jika tidak ada yang mengatur buka tutup antrian/jalan oleh Polisi, bisa-bisa kita akan terjebak lama menunggu kesempatan untuk mendahului kenderaan rusak/ngeban yang berhenti tersebut. 

Atau minimal "dibantu" Pak Ogah yang berbaik hati untuk mengatur kelancaran lalu lintas. Belum lagi jika terjadi kecelakaan karena berebut lahan jalan yang terbatas, atau ada perbaikan tambal sulam jalan, ini akan semakin memperparah jumlah waktu perjalanan. 

Waktu perjalanan akan bertambah lagi jika kita harus menunggu beberapa menit KA yang akan lewat di setiap pintu pelintasan KA.

Meski sudah 8 tahunan, relatively hampir tidak ada perbaikan yang berarti terhadap kualitas infrastruktur jalan nasional sepanjang 325-an km ini. Kita hampir tidak pernah menemukan jalan yang benar-benar halus dan mulus. Banyak sekali jalan berlubang. 

Kalau pun lubangnya ditambal (diperbaiki), tambalannya lebih tinggi dari permukaan jalan semula. Sehingga saat dilewati, baik jalan yang berlubang maupun yang sudah ditambal tetap sama, bikin gronjal-gronjal yang parah di kendaraan.

Kondisi jalan yang seperti ini, jelas tidak membuat nyaman bagi pengguna jalan dan kenderaan. Bagi pengguna akan membuat tubuh menjadi lebih cepat capek dan lelah serta stress di jalan. 

Sedangkan bagi kenderaan kondisi jalan seperti itu akan memperpendek umur ekonomis dan tekhnis kenderaan. Di mana ujung-ujungnya akan menimbulkan biaya perawatan kenderaan yang cukup besar dalam jangka panjang.

Jadi kalau mau naik (menggunakan) bis dari/ke Jogjakarta-Surabaya atau sebaliknya, dan ternyata bisnya melewati jalan nasional biasa (tidak lewat jalan tol) siapkan fisik dan mental anda dari awal. 

Karena akan menguraskan fisik dan mental anda yang disebabkan oleh kondisi selama perjalanan seperti yang diceritakan di atas. Jika tidak melakukannya, maka akan rugi sendiri. 

Rugi waktu, rugi fisik, rugi mental, rugi capek, rugi stress dsb. Untungnya biaya rupiahnya jauh lebih murah.  Kalau sudah siap dari awal, tentu anda akan menikmati perjalanan ini dengan optimal.

Kalau kondisi perjalanan kita via jalan nasional sudah seperti ini, apakah kita akan tetap menggunakan infrastruktur jalan nasional ini, atau pindah ke jalan tol yang kondisi kualitas jalannya sudah agak lebih baik meski tidak sehalus atau semulus yang kita harapkan. 

Jika pernah mencoba jalan tol di luar negeri, di Eropa misalnya, pasti akan bisa merasakan perbedaan kualitas yang sangat signifikan dengan jalan tol di Indonesia.  Atau tidak usah jauh-jauh, bandingkan saja dengan dengan negara jiran kita Malaysia atau Singapore. 

Tapi karena kita baru punya jalan tol dengan kualitas begitu, yah kita terima aja dulu. Alhamdulilah Tuhan YME telah mengizinkan bangsa Indonesia sudah punya jalan tol.

Jawaban atas pertanyaan/pilihan di atas, bagi anda yang punya mobil dan punya duit lebih, jangan berpikir panjang lagi, segera saja masuk tol mulai dari Kota Surabaya. 

Selanjutnya jika anda punya atau menggunakan kenderaan sendiri dengan penumpang minimal 4-5 orang, dan kebetulan punya penghasilan terbatas, lebih baik "dengan sedikit maksa” untuk masuk ke jalan tol. Kalau perlu urunan untuk biaya tolnya.

Meski keputusan untuk masuk ke jalan tol merupakan keputusan yang berat bagi sebagian besar pengendara/pemilik mobil, akan tetapi ini adalah pilihan yang bijaksana. Karena bisa memperpanjang umur ekonomis dan tekhnis mobil anda karena kualitas jalannya agak lebih baik dibanding jalan nasional. 

Anda tidak perlu repot berebut lahan jalan dengan moda dan pengguna infrastruktur jalan lainnya sehingga konsentrasi berkenderan bisa lebih optimal. 

Anda bisa lebih fokus nyetir tanpa ada banyak gangguan pikiran yang merusak konsentrasi. Karena perjalanannya lancar, dalam waktu sekitar 5 jam, anda sudah sampai di Jogjakarta. 

Kelebihan ini yang harus kita bayar karena menggunakan infrastruktur jalan tol. Fisik anda menjadi lebih fresh dibanding jika lewat jalan nasional biasa. Ada rupa, ada rasa, ada harga. So, bayar aja tolnya....! Meski berat...!

Sumber : Ponta.id
Sumber : Ponta.id
Sayangnya belum ada hingga saat ini bis AKAP/AKAD Surabaya-Jogjakarta atau sebaliknya yang secara rutin/reguler melewati jalan tol karena pertimbangan biaya tol yang memberatkan bagi driver bis. 

Kalau pun ada, biasanya sebelum berangkat dari terminal atau sebelum masuk pintu tol, kondektur "mengadakan rapat" dulu dengan para penumpangnya. Cerita salah satu penumpang, pernah suatu saat dari Surabaya menuju Jogjakarta dari terminal sudah ada 19 orang penumpang dari 50-an korsi yang tersedia. Kebetulan ke-19 penumpang itu turunnya di Solo dan Jogjakarta. 

Pada saat "diadakan rapat", salah seorang penumpang mengajukan diri akan membayar tolnya sendiri. Kebetulan Bapak itu punya kartu tol Brizzi dan saldonya cukup untuk lewat tol. Baik sekali Bapak ini. Karena kemurahan hati Bapak ini, menolong 18 penumpang lainnya menjadi lebih cepat sampai di Solo (+/- 3 jam kemudian) dan Jogjakarta (tambah +/- 2 jam lagi).

Kalau kita naik bis ketemu dengan case di atas, berarti kita saat itu sangat beruntung. Tapi kalau tidak, kita haruskan siapkan fisik dan mental untuk menikmati naik bis ke Jogjakarta. Waktunya akan lama (+/- 9 jam kalau lancar), tiba-tiba bis akan ngerem mendadak menghindari kecelakaan, tubuh anda akan dibanting ke kiri dan ke kanan, atau malah tiba-tiba merasakan loncatan atau terjun/turunan yang tiba-tiba karena kondisi jalan. 

Suara klakson bis yang berisik minta pengguna jalan lain untuk lebih waspada, jalan bis jadi pelan karena mengikuti truk yang sarat muatan dan berbagai hambatan lainnya, banyak lagi faktor yang membuat perjalanan tidak nyaman. Semoga ke depan ada bis AKAP/AKAD yang secara rutin melewati jalan tol, meski dengan konsekuensi ongkos bisnya menjadi mahal.

Jika semua kenderaan sudah lewat tol, meski berat dan terpaksa, tentu kewaspadaan dalam berkendera di jalan tol tetap jadi perhatian utama. Sayangnya, mentang-mentang sudah di jalan tol dan bayar, masih banyak ditemui pengendara yang seenaknya. 

Rambu-rambu yang ada di sepanjang jalan tol dicuekin, diterabas, tanpa memikirkan atau mengabaikan hak dan kewajiban berkenderaa, tanpa memikirkan pengguna jalan tol lain, tanpa mempertimbangkan safety ride di jalan tol. Misalnya batas maksimal/minimal kecepatan tidak diperhatikan, kecepatan minimal (santai) tapi di jalur kanan, rambu-rambu dianggap bagian dari view selama menikmati jalan tol, dan banyak lagi. 

Dan itu bukan etika sopan santun berkenderaa yang baik. Kalau anda menemukan atau melihat pengendara mobil yang tidak beretika tersebut, pasti dia sedang mempertontonkan kelebihan kenderaannya yang bagus dan mahal, tapi tidak mengerti atau tidak punya etika dan sopan santun di jalan raya. 

Anda jangan terpengaruh dengan cara berkenderaa yang tidak beretika dan tidak sopan tersebut. Tetap pertahankan etika, kesopanan dan integritas Anda berkendara.

Sumber : YouTube, published Aug 27, 2018, by Anggun Aji Saputro.
Sumber : YouTube, published Aug 27, 2018, by Anggun Aji Saputro.
Tulisan ini hanya catatan kecil perjalanan naik bis ke Jogjakarta dari Surabaya dan sebaliknya via jalan nasional (tidak lewat jalan tol). Apakah ceritanya akan relatif sama dengan perjalan di sepanjang jalur Pantura mulai dari Banyuwangi (Jawa Timur) hingga pelabuhan Merak (Banten)...? Mulai dari ujung Barat pulau Jawa hingga ujung Timur pulau Jawa, yang “bertetangga” dengan jalan tol Trans Jawa....? Atau jalan nasional yang ada di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Bali dll. Semoga sidang pembaca punya catatan atas pengalamannya, dan monggo dituangkan melalui Kompasiana ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun