Oleh karena tanggal 20 Januari 2019 hampir seharian nyetir, karena kecapekan tidurnya jadi pulas sekali. Akibatnya bangun pagi tanggal 21 Januari 2019 agak telat, yakni setelah mendengar suara azan Shubuh dari mesjid dekat rumah.
Setelah semua kewajiban sebagai ummat selesai dikerjakan, mulai bersih-bersih mobil. Saat lagi asyik bersih-bersih, ketemu hasil print out struk bayar tol yang keluar dari mesin EDC yang ada di pintu tol di laci kecil mobil. Ternyata bayar tolnya dari Warugunung hingga Colomadu sebesar Rp. 220.000,-.
Baru tersadar. Ups....! Karena semua transaksi di tol adalah non-tunai melalui kartu tol. Saat kita membayar biaya tol, tinggal nge-tap saja di mesin EDC. Setelah mengambil hasil print out struk-nya, dan menyimpannya, biasanya di laci kecil mobil.
Bahkan sering kita tidak mengambil hasil print out tersebut. Ketika palang pintu tol terbuka, kita langsung jalan lagi. Proses itu semua dilakukan sambil nyetir, kemudian kita harus kembali konsentrasi sebab kita semakin disibukan oleh kegiatan menyetir untuk melanjutkan perjalanan lagi.
Dan kita sering tidak memperhatikan berapa sebetulnya rupiah yang telah didebet dari saldo yang ada di kartu tol yang dikeluarkan oleh 4 bank BUMN dan 1 bank swasta tersebut.
Kita baru akan mengerti berapa besar biaya tol setelah berhenti dan memperhatikan print out struk biaya tol. Itu pun kalau kita mengambil hasil print out tersebut. Atau saat kita cek saldo kartu tol. Ternyata totalnya PP Rp. 440.000,- rek...!
Mengutip berita Fadhly Fauzi Rachman (detikFinance) di detik.com tanggal 19 Januari 2019, mulai tanggal 21 Januari 2019 tidak ada lagi ruas tol yang gratis. Maka biaya tol dengan rute yang sama menjadi Rp. 308.000,-, PP menjadi Rp. 616.000,-. Waow...
Rinciannya sebagai berikut :
1. Solo-Ngawi Rp. 90.000,-
2. Ngawi-Kertosono (Segmen Ngawi-Wilangan) Rp. 48.000,-
3. Ngawi (Klitik)-Kertosono Rp. 88.000,-
4. Kertosono-Mojokerto Rp. 46.000,-
5. Mojokerto-Surabaya Rp. 36.000,-
Saya lalu berhitung dan membandingkan dengan biaya Pertalite saat ini sebesar Rp. 7.650,-/liter. Dengan biaya tol Warugunung-Colomadu PP sebesar Rp. 616.000,- , uang sebesar itu bisa dibelikan Pertalite sekitar 81 liter.
Sementara konsumsi Pertalite Honda BRV Prestige yang saya kenderai sebanyak 13,13 km/liter. Artinya dengan 81 liter Pertalite saya bisa melakukan touring sejauh 1.064 km.
Sebagai pembanding, perjalanan saya ke Jogjakarta selama 2 hari kemaren berdasarkan km yang ditunjukan oleh mobil hanya berjumlah 768 km. Waduuuh...!
Ketika saya ceritakan kepada seorang temen pensiunan salah satu bank BUMN mengatakan, "berarti jika tidak lewat tol sudah bisa menghemat ongkos perjalanan yang luar biasa besarnya bagi seorang pensiunan..". Tapi dia lupa berapa banyak waktu yang dihemat dengan membayar sekian rupiah itu.
Dan langsung mengeluarkan aplikasi kalkulator dari smart HP-nya dan menyimpulkan : “Sangat signifikan sekali jumlahnya jika dipersentasekan, yaitu sekitar 11% dari total rupiah manfaat pensiun yang diterima setiap bulan. Wah, wah, wah....!
“Bisa-bisa kita tambah “bangkrut” kalau sering-sering ke Jogjakarta dari Surabaya. Sekali sebulan saja kita jalan ke Jogjakarta dari Surabaya, bisa-bisa setelah tanggal 20 istri tidak memasak lagi di dapur...”, dia menambahkan.
Jika begitu kondisinya, apakah ke depan kalau ke Jogjakarta lagi untuk menghadiri acara manten (misalnya) akan bawa mobil dan lewat tol lagi...? Mau lewat jalan non-tol dengan resiko seperti pada tulisan sebelumnya, atau tetap menggunakan jalan tol. Mikir disek....!
Kalau masih bawa mobil sendiri dan lewat tol akan menguras uang untuk biaya yang sudah pasti keluar sebagai berikut :
Biaya BBM Pertalite : 798 km : 13,13/liter x Rp. 7.650,- = Rp. 448.000,-
Biaya tol PP = Rp. 616.000,-
T o t a l = Rp. 1.064.000.
Seandainya hanya pergi berdua (dengan istri misalnya), lebih baik naik bis Cepat Patas AKAP yang biayanya sekitar Rp. 90.000,-/orang, dua orang menjadi Rp. 360.000,- PP.
Ditambah makan sederhana sekali di Ngawi Rp. 13.000,-/orang,-, totalnya baru Rp. 412.000,-. Ditambah lagi sewa taxi online selama di Jogjakarta Rp. 100.000,-, totalnya baru Rp. 512.000,-. Selisihnya amat sangat lumayan.
Cuma selama di perjalanan dan di Kota Jogjakarta kita kurang begitu leluasa untuk beraktifitas. Tapi di bis kita bisa tidur...! Atau naik KA Ekonomi yang juga nyaman. Murah dan meriah, anti macet, dan In syaa Allah on time.
Jika kondisinya seperti cerita saya, dan keperluannya tidak penting-penting amat, lebih baik melewati jalan non-tol saja meski waktu perjalanannya menjadi lebih panjang dan rumit.
Syaratnya harus super sabar di jalan non-tol, dan berangkatnya harus lebih awal biar sampai di tempat tujuan sebelum waktu yang diinginkan atau tidak terlambat.
Atau jika tiba-tiba ada keperluan mendadak karena misalnya ada saudara yang sakit atau meninggal, kita naik pesawat atau kereta api eksekutif saja yang anti macet.
Tentu akan lebih baik jika tarif tol diturunkan. Sehingga secara hitungan BEP menjadi menarik bagi kebanyakan orang untuk menggunakan infrastruktur jalan tol ini.
Dan ini saya yakin banyak yang setuju jika biaya tol diturunkan. Tapi jika tidak, masyarakat akan berpikir ulang setiap akan masuk tol. Masuk tol, ga...! Masuk tol, ga...! Masuk tol, ga...!
Pihak pengelola jalan tol mungkin akan keberatan jika biaya tol diturunkan karena akan semakin memperpanjang jangka waktu BEP, dan kesempatan untuk meraih keuntungan atas proyek jalan tol mereka. Selain itu juga karena mereka harus mencicil hutang pokok dan bayar biaya bunga bank serta melakukan perawatan jalan.
Seandainya tarif tol memang sudah tidak bisa diganggu-gugat lagi, terpaksa pemerintah harus meningkatkan kuantitas dan kualitas jalan non-tol secara terus menerus.
Menertibkan semua pengguna jalan raya tanpa kecuali agar perjalanan bisa lancar, termasuk pasar tumpah hingga memakan badan jalan nasional. Sehingga orang tidak ragu-ragu lagi untuk menggunakan jalan non-tol. Masyarakat yang tidak mampu untuk membayar tol bisa dengan nyaman menikmati infrastruktur jalan non-tol.
Jika saya sekeluarga kembali menggunakan jalan non-tol untuk ke Jogjakarta dan kembali ke Surabaya, maka kebiasaan lama selama di perjalanan tersebut tentu bisa tetap dilakukan kembali. Yaitu : Satu, mampir di toko roti terkenal dan legendaris di Solo, yaitu toko roti Orion. Dua, membeli serabi Solo Notosuman di Kota Sragen. Tiga, membeli tahu Pong Kediri yang dijual di sekitaran pelintasan pintu KA di Kertosono, dan empat, makan nasi goreng enak buatan Pak Topa di Jombang. Lima, membeli jagung rebus manis (masnisnya asli) di depan KC BRI Mojokerto. Semuanya tidak terlewati lagi. Betul....?
Setelah membaca tulisan berseri yang diberi judul : “ Mau menikmati jalan tol Surabaya-Kartasura-Surabaya... (dari seri 1 hingga 4) ini, akhirnya semuanya saya kembalikan kepada anda para pembaca.
Dan juga apakah solusi yang saya sampaikan memang benar-benar solutif, atau bisa saja saya mengada-ada. Barangkali juga Anda pembaca punya permasalahan yang sama, tapi punya solusi yang lebih baik.
Atau malah punya permasalahan lain (baru) selama di jalan tol, dan punya jalan keluarnya juga. Dan lagi cerita saya ini baru tol Trans Jawa ruas Warugunung-Colomadu. Apakah di ruas yang lain ceritanya akan sama atau berbeda sama sekali, wallahualam....! Monggo ditulis juga agar semakin banyak referensi para sidang pembaca kompasiana.com.
Ditunggu saran dan kritiknya para sidang pembaca kompasiana.com
Terima kasih..
Tidak bersambung lagi...
Surabaya, 3 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H