Sebagai pembanding, perjalanan saya ke Jogjakarta selama 2 hari kemaren berdasarkan km yang ditunjukan oleh mobil hanya berjumlah 768 km. Waduuuh...!
Ketika saya ceritakan kepada seorang temen pensiunan salah satu bank BUMN mengatakan, "berarti jika tidak lewat tol sudah bisa menghemat ongkos perjalanan yang luar biasa besarnya bagi seorang pensiunan..". Tapi dia lupa berapa banyak waktu yang dihemat dengan membayar sekian rupiah itu.
Dan langsung mengeluarkan aplikasi kalkulator dari smart HP-nya dan menyimpulkan : “Sangat signifikan sekali jumlahnya jika dipersentasekan, yaitu sekitar 11% dari total rupiah manfaat pensiun yang diterima setiap bulan. Wah, wah, wah....!
“Bisa-bisa kita tambah “bangkrut” kalau sering-sering ke Jogjakarta dari Surabaya. Sekali sebulan saja kita jalan ke Jogjakarta dari Surabaya, bisa-bisa setelah tanggal 20 istri tidak memasak lagi di dapur...”, dia menambahkan.
Jika begitu kondisinya, apakah ke depan kalau ke Jogjakarta lagi untuk menghadiri acara manten (misalnya) akan bawa mobil dan lewat tol lagi...? Mau lewat jalan non-tol dengan resiko seperti pada tulisan sebelumnya, atau tetap menggunakan jalan tol. Mikir disek....!
Kalau masih bawa mobil sendiri dan lewat tol akan menguras uang untuk biaya yang sudah pasti keluar sebagai berikut :
Biaya BBM Pertalite : 798 km : 13,13/liter x Rp. 7.650,- = Rp. 448.000,-
Biaya tol PP = Rp. 616.000,-
T o t a l = Rp. 1.064.000.
Seandainya hanya pergi berdua (dengan istri misalnya), lebih baik naik bis Cepat Patas AKAP yang biayanya sekitar Rp. 90.000,-/orang, dua orang menjadi Rp. 360.000,- PP.
Ditambah makan sederhana sekali di Ngawi Rp. 13.000,-/orang,-, totalnya baru Rp. 412.000,-. Ditambah lagi sewa taxi online selama di Jogjakarta Rp. 100.000,-, totalnya baru Rp. 512.000,-. Selisihnya amat sangat lumayan.