Uang Anda yang ada di tabungan, dipastikan akan terkikis pelan-pelan. Tanpa Anda harus memantaunya setiap hari, uang Anda juga akan berkurang. Saya tidak sedang mengada-ngada ketika mengatakan hal ini. Karena tanda-tandanya sudah ada di depan mata. Apa itu? Ya, inflasi.
Jerih payah yang Anda kumpulkan di tabungan akan berkurang nilainya. Saya tidak sedang berbicara jumlah, namun berbicara nilai mata uang itu sebagai alat tukar.
Bila Anda memiliki uang Rp 10 juta pada 10 tahun lalu. Saya yakin, dengan uang itu Anda bisa membawa pulang sebuah sepeda motor baru. Namun saya sangsi jika jumlah uang itu tetap utuh pada saat ini. Uang Rp 10 juta itu tentu tidak bisa mendapat sebuah sepeda motor baru.
Ya! karena nilai Rp 10 juta pada 10 tahun lalu, berbeda dengan Rp 10 juta pada tahun ini. Perbedaan nilai itu disebabkan adanya inflasi. Kenaikan harga-harga sejumlah barang, membuat nominal mata uang serasa menyusut. Maka rugilah bagi mereka yang sekadar menaruh uang mengendap dalam bentuk tabungan. Karena uang itu akan tergerus inflasi tahun demi tahun.Â
Ironisnya inflasi usai krisis multidimensi pandemi covid-19, justru melaju kian cepat. Hal itu diperparah dengan adanya perang antara Ukraina dan Rusia yang memici krisis supply, sehingga menyebabkan harga sejumlah barang kebutuhan pokok naik. Sesuai dengan prinsip hukum ekonomi, jika permintaan tinggi namun stok terbatas maka akan mengerek harga. Begitu juga berlaku sebaliknya.Â
Perang di Eropa Timur itu membuat sejumlah bahan pangan dari Ukraina terhambat. Apalagi blok barat mengenakan sanksi pada produk Rusia, sehingga menganggu rantai pasok global.Â
Padahal salah satu produk pangan andalan Rusia adalah gandum. Selain itu, Rusia juga merupakan penghasil pupuk, dimana Indonesia pun masih bergantung pada impor pupuk Rusia.Â
Akibat adanya gangguan pasokan itu, sejumlah harga bergejolak. Menimbulkan efek domino yang akhirnya bermuara pada inflasi. Kenaikan harga pupuk adalah kiamat bagi dunia pangan. Harga amonia yang melonjak, akan membuat ongkos produksi pangan naik. Akibatnya tentu sudah bisa ditebak: harga turut naik.Â
Kenaikan harga pangan adalah hal krusial. Siapa yang tidak bergidik ngeri dibuatnya kalau sudah berbicara urusan perut. Berbicara urusan perut bahkan bisa menggoyang pemerintahan suatu negara. Bila kenaikan harga pangan sudah terjadi dengan konsisten tanpa terkendali, maka bersiap-siaplah terhadap perkembangan data inflasi.Â
Kita mungkin bisa saja abai terhadap krisis geopolitik di sana. "Ah biarkan saja itu urusan Rusia Ukraina. Kita di Indonesia masih aman-aman saja". Bisa saja pemikiran itu hinggap di sebagian kepala masyarakat Indonesia. Namun tanpa disadari, inflasi akan mengancam tabungan hasil jerih payah bertahun-tahun itu, bahkan mungkin lenyap bila krisis terus berkepanjangan.Â
Inilah momok gelap inflasi. Tanpa kita sadari inflasi akan menyerap semua keringat yang sudah pernah dikucurkan. Inflasi memupus harapan kita untuk membeli barang-barang yang kita inginkan. Inflasi membuat orang-orang harus bekerja lebih ekstra untuk mendapatkan barang impian, termasuk sekadar memenuhi kebutuhan pokok.Â
Tentu masih hangat dalam ingatan kita, sebuah foto-foto viral yang pernah lalu lalang di media sosial tentang krisis di Venezuela. Sebuah negara yang kaya dengan minyak, namun masyarakatnya sengsara karena inflasi. Eh, hiperinflasi.Â
Bayangkan saja, untuk membeli sepotong daging ayam, memerlukan uang berkoper-koper. Pada 2021, inflasi di Venezuela meroket 686,4%. Sementara hingga April 2022, inflasinya masih mencapai 222% secara tahunan.Â
Kita bisa membayangkan, ada orang yang telah bekerja bertahun-tahun untuk mengumpulkan bolivar Venezuela. Setelah uang itu terkumpul, terjadi krisis di negara itu. Dan orang itu pun harus menggunakan setumpuk uang yang telah dikumpulkan itu, hanya untuk mendapatkan sepotong daging. Betapa mengerikannya inflasi itu.Â
Bagaimana dengan inflasi di Indonesia?
Bisa dikatakan inflasi di Indonesia masih cukup terkendali, bila dibandingkan dengan negara lain seperti Venezuela, Amerika Serikat, Inggris, dan sejumlah negara Eropa lainnya.Â
Sekali lagi kita harus bersyukur, Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang sangat melimpah, sehingga membuat Indonesia menjadi salah satu eksportir besar untuk komoditas tertentu, diantaranya seperti batu bara, kelapa sawit, timah dan bijih logam lainnya.Â
Dengan kata lain, berbagai sumber kekayaan alam itu, membuat Indonesia memiliki "amunisi" untuk mengamankan sejumlah sisi. Meskipun, beberapa waktu lalu Indonesia sempat mengalami krisis minyak goreng. Ini sebuah ironi yang amat sangat disayangkan.Â
Hingga Juni 2022, Badan Pusat Statistik mencatat inflasi di Indonesia mencapai 4,35% secara tahunan (yoy). Ini menjadi yang tertinggi sejak 5 tahun lalu. Sementara Bank Indonesia memperkirakan, inflasi tahunan pada 2022 bisa mencapai 4,2%. Pemerintah pun masih cukup yakin, bisa menjaga inflasi di tanah air melalui kebijakan fiskal maupun moneter oleh Bank Indonesia.Â
Tapi kita tak boleh lengah terhadap hal ini. Kita mesti menyalakan sinyal serius terhadap lonjakan inflasi. Caranya dengan meningkatkan literasi investasi yang tepat, agar kita mengetahui asset class mana saja yang justru bisa menguntungkan saat inflasi datang.Â
Bila sekadar tabungan, pasti bisa tergerus. Sementara bila deposito, harus dibandingkan nilai imbal hasilnya, apakah di atas angka inflasi atau justru masih di bawahnya. Lantas asset class apa saja yang menguntungkan saat inflasi? Insya Allah pada lain kesempatan, saya akan mengulasnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H