Mohon tunggu...
Dede Rudiansah
Dede Rudiansah Mohon Tunggu... Editor - Reporter | Editor | Edukator

Rumah bagi para pembaca, perenung, pencinta kopi, dan para pemimpi yang sempat ingin hidup abadi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Legenda Batu Besar Cengal, Bagian 4: Kejutan di Hari Sakral

9 Januari 2024   08:25 Diperbarui: 9 Januari 2024   10:33 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: bing images generation

Bagian 4: Kejutan di Hari Sakral

Sesampainya di pandapa, pemimpin pedukuhan Cengal, ayah Batara sudah berdiri di hadapan para penduduk. Didampingi beberapa gegedeng lainnya termasuk ayah Dahayu. Selain itu, tampak juga perwakilan-perwakilan dari pedukuhan lain di sana.

Batara dan Dahayu lalu duduk di barisan para gegedeng. Semua orang kini bersiap mendengarkan wawaran dari pemimpin dukuh tersebut.

"Rakyat Cengal yang berbahagia, maafkan saya karena telah menyela kegembiraan kita semua di hari sakral nan penting ini. Semuanya semata-mata karena ada wawaran penting yang harus segera saya sampaikan," ungkap pemimpin pedukuhan Cengal mengawali pidatonya.

"Kita tahu bahwa Cengal bersama pedukuhan-pedukuhan lain di ujung timur laut Kuningan ini adalah pedukuhan penyangga bagi Kerajaan Kuningan. Kita adalah pedukuhan bebas dan hubungan kita dengan Kuningan adalah kerja sama semata."

"Tentu kerja sama kita saling menguntungkan. Kita butuh Kuningan, Kuningan butuh kita. Namun, kerja sama di antara kerajaan dan pedukuhan ini sekarang sedikit ada keterhambatan."

"Berdasarkan informasi telik sandi yang kami terima, di Kuningan sekarang sedang ada ketidakstabilan politik. Konon beberapa gegedeng dari arah timur Kuningan sedang memperkenalkan cara-cara berkehidupan baru di sana, yang sayangnya sangat berbeda dengan cara hidup kita."

"Demi mengonfirmasi dan membantu para gegedeng di Kuningan, kami para pemimpin pedukuhan di ujung timur laut Kuningan pun bersepakat untuk melakukan kunjungan dan menetap beberapa hari di sana."

"Kami akan segera bertolak ke Kuningan besok pagi. Karena kunjungan ini bersifat keadatan maka saya akan ditemani pendeta adat Hindu kita, dan seorang senopati dengan lima anggota prajuritnya sebagai pengamanan."

Pemimpin pedukuhan itu menghentikan perkataannya sejenak. Kemudian melirik Batara dan Dahayu yang sedang duduk bersama para gegedeng lainnya.

"Adapun untuk menggantikan posisi sementara pemimpin pedukuhan dan pendeta adat, saya akan tunjuk ananda Batara dan ananda Dahayu. Batara sebagai pemimpin sementara pedukuhan dan Dahayu sebagai pemimpin adat atau pendeta sementara."

"Siapa pun yang ada keperluan perihal pedukuhan dan keadatan silakan bicaralah dengan keduanya. Keputusan saya sudah akhir dan tidak bisa diganggu gugat."

Kaget bukan main Batara dan Dahayu. Setelah acara wawaran itu selesai keduanya pun langsung memburu ayahnya masing-masing. Mereka tentu menghendaki penjelasan lebih lanjut dari keputusan itu. Ayah Batara tidak menggubris sama sekali, sedangkan ayah Dahayu hanya merespons singkat pertanyaan Dahayu.

"Perkuat kembali adat dan cara hidup kita, nak. Nanti akan ayah jelaskan lebih lanjut di rumah." Sang pendeta Hindu itu langsung membersamai pemimpin pedukuhan Cengal bersama perwakilan pedukuhan lainnya untuk melakukan sawala di ruang khusus.

Dahayu memaksa ingin ikut sawala tapi ia kemudan dihalangi para prajurit penjaga. Batara berusaha menenangkan Dahayu. Ia berjanji akan meminta penjelasan lebih lanjut kepada ayahnya. Mereka kemudian duduk di depan ruang sawala.

"Semoga pedukuhan kita baik-baik saja," ujar Batara. Dahayu masih terdiam. Pandangannya masih tertuju ke arah pintu merah ruang sawala di depannya itu.

"Entah benar atau salah, tapi aku punya firasat sepertinya ini ada hubungannya dengan kedatangan orang asing berjubah putih di ujung utara Galuh beberapa tahun lalu, dik," ujar Batara mencoba memecahkan keheningan.

Dahayu kemudian memandang Batara. Merasa pembicaraannya bersambut, Batara lalu melanjutkan ceritanya.

"Konon ia mengaku cucu Prabu Siliwangi dan kini menetap di ujung utara Galuh, di pedukuhan Cirebon di bawah perlindungan Prabu Walangsungsang. Bayak yang bilang bahwa di sana ia melakukan perubahan-perubahan."

"Aku juga punya firasat demikian, kang," ujar Dahayu. "Apakah benar orang asing itu juga melakukan perjalanan dan tiba di Luragung, kang?"

"Konon ia memang sering melakukan perjalanan dan entah bagaimana caranya ia kemudian tiba di Luragung. Ada yang bilang di Luragung ia menitipkan anaknya dari putri China ke seorang gegedeng yang juga masih kerabat dengan Prabu Siliwangi."

"Tapi, ada juga yang bilang ia justru mengangkat anak gegedeng Luragung itu kemudian menitipkannya ke seorang gegedeng di Kuningan yang juga masih kerabat Prabu Siliwangi. Entah mana yang benar, yang pasti keberadaannya di Luragung tidaklah lama."

"Mudah-mudahan saja yang dikatakan rama soal gegedeng dari timur Kuningan tadi bukanlah gegedeng Luragung yang terpengaruh oleh ajaran orang asing itu. Bisa saja gegedeng yang dimaksud rama tadi cuma gegedeng biasa yang suka membuat onar," tutup Batara.

"Semoga saja, kang." Dahayu kembali menatap pintu merah ruang sawala yang juga tidak terbuka itu. Ia kembali teringat ucapan ayahnya tadi sebelum masuk ke ruang sawala 'Perkuat kembali adat dan cara hidup kita, nak.'***

Bersambung ke bagian 5. Akses ke bagian 3.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun