Legenda Batu Besar Cengal, Bagian 2: Sebuah Pengakuan
Bagian 2: Sebuah Pengakuan
Orang-orang di pedukuhan Cengal sangat hafal dengan kisah tersebut. Kisah yang lambat laun jadi mantra atau kidungan itu selalu jadi pengingat bahwa siapa pun harus taat pada aturan, hidup terhormat, dan jangan pernah mencintai wanita yang sudah dicintai laki-laki lain.
Batara tiba-tiba menyadari hal itu. Ia sadar bahwa jika ada laki-laki yang lebih dulu menyatakan cintanya kepada Dahayu, maka ia tidak bisa lagi mencintai Dahayu. Terlebih ia adalah seorang putra pemimpin pedukuhan yang harus memiliki etika serta menjadi teladan bagi para penduduknya.
Batara lalu membulatkan tekad, ia harus segera mengutarakan perasaannya itu kepada Dahayu. Jangan sampai terlambat.
Waktu spesial yang dipilih Batara bertepatan dengan pelaksanaan upacara seren tahun panen padi di pedukuhan Cengal. Saat itu Dahayu sedang bertugas membawa dupa mendampingi sang ayah. Mereka akan menghampiri setiap penduduk dan gegedeng yang sedang bersila di pandapa.
Batara terus memerhatikan Dahayu. Sepasang mata teduh yang selalu tampak bahagia itu, bunga kamboja berkelopak lima di telinga kirinya itu, bibir tipis yang selalu menebar senyuman itu, dan semua hal yang ada di tubuh Dahayu telah mencuri perhatian Batara saat itu.
Perhatian Batara beberapa kali terhenti ketika Dahayu sadar bahwa dirinya sedang diperhatikan. Dahayu sesekali membalas tatapan Batara dan setiap adu pandang itu terjadi, maka tersipulah mereka.
Dahayu dan sang ayah kini telah sampai di barisan gegedeng. Setelah selesai memberkati pemimpin pedukuhan Cengal mereka lalu menuju Batara, si putra mahkota pewaris tahta pedukuhan Cengal.
Ayah Dahayu sudah selesai memberkati Batara. Kini Dahayu di belakang sang ayah sedang membiarkan asap dupa yang ia bawa menyelimuti wajah dan badan Batara. Batara dan Dahayu kini berhadap-hadapan.
"Tadi ada yang salah dengan wajahku, kang?" bisik Dahayu tiba-tiba.
"Tidak ada yang salah, dik."
Dahayu tersenyum mendengar perkataan Batara. Ia lalu bersiap menuju gegedeng selanjutnya. Saat Dahayu hendak melangkahkan kaki, tiba-tiba Batara mendekati wajah dan telinga Dahayu.
Wajah Batara kini sangat dekat. Ia bahkan bisa mencium aroma wewangian khas di leher Dahayu. Wangi mawar bercampur keringat dan sedikit asap dupa. Dalam posisi seperti itu Batara kemudian berbisik.
"Aku cinta kamu, dik."
Dahayu terdiam. Diam beberapa detik. Wajahnya masih menghadap ke punggung sang ayah yang kini sudah mulai bergerak. Bingung melihat sikap Dahayu, Batara kembali mengulang kata-katanya.
"Aku cinta kamu, Dahayu."
Batara kembali ke posisinya. Dahayu masih terdiam. Tak lama Dahayu kembali melangkah setelah sang ayah meliriknya untuk bisa bersegera.Â
Sesaat, beberapa bagian dari tubuh Dahayu bergetar hebat. Wajah cantiknya kini tampak bengong. Napasnya seketika memburu, ada yang bergejolak di dada Dahayu.
Dahayu menekan semua perasaannya itu. Ia tak mau tampak konyol dengan mengumbar luapan rasa bahagia di acara sakral seren tahun. Dahayu terus melangkah meninggalkan Batara yang masih tampak kebingungan itu.
Masih dengan kondisi tak karuan, Dahayu pun menyelesaikan tugasnya tanpa cela.
Sementara itu, di barisan para gegedeng, Batara masih tampak gusar. Ia masih berada di acara seren tahun bersama para gegedeng, namun mata dan pikirannya melanglang buana mencari sosok yang sudah membuat hatinya gelisah.***
Bersambung ke bagian 3. Akses ke bagian 1.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H