“Purnama, jangan katakan itu! Jika kamu benar-benar peduli kepada Ayah, Ibu, dan Melati jangan katakan itu lagi."
Purnama terdiam.
“Selesaikanlah apa yang sudah kamu mulai. Jangan sekali-kali bersikap seperti itu!” ujar Ayah.
Purnama tersadar. Ia diam, meresapi ucapan seorang laki-laki, seorang kesatria pertama dalam hidupnya yang tetap setia menjunjung nilai kehormatan, prinsip seorang "Ayah".
Di tengah bergolaknya dua perasaan anak beranak ini, tepat di depan gerbang rumah, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti. Purnama yang tengah menata perasaannya itu kemudian keluar dari galeri. Tampak mobil itu berwarna hitam, berplat biru metalik mewah, tidak asing bagi Purnama. Sebuah mobil buatan Jerman telah terparkir di depan gerbang rumahnya.
Terlihat sosok wanita keluar dari dalam mobil itu. Sangat cantik, berpakaian serba necis, khas orang kantoran. Setelah diperhatikan dengan saksama tenyata wanita itu adalah sosok yang pertama kali menyemai sifat kasih di diri Purnama. Sosok yang tak disangka bisa berpenampilan seperti itu. Itu Ibu.
Penampilan Ibu tiba-tiba tampak sangat berbeda, ia memakai gincu tak seperti biasanya. Ia berpakaian serba rapih tak seperti biasanya, pakaian yang belum pernah dilihat Purnama. Ia membawa sebuah koper berwarna silver mengilat menghampiri Purnama.
“Ayahmu mana nak?”
Purnama tidak merespons pertanyaan Ibu. Meninggalkan anaknya yang masih terdiam, Ibu lalu masuk ke dalam galeri, terjadilah obrolan di sana. Obrolan di dalam galeri awalnya hanya bisik-bisik saja, kemudian perlahan menjadi keras, menggaduh, sesekali terdengar suara tangis dari mereka berdua.
“Kau mau kemana lagi?” teriak Ayah dalam tangisnya itu.
“Aku bawa uang untuk kalian.”