Keesokan harinya, rumah sudah dalam keadaan sepi. Melati dan Ibu sudah tidak ada di rumah, pergi kerja dan kuliah. Purnama juga melihat Ayah sudah pulang, ia kini tengah melukis di galeri. Purnama lalu menghampiri Ayah di galeri.
Purnama menyaksikan kondisi galeri sangat berantakan, lukisan-lukisan yang awalnya tertata di tembok kini berserakan di lantai. Ukiran-ukiran, bahkan ada satu patung yang tampaknya pecah berkeping berceceran di sana.
Keberadaan Purnama di galeri segera disadari Ayah. Ia dengan tegesa-gesa lalu merogoh kantung celananya dan segera mengeluarkan lembaran-lembaran kertas kumal.
“Nak, ini hasil penjualan lukisan Ayah semalam,” kata Ayah. Kemudian Ayah memberikan beberapa lembar rupiah itu kepada Purnama. Kedua mata Ayah tampak sembab, dua kata yang bisa menggambarkan kondisi Ayah saat ini adalah ‘kacau balau’.
“Ayah semalam menjual lukisan?” tanya Purnama. Ayah hanya tersenyum. “Sebenarnya semalam ada apa Yah?” tanya Purnama kembali.
Ayah tersenyum getir. “Maafkan Ayah nak. Ayah belum bisa menjadi orang tua yang baik untukmu, untuk Melati, untuk Ibumu.”
Purnama lalu mengembalikan lembaran rupiah itu. “Tenang Yah, aku akan membantumu. Ibu nanti tak perlu cari uang lagi. Biar kita saja. Ayah dengan lukisan, aku dengan tulisan,” kata Purnama sambil menunjukkan contoh novel yang dibawanya.
“Jangan! kau kuliah saja yang rajin, masalah itu biar Ayah yang pikirkan. Itu sudah kewajiban Ayah, kewajiban kamu hanyalah kuliah! Belajar!”
“Aku bisa berhenti kuliah dulu Yah, lalu...”