Di bagian 4 telah diuraikan kisah tentang peristiwa islamisasi yang dilakukan Syarif Hidayatullah di Luragung, Pajajaran, dan Banten. Terangkum dalam 3 subjudul: Mengislamkan Luragung; Mengislamkan Pajajaran dan Banten; serta Kalijaga dan Kembalinya Syarif Hidayatullah ke Mesir. Bagi yang belum membaca Sejarah Sunda Cirebon Bagian 4, bisa dengan mengeklik tautan berikut. kompasiana.com/bagian4
Artikel ini sendiri merupakan rangkuman atas babad berjudul Babad Tanah Sunda Babad Cirebon yang disusun oleh P.S. Sulendraningrat. Dengan spesifik merangkum bab 31 sampai dengan bab 33. Kisah akan berfokus pada peristiwa kembalinya Syarif Hidayatullah dan Putri Rarasantang ke Cirebon hingga pendirian pedukuhan baru bernama Demak. Berikut merupakan kisahnya.
- Dipati Awangga dan Sepasang Udang
Di bumi pasundan, seorang kesatria yang masih mempunyai darah Prabu Siliwangi bernama Dipati Awangga mendapat petunjuk dari Dewa. Dipati Awangga tinggal di Cianjur dan oleh Sang Dewa ia diminta untuk pergi ke pantai utara. Ia diminta untuk mencari sepasang udang laki-perempuan di sana. Karena perintah itu datangnya dari Dewa maka tidak ada pilihan lain selain menunaikan perintah tersebut.
Setibanya di tempat tujuan, Dipati Awangga segera mencari sepasang udang laki-perempuan. Alangkah terkejutnya ia, di tengah usaha pencariannya itu Dipati Awangga justru malah bertemu dengan dua orang manusia, yang uniknya sedang berjalan di atas air!
Seorang laki dan perempuan, berjalan dengan anggun dari arah utara, mendekat ke bibir pantai bumi pasundan. Keduanya adalah Syarif Hidayatullah dan Putri Rarasantang dari negeri Mesir.
Setelah melakukan perbincangan dan saling memperkenalkan diri maka sadarlah Dipati Awangga bahwa dua manusia inilah sepasang udang laki-perempuan yang sedang ia cari. Dipati Awangga kemudian meminta izin untuk ikut mengabdi. Ia lalu turut serta menemani anak-ibu ini ke Cirebon.
Sesampainya di Cirebon rombongan kecil ini pun disambut dengan penuh gegap gempita, penuh kebahagiaan. Banyak warga yang kemudian menumpahkan rindu kepada dua figur pemimpin yang merupakan anak dan ibu ini. Terlebih kepada Putri Rarasantang yang sudah lama meninggalkan Cirebon dan hidup di negeri Mesir.Â
Sementara itu, Dipati Awangga kemudian diberi mandat khusus oleh Syarif Hidayatullah. Karena masih terbilang kerabat dekat dari Prabu Siliwangi Dipati Awangga diminta agar ikut mendampingi keturunan Putri Ong Tien di Luragung, Pangeran Kuningan. Dipati Awangga manut dan bersedia melakukan tugas mulia tersebut. Pergilah ia menuju Luragung.
Selain Pangeran Kuningan, Syarif Hidayatullah sendiri diketahui memiliki anak kandung yang banyak, baik laki maupun perempuan. Salah satu anak perempuannya yaitu Ratna Winaon. Ratna Winaon merupakan istri dari Sunan Kalijaga. Karena sifatnya yang terkenal bijaksana serta tali kekerabatan inilah Sunan Kalijaga pada gilirannya diangkat menjadi wakil imam oleh Syarif Hidayatullah.
- Raden Patah dan Berdirinya Pedukuhan Demak
Sementara itu di timur bumi pasundan, Sunan Ampel, guru dari Syarif Hidayatullah diketahui telah mempunyai banyak murid. Tidak hanya mereka yang berasal dari kalangan biasa saja, melainkan anak raja, bahkan tak sedikit orang-orang/para saudagar dari luar pulau Jawa! Dua murid Sunan Ampel yang menarik perhatian adalah Raden Patah anak dari Raja Majapahit dan Aryadila keturunan dari Sultan Palembang.
Di satu kesempatan yang telah ditakdirkan, Sunan Ampel lalu memberi petunjuk kepada dua muridnya tersebut. Ia meminta agar Raden Patah dan Aryadila bisa membuat karya, membuka pedukuhan baru. Keduanya diminta oleh Sunan Ampel untuk mendirikan pedukuhan di tanah berair dan harum (rawa).
Karena permintaan guru adalah sabda semesta maka dengan penuh keinsyafan mereka lalu menunaikan permintaan tersebut. Setelah dirasa menemukan lokasi yang dimaksud, keduanya kemudian melakukan pembangunan. Raden Patah membangun perumahan warga, sementara Aryadila membangun pondok pesantren. Pedukuhan itu lalu dikenal dengan sebutan Demak, diambil dari kata demek (tanah berair).
Beberapa perkampungan di sekitar Demak perlahan mulai ikut berbaiat dan melebur kepada Demak. Karena berdiri di bumi Majapahit dan berdiri atas jasa putra mahkota, pedukuhan Demak sendiri pada akhirnya diakui oleh kerajaan Majapahit dan resmi berada di bawah kuasa kerajaan tersebut.
- Nama Baru Ki Gedeng Pandarasan
Kembali lagi ke Syarif Hidayatullah di Cirebon. Di satu waktu, dalam perjalanan dakwahnya di bumi pasundan, Syarif Hidayatullah bertemu dengan seorang pendaras nira. Diketahui, si pendaras nira biasa melakukan pekerjaannya itu sambil menembangkan kidung-kidung mantra. Tujuannya agar nira mengalir lancar.
Mengetahui apa yang dilakukan si pendaras nira, Syarif Hidayatullah kemudian menawarkan "mantra" tetembangan lain, tentunya bernafaskan Islam. Karena penasaran, pendaras nira itu manut dengan usulan Syarif Hidayatullah. Mantra lalu disenandungkan.
Alangkah terkejutnya si pendaras nira, setelah mantra disenandungkan bukannya limpahan nira yang ia dapat justru air nira malah berhenti keluar! Marahlah ia. Si pendaras kemudian menuntut Syarif Hidayatullah agar bisa ganti rugi.
Berkat kesaktiannya, Syarif Hidayatullah lalu mengubah air nira yang sudah didapat sebelumnya oleh si pendaras menjadi butiran pasir emas. Terkejutlah si pendaras nira. Ia merasa takjub, kagum, dan segera ingin berguru kepada sosok yang baru saja diamuknya itu.
Sebagai wujud takzim kepada Syarif Hidayatullah, si pendaras nira lalu memberi Syarif Hidayatullah satu ekor ayam panggang. Ketika Syarif Hidayatullah memegang ayam panggang itu, seketika ia pun hidup kembali. Makin takjublah si pendaras nira. Dari peristiwa inilah si pendaras nira yang awalnya dikenal dengan nama Ki Gedeng Pandarasan diubah oleh Syarif Hidayatullah menjadi Ki Gedeng Sangkanurip.
Beberapa waktu berlalu, para tokoh agama Islam yang dikenal sebagai "wali" di pulau Jawa itu hedak mengadakan sawala (diskusi/rapat) di gunung Ciremai. Sesampainya di gunung Ciremai, Syarif Hidayatullah, sebagai pimpinan sawala tiba-tiba mengganti tempat pertemuan menjadi gunung Jati.
Memenuhi kehendak tuan rumah, para tokoh agama Islam yang sudah sampai di gunung Ciremai itu pun akhirnya mengubah haluan mereka kembali menuju gunung Jati. Di antara para wali tersebut ada yang kemudian terbang, melayang, menaiki awan, ada juga yang tembus ke bumi. Mereka melesat secepat kilat saling dahulu-mendahului. Sementara Syarif Hidayatullah sendiri diketahui hanya berjalan kaki saja.
Ketika para tokoh agama Islam itu sampai di gunung Jati--tentu dengan caranya masing-masing--alangkah terkejutnya mereka karena yang sampai lebih dulu ternyata Syarif Hidayatullah.Â
Melalui beragam hal ajaib inilah, orang-orang makin menaruh takjub kepada sosok Syarif Hidayatullah. Tidak hanya orang biasa tetapi para tokoh agama Islam/wali pun segan dan hormat kepadanya.
Sejarah Sunda dan Cirebon bersambung ke bagian 6. Sejarah Sunda Cirebon Bagian 6: Demak dan Napas Akhir Majapahit.***
Penulis: Dede Rudiansah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H