Di satu kesempatan yang telah ditakdirkan, Sunan Ampel lalu memberi petunjuk kepada dua muridnya tersebut. Ia meminta agar Raden Patah dan Aryadila bisa membuat karya, membuka pedukuhan baru. Keduanya diminta oleh Sunan Ampel untuk mendirikan pedukuhan di tanah berair dan harum (rawa).
Karena permintaan guru adalah sabda semesta maka dengan penuh keinsyafan mereka lalu menunaikan permintaan tersebut. Setelah dirasa menemukan lokasi yang dimaksud, keduanya kemudian melakukan pembangunan. Raden Patah membangun perumahan warga, sementara Aryadila membangun pondok pesantren. Pedukuhan itu lalu dikenal dengan sebutan Demak, diambil dari kata demek (tanah berair).
Beberapa perkampungan di sekitar Demak perlahan mulai ikut berbaiat dan melebur kepada Demak. Karena berdiri di bumi Majapahit dan berdiri atas jasa putra mahkota, pedukuhan Demak sendiri pada akhirnya diakui oleh kerajaan Majapahit dan resmi berada di bawah kuasa kerajaan tersebut.
- Nama Baru Ki Gedeng Pandarasan
Kembali lagi ke Syarif Hidayatullah di Cirebon. Di satu waktu, dalam perjalanan dakwahnya di bumi pasundan, Syarif Hidayatullah bertemu dengan seorang pendaras nira. Diketahui, si pendaras nira biasa melakukan pekerjaannya itu sambil menembangkan kidung-kidung mantra. Tujuannya agar nira mengalir lancar.
Mengetahui apa yang dilakukan si pendaras nira, Syarif Hidayatullah kemudian menawarkan "mantra" tetembangan lain, tentunya bernafaskan Islam. Karena penasaran, pendaras nira itu manut dengan usulan Syarif Hidayatullah. Mantra lalu disenandungkan.
Alangkah terkejutnya si pendaras nira, setelah mantra disenandungkan bukannya limpahan nira yang ia dapat justru air nira malah berhenti keluar! Marahlah ia. Si pendaras kemudian menuntut Syarif Hidayatullah agar bisa ganti rugi.
Berkat kesaktiannya, Syarif Hidayatullah lalu mengubah air nira yang sudah didapat sebelumnya oleh si pendaras menjadi butiran pasir emas. Terkejutlah si pendaras nira. Ia merasa takjub, kagum, dan segera ingin berguru kepada sosok yang baru saja diamuknya itu.
Sebagai wujud takzim kepada Syarif Hidayatullah, si pendaras nira lalu memberi Syarif Hidayatullah satu ekor ayam panggang. Ketika Syarif Hidayatullah memegang ayam panggang itu, seketika ia pun hidup kembali. Makin takjublah si pendaras nira. Dari peristiwa inilah si pendaras nira yang awalnya dikenal dengan nama Ki Gedeng Pandarasan diubah oleh Syarif Hidayatullah menjadi Ki Gedeng Sangkanurip.
Beberapa waktu berlalu, para tokoh agama Islam yang dikenal sebagai "wali" di pulau Jawa itu hedak mengadakan sawala (diskusi/rapat) di gunung Ciremai. Sesampainya di gunung Ciremai, Syarif Hidayatullah, sebagai pimpinan sawala tiba-tiba mengganti tempat pertemuan menjadi gunung Jati.
Memenuhi kehendak tuan rumah, para tokoh agama Islam yang sudah sampai di gunung Ciremai itu pun akhirnya mengubah haluan mereka kembali menuju gunung Jati. Di antara para wali tersebut ada yang kemudian terbang, melayang, menaiki awan, ada juga yang tembus ke bumi. Mereka melesat secepat kilat saling dahulu-mendahului. Sementara Syarif Hidayatullah sendiri diketahui hanya berjalan kaki saja.
Ketika para tokoh agama Islam itu sampai di gunung Jati--tentu dengan caranya masing-masing--alangkah terkejutnya mereka karena yang sampai lebih dulu ternyata Syarif Hidayatullah.Â