... Kalau ia bisa membereskan semua soal mungkin hal ini tak masalah. Tapi sebenarnya dan kenyataannya ia sendiri kurang pandai dalam tes tulis. Ibnu selalu meninggalkan 2 atau 3 soal yang tidak terisi di setiap ujiannya. Itulah masalahnya. 'Lebih baik jujur, tidak bisa, daripada menyontek, dan pura-pura tahu' begitu kata-kata yang selalu ia bisikan pada hatinya sendiri, hatinya pun perlu ditegarkan. Ia sadar bahwa sikapnya berbeda, dan sedang melawan kebiasaan.
Setiap menyerahkan lembar soal ke pengawas. Perasaan ragu selalu menghampirinya. Bayangan bahwa teman-temannya akan mendapat nilai bagus dan mendapat gelar pintar, sementara ia sendiri akan dicap bodoh karena nilai yang anjlok, selalu berhasil membuatnya bimbang. ‘Melawan arus, atau mengikuti arus’.
Ibnu sendiri sebenarnya menolak cara frontal yang dilakukannya itu. Ia lebih senang mengalir, dan tak suka melawan arus. Alasannya sederhana, karena setiap sikap melawan arus itu selalu saja menyakitkan, selalu, dan selalu menyakitkan! Apalagi melihat kondisinya yang tak pandai mengerjakan ujian tulis.
Ia sendiri dikenal sebagai anak yang cukup pintar, setiap tahun ia selalu menempati peringkat 5 besar di kelas. Namun, semua itu didapat dari cara yang salah, dan kali ini ia mencoba melawan dan bertahan demi memperjuangkan sesuatu yang benar.
“Bila aku mendapat nilai buruk setidaknya itu hasil murni dariku, tapi Tuhan pasti memberikan yang terbaik, bagi hambaNya yang mencoba berbuat benar” jawab Ibnu ketika ditanya Surya perihal idealismenya itu. Ibnu sadar kata-kata itu bukanlah sekadar kata-kata yang ditujukan pada temannya, namun lebih ditujukan pada hatinya, supaya tetap tegar dalam menghadapi semua kemungkinan yang akan terjadi di depan.
Pada hari-hari berikutnya, Ibnu belajar lebih giat. Tidak menghapal, tapi berusaha untuk memahami setiap mata pelajaran, dan mengembangkan setiap materi menggunakan bahasanya sendiri. Ia pun sudah mengunci diri dari budaya menyontek, dan itu menuntutnya agar mampu belajar lebih keras.
Ujian kali ini merupakan Ujian Akhir Semester yang sangat mempengaruhi standar kenaikan kelas. Bila tidak memenuhi standar, maka kemungkinan besar harus tinggal di kelas. Ibnu berusaha keras menghindari kemungkinan paling buruk itu.
Hari-hari penuh perjuangan telah berakhir. Setiap orang yang selama ujian sangat bergairah, dan sangat bersemangat belajar, kini kembali ke rutinitas santainya. Hari pengumuman pun telah tiba, pengumuman disebarkan melalui surat ke setiap siswa.
Surya mendapat nilai rata-rata 3,8 mendekati nilai sempurna, ia mendapat peringkat pertama di kelas. Ia memang selalu menduduki peringkat 3 besar di setiap tahunnya. Dan salah satu teman yang terkenal tidak terlalu pintar, atau mungkin bisa disebut bodoh, tahun ini mendapat peringkat ke 5! Menakjubkan! Makan apa dia selama ujian? Metode apa yang digunakannya ketika ujian? Misteri.
Sedangkan Ibnu sendiri tidak diketahui keberadaannya. Setelah menerima surat ia menghilang entah kemana. Surya lalu mencarinya. Ia mendapati Ibnu sedang ada di dalam masjid sekolah, ia sedang berdoa, mungkin sedang mengucap syukur atas nilai yang didapatnya.
“Luar biasa. Kau langsung merefleksikan rasa syukurmu itu dengan beribadah. Kau berhasil dengan idealismemu itu Ibnu” pikir Surya takjub.
Surya mendekati Ibnu, ia melihat Ibnu meraung-raung sedang menangis. Tak ada sama sekali rona ceria dalam tangisnya itu. Wajahnya mendung, benar-benar mendung. Ibnu sadar, Surya sedang di sampingnya, tapi ia tetap mempertahankan tangisannya itu, malah kian menjadi-jadi. Dari sikapnya itu Surya dapat mengira apa yang terjadi pada Ibnu.
“A-Aku sama sekali. Ti-Tidak menyesali semua ini Surya. A-Aku tidak menyesali caraku ini. Setidaknya a-aku lulus dalam ujian Kejujuran!” kata-kata Ibnu menggema di dalam masjid, disambung oleh tangisannya yang tak juga reda.
Suasana mendung di hari itu sangat kontras dengan apa yang dirasakan semua orang di sana. Semuanya ceria, gembira, karena mendapat nilai yang sesuai dengan harapan mereka. Semuanya kecuali Ibnu.
Di suatu pagi di bulan Februari. Cuaca hari itu menampakan kehangatannya, langit di daerah lereng Gunung Ciremai tampak berwarna biru, bersih menghadirkan sang mentari yang cemerlang, menyajikan hangat sinarnya yang menggairahkan. Memicu setiap orang bergerak dan memaksa orang untuk berhenti meditasi di tempat tidur mereka.
Burung-burung pun berkicauan menyambut segala kemungkinan di pagi itu. Aku mendengar kabar, bahwa teman lamaku Ibnu akan ke sekolah hari ini, ke tempat di mana aku mengajar. Saat aku melihatnya langsung, aku tak percaya, aku sedang berhadapan dengannya!
Ia berseragam dinas rapih, berambut pendek dan klimis, masih berkaca mata seperti dulu, dan kini ia tampak memiliki kumis, dan brewok yang tipis. Tak tampak sekali bekas keculunan dan bekas kutu buku di wajahnya itu. Ia melangkah dengan gagah mendekatiku, melangkah penuh rasa optimis.
“Surya! Apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Ada 10 tahun? Bukan main” dialah Ibnu, perwakilan dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.
Dia menyalamiku kemudian memelukku. “Ehm... A-Apa kabar? Kau masih ingat padaku? Ehm... Ma-Maaf... Bapak masih ingat?” Aku gugup. Aku merasa segan, dan canggung padanya. Status sosial kita sudah berbeda. Secara kasta ia sudah termasuk brahmana, sedangkan aku masih golongan sudra.
Aku juga mendengar bahwa ia menjadi orang kepercayaan sang menteri di lingkar Kemendikbud sana, menambah rasa seganku saja.
“Tak usah kaku seperti itu. Aku masih Ibnu yang dulu, yang selalu omong besar, yang selalu protes sistem ini-sistem itu. Yang selalu kena remedial ketika ujian, yang pernah tidak naik kelas! Hahahaa!”
Benar, dia tetap Ibnu temanku. Ia memberi penekanan pada kalimat ‘yang pernah tidak naik kelas!’ lalu tertawa mencoba mengingatkanku akan kenangan kami pada masa-masa sekolah dulu.
“A-Apa kau masih seperti itu? Ehm... Maksudku, apa kau masih suka protes masalah sistem ini-sistem itu, seperti dulu?” aku sedikit tergelitik mendengar kata-katanya mengenai protes terhadap sistem.
“Hehehe... Masih. Tapi, aku kini sudah mengenal dan mengerti makna sebuah batas”. Ibnu menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan. “Dalam sistem pendidikan esensi serta tujuannya adalah pengetahuannya. Dan apa pun itu, termasuk sistem pasti tidak ada yang tak retak, semuanya punya celah. Maka, usaha memaksimalkan sistem, sekali pun sistem itu tidak sempurna, dirasa jauh lebih bijak dibandingkan kita harus merombak dan memulai kembali sistem dari nol” kata Ibnu sambil tersenyum.
“Jadi sekarang kau masih melawan arus?” aku penasaran.
“Kalau menurutmu melawan arus itu ‘berani beda untuk hal yang benar’ maka jawabannya, aku masih melawan arus”. Jawabnya santai sambil tersenyum.
Ah... Ibnu temanku. Dia pantas menempati posisinya sekarang. Tak sembarang orang bisa menempati posisi seperti dia. Dapat kubayangkan sangat sulit, apalagi untuk orang lurus seperti dia. Ia pasti telah melewati banyak rintangan, luka, dan usaha jatuh bangun yang tak terkira.
Butuh banyak syarat yang harus dimiliki orang besar seperti dia. Aku tidak mengetahui semua syarat itu, tetapi dari temanku Ibnu, setidaknya aku tahu dan mengerti, ada dua syarat yang harus dimiliki orang besar. Pertama sifat jujur, dan yang kedua, yang aku sendiri, dulu sampai sekarang masih sulit menerapkan hal itu, syarat yang kedua ‘berani beda untuk hal yang benar’ (selesai).*** Jawa Barat, 2019
Melawan Arus: Cerpen ke-3 Trilogi Perspektif
Trilogi Perspektif: Mentari di Malam Hari; Jangan Bersedih Purnama; dan Melawan Arus.
Penulis : Dede Rudiansah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H