Mohon tunggu...
Dede Rudiansah
Dede Rudiansah Mohon Tunggu... Editor - Reporter | Editor | Edukator

Rumah bagi para pembaca, perenung, pencinta kopi, dan para pemimpi yang sempat ingin hidup abadi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Pendidikan: Melawan Arus [Bagian 2 Selesai]

21 November 2023   01:20 Diperbarui: 10 Desember 2023   21:19 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedangkan Ibnu sendiri tidak diketahui keberadaannya. Setelah menerima surat ia menghilang entah kemana. Surya lalu mencarinya. Ia mendapati Ibnu sedang ada di dalam masjid sekolah, ia sedang berdoa, mungkin sedang mengucap syukur atas nilai yang didapatnya.

“Luar biasa. Kau langsung merefleksikan rasa syukurmu itu dengan beribadah. Kau berhasil dengan idealismemu itu Ibnu” pikir Surya takjub. 

Surya mendekati Ibnu, ia melihat Ibnu meraung-raung sedang menangis. Tak ada sama sekali rona ceria dalam tangisnya itu. Wajahnya mendung, benar-benar mendung. Ibnu sadar, Surya sedang di sampingnya, tapi ia tetap mempertahankan tangisannya itu, malah kian menjadi-jadi. Dari sikapnya itu Surya dapat mengira apa yang terjadi pada Ibnu.

“A-Aku sama sekali. Ti-Tidak menyesali semua ini Surya. A-Aku tidak menyesali caraku ini. Setidaknya a-aku lulus dalam ujian Kejujuran!” kata-kata Ibnu menggema di dalam masjid, disambung oleh tangisannya yang tak juga reda. 

Suasana mendung di hari itu sangat kontras dengan apa yang dirasakan semua orang di sana. Semuanya ceria, gembira, karena mendapat nilai yang sesuai dengan harapan mereka. Semuanya kecuali Ibnu.

Di suatu pagi di bulan Februari. Cuaca hari itu menampakan kehangatannya, langit di daerah lereng Gunung Ciremai tampak berwarna biru, bersih menghadirkan sang mentari yang cemerlang, menyajikan hangat sinarnya yang menggairahkan. Memicu setiap orang bergerak dan memaksa orang untuk berhenti meditasi di tempat tidur mereka.

Burung-burung pun berkicauan menyambut segala kemungkinan di pagi itu. Aku mendengar kabar, bahwa teman lamaku Ibnu akan ke sekolah hari ini, ke tempat di mana aku mengajar. Saat aku melihatnya langsung, aku tak percaya, aku sedang berhadapan dengannya!

Ia berseragam dinas rapih, berambut pendek dan klimis, masih berkaca mata seperti dulu, dan kini ia tampak memiliki kumis, dan brewok yang tipis. Tak tampak sekali bekas keculunan dan bekas kutu buku di wajahnya itu. Ia melangkah dengan gagah mendekatiku, melangkah penuh rasa optimis.

“Surya! Apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Ada 10 tahun? Bukan main” dialah Ibnu, perwakilan dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.

Dia menyalamiku kemudian memelukku. “Ehm... A-Apa kabar? Kau masih ingat padaku? Ehm... Ma-Maaf... Bapak masih ingat?” Aku gugup. Aku merasa segan, dan canggung padanya. Status sosial kita sudah berbeda. Secara kasta ia sudah termasuk brahmana, sedangkan aku masih golongan sudra. 

Aku juga mendengar bahwa ia menjadi orang kepercayaan sang menteri di lingkar Kemendikbud sana, menambah rasa seganku saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun