“Kau ini, Sudah! Samakan saja dengan buku! Bisanya protes saja! Sekarang sedang ujian, Bukan sedang belajar. Kalau mau banyak tanya, ya pas belajar!” sang teman berapi-api. Ibnu sedikit terkejut dan sedikit emosi menerima kata-kata yang penuh gertakan itu. Emosi segera ia redam, dan segera ia lepaskan bersama udara panas yang ia embuskan dari dalam dadanya. Dia berkata dalam hati ‘Inilah wujud sejati para pencari nilai!’.
Kata-kata dari temannya itu masih menggaung di benaknya. Membangkitkan kata-kata Surya tempo hari ‘Sistem pendidikan kita sedang bobrok, kalau kau idealis seperti itu hancur kamu! Jangan terlalu memaksakan diri, ikuti arus saja! Realistis!’ akal sehatnya membenarkan ucapan itu, namun jelas-jelas ia menolak budaya menyontek! Tak ada toleransi!
Selama ujian berlangsung. Saat kelas mendapat pengawas yang malas, dan kebetulan sedang tak ada di kelas, itu adalah waktu untuk menerapkan prinsip kerja sama. Semua peserta ujian saling bertegur bisik-bisik santai untuk memulai diskusi. Ada yang mengeluarkan catatan-catatan kecil, ada yang mengeluarkan telepon genggam. Semuanya, kecuali Ibnu.
Ibnu fokus dengan lembar soalnya seorang diri, tak menegur tak pula di tegur. Hanya lembar soal, lembar jawaban, dan sebuah bolpoin di mejanya. Namun, karena sikapnya yang berbeda itu, tiba-tiba saja ia mulai merasakan keterasingan. Ia mulai merasa sendiri di kelas itu. Ia merasa idealismenya mulai menyiksanya....*** (Cerpen Pendidikan: Melawan Arus bersambung ke bagian 2)
Melawan Arus: Cerpen ke-3 Trilogi Perspektif
Trilogi Perspektif: Mentari di Malam Hari; Jangan Bersedih Purnama; dan Melawan Arus.
Penulis : Dede Rudiansah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H