Mohon tunggu...
Dede Rudiansah
Dede Rudiansah Mohon Tunggu... Editor - Reporter | Editor | Edukator

Rumah bagi para pembaca, perenung, pencinta kopi, dan para pemimpi yang sempat ingin hidup abadi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Pendidikan: Melawan Arus [Bagian 1]

19 November 2023   23:48 Diperbarui: 11 Desember 2023   16:07 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Jadi kau masih melawan arus?” aku penasaran. “Kalau menurutmu melawan arus itu ‘berani beda untuk hal yang benar’ maka jawabannya, aku masih melawan arus”. Jawabnya santai sambil tersenyum.

Di suatu pagi di bulan Februari. Cuaca di hari itu menampakkan kesenduan, mendung menyelimuti langit, awan-awan menghalangi dan menahan sinar mentari. Menjadikan setiap orang malas bergerak, dan mendukung mereka, agar bisa meditasi lebih dalam di tempat tidurnya. Di pagi itu, satu daerah di lereng Gunung Ciremai sedang menghadapi musim penghujan.

Suasana menjadi sunyi, hanya ada suara angin bergemuruh, membawa udara dingin di pagi itu. Burung-burung tak ada yang berkicau. Tak ada seekor pun yang menyambut pagi. Tetapi di depan gerbang sekolah, terdengar ada satu suara yang kontras dengan suasana di pagi itu. Sebuah siulan bak suara burung, berkicau-kicau mengalun merdu, membelah suasana pagi yang sendu. Siulan berasal dari seorang siswa bernama Ibnu sang kutu buku.

Ia melangkah memasuki gerbang sekolah dengan sangat percaya diri. Dengan pakaian seragam yang serba rapih nan licin, rambutnya yang bergaya cepak nan klimis, berkombinasi dengan kacamata bundar berbingkai hitam, menambah baginya kesan optimis. Memasuki gerbang sekolah memecah suasana sendu dan menyambut segala kemungkinan di pagi itu.

Ketika sampai di kelas, Ibnu melihat semua temannya sudah berada di mejanya masing-masing. Mereka sedang belajar tak seperti biasanya. Ada yang membuka-tutup buku, sambil komat-kamit dan merem-melek tak jelas, dari apa yang dilakukannya ia pasti sedang menghafal. Namun, ada juga yang sedang bergerumul di pojok ruangan, sedang berdiskusi tampaknya. 

Ketika memasuki kelas, sebagian teman yang duduk di barisan depan, melirik heran ke arah Ibnu. Entah kenapa, mungkin heran karena melihat Ibnu bersiul-siul riang seperti yang tak punya beban, di hari yang sendu dan penuh beban ini.

Ibnu lalu menghampiri teman-temannya yang sedang berdiskusi di pojok ruangan. “Ada apa denganmu, Nu? Bersiul-siul seperti itu. Habis makan burung Murai kau?” tanya salah satu temannya.

Ibnu tersenyum tak menggubris pertanyaan itu, ia lalu menghentikan siulannya. Surya, salah satu teman di sana bertanya “Kamu sudah menghafalkan apa saja Nu, buat ujian Sejarah sekarang?” Ibnu kembali tersenyum, namun sekarang sedikit agak lama. Surya dan teman-temannya yang lain, diam saling pandang, heran melihat sikap Ibnu yang berbeda.

“Aku tidak menghapal, aku membaca!” jawab Ibnu singkat, sambil berkacak pinggang penuh percaya diri. Semuanya tidak terkejut, mereka sudah paham pola pikir temannya yang selalu out of the box itu.

“Jawaban macam apa itu?” timpal Surya memecah keheningan. Semuanya tertawa. Semuanya, kecuali Ibnu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun