Ibnu mempunyai sudut pandang berbeda dalam memandang ujian. Menurutnya setiap ujian yang diselenggarakan sekolah adalah sebuah tes hasil belajar, untuk tes belajar, tentang belajarnya, bukan semata-mata tentang nilai. Kalau nilai jelek berarti pemahaman selama belajar masih kurang. Jika begitu maka harus belajar lagi, harus mengulang. Tak perlu gengsi.
Ibnu menjelaskan pendapatnya itu kepada semua teman-temannya “Dalam belajar yang penting itu pemahamannya, konsepnya, bukan masalah hafalannya” Ibnu mengatakan semua kata-kata itu dengan sedikit memakai nada bicara yang tinggi. “Percuma kan kalau otak kita hanya dipenuhi bahasa, dan kata-kata dari buku saja, sedangkan kita sendiri tidak benar-benar paham. Konsepnya seperti apa. Maksudnya seperti apa. Kan percuma, dan hanya akan membatasi kita dari pikiran murni kita sendiri” semua orang memandang Ibnu, mereka mengangguk-angguk, sebagian ada yang menggeleng-gelengkan kepala, mereka diam, mungkin takjub. Kata-kata yang tidak biasa diucapkan anak seusianya itu menggema di ruang kelas.
“Ujian itu untuk mengecek pemahaman kita, bukan hafalan kita!” mereka masih memandang Ibnu dalam-dalam, tapi kini sambil memicingkan mata. Tak lama kemudian mereka balik kanan, kembali larut dalam kegiatan awal. Ada yang menghafalkan buku, ada yang berdiskusi kembali. Mereka mengacuhkan ocehan Ibnu. Ibnu sadar, ia telah ceramah di waktu yang kurang tepat.
Waktu ujian telah tiba. Semua orang mendapatkan satu lembar kertas soal dan satu lembar kertas jawaban yang masih kosong. Ketika membuka lembar soal, tampak wajah setiap orang menerbitkan senyuman. “Yeah... Aku tidak salah menghafalkan!” teriak salah satu teman memancing keributan.
Sedangkan di sisi lain, mulai terdengar suara bergumam “Ehm... No. 3... Pengertian Ilmu sejarah, Ilmu sejarah menurut... Ehm... Adalah.... Suatu ilmu... Ehm” tampak ia mulai merem-melek menatap langit-langit kelas sambil menggerak-gerakan telunjuknya menulis di udara.
Semuanya tampak lega. Kemudian, tampak langsung mengerjakan soal. Semuanya, kecuali Ibnu. Ia terkejut bukan main, ia berteriak dalam hati “Sial! Hafalan semua!”.
Ibnu lalu meneliti lagi semua soal itu, membolak-baliknya, membacanya lagi dari soal pertama sampai ke yang terakhir. “Oh... Selamat aku. Ternyata ada 3 soal yang meminta pendapat pribadi” kata Ibnu masih dalam hati. Ia mulai mengerjakan.
Waktu terus berjalan, namun cuaca masih menghadirkan suasana yang sama, dingin, dan sendu. Sebuah jam berukuran besar menempel di dinding kelas sudah menunjukan pukul 09.00, artinya waktu ujian tersisa 30 menit lagi.
Semua orang tampak sangat serius mengerjakan soal. Di antara mereka ada yang sudah merapikan lembar soal dan lembar jawaban di mejanya sambil senyum-senyum sendiri, itu tanda bahwa ia telah selesai. Dan itu tanda bagi peserta lain untuk gelisah tak tenang.
Waktu tersisa 30 menit lagi, dan lembar jawaban Ibnu masih banyak yang kosong. Ia melihat ke samping kiri tempat duduknya, seorang teman sedang membuka telepon genggam dengan santainya di bawah meja. Sedang ia melihat di depan, di bawah foto Presiden dan wakilnya, dan juga di bawah replika burung garuda, sang pengawas pun tengah asyik dan santai memainkan telepon genggamnya. Sambil cekakak-cekikik seolah mengizinkan kami berbuat apa pun.
Selain itu, ia juga mendengar di samping kanan tempat duduknya, Surya sedang berbisik-bisik dengan teman di depannya, mereka sedang diskusi, saling tukar jawaban!