Dalam Api Tauhid, kita dapat memandang kondisi Turki melalui mata Badiuzzaman. Betapa sedihnya, betapa terpukulnya hati ketika menyaksikan Islam dalam simbol Turki Utsmani tercerai berai. Bahkan daerah Palestina yang terus bergolak sampai saat ini pun diceritakan pemicu awalnya adalah karena kebokbrokan Kesultanan Turki Utsmani.
Turki dalam komando Mustafa Kemal, yang kemudian mendapat gelar Attaturk seketika diubah menjadi negara sekuler yang memisahkan kehidupan bernegara dengan agama. Setelah perubahan sistem kenegaraan, Mustafa menerbitkan pula peraturan-peraturan yang cukup ‘berani’. Misalnya peraturan penggunaan huruf Arab ditiadakan, setiap mengumandangkan adzan harus menggunakan bahasa Turki, tempat-tempat ibadah besar dialihfungsikan menjadi museum, simbol agama harus ditiadakan, sampai dengan larangan penggunaan niqab serta jilbab.
- Simpulan
Kegetiran, ketegangan, dan terbangunnya kembali jiwa adalah sedikit dampak yang akan dirasakan ketika membaca novel sejarah Api Tauhid ini.
Kang Abik melalui Api Tauhid-nya seakan-akan mengumandangkan kembali apa yang pernah disampaikan Bung Karno, ‘JASMERAH’ jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sejarah adalah sumber belajar dan cerminan dalam mengambil sikap di masa yang akan datang.
Membaca novel sejarah Api Tauhid juga akan mengingatkan kita sedikit banyaknya pada Bumi Manusia. Dengan konsep yang sama ‘novel sejarah’ Kang Abik dan Pram berhasil menghidupkan kembali api semangat yang berkobar pada masa silam.
Sebagai tambahan, masa di mana Badiuzzaman Said Nursi hidup adalah sama dengan masa hidupnya Syaikh Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdatul Ulama), dan KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah). Melalui kedua tokoh ulama-agamawan ini tentunya kita bisa merasakan perkembangan Islam di Indonesia. Akan sangat luar biasa jika di luar sana ada seorang novelis atau pengarang yang mampu menyusun kisah heroik keduanya ke dalam medium novel dengan kobaran semangat islam dan cinta tanah air layaknya Api Tauhid.
- Epilog
“Di antara yang paling penting yang telah aku pelajari dan aku dapatkan dari kehidupan sosial manusia sepanjang hidup adalah bahwa yang paling layak untuk dicintai adalah cinta itu sendiri, dan yang paling layak dimusuhi adalah permusuhan itu sendiri. Faktor-faktor yang melahirkan cinta adalah keimanan, keislaman, dan kemanusiaan serta berbagai mata rantai nurani yang kokoh dan benteng maknawi yang tangguh”.-Badiuzzaman Said Nursi (Api Tauhid, Halaman 372).***
Penulis: Dede Rudiansah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H