Oleh karena itu, secara garis besar novel ini berisikan 2 kisah, kisah Sang ulama Badiuzzaman dan kisah Fahmi. Formula penceritaan yang disusun oleh Kang Abik dalam memadukan kedua kisah ini adalah dengan menggunakan formula ‘cerita di dalam cerita’.
Fahmi dan Hamza merupakan tokoh rekaan yang membuat kisah sejarah Badiuzzaman bergulir. Fahmi digambarkan sebagai tokoh pembelajar yang amat penasaran dengan kehidupan Badiuzzaman. Sedangkan Hamza dibuat sebagai tokoh yang banyak menjelaskan dan menjadi narator atas sepak terjang Badiuzzaman di masa perjuangan. Melalui tokoh Hamza-lah, Kang Abik seolah-olah hadir menjadi ‘dalang’ dan menuturkan sejarah ulama besar Badiuzzaman Said Nursi kepada para pembacanya.
Selain formula ‘cerita di dalam cerita’, penceritaan dalam novel ini pun semakin kaya karena konsep traveling. Melalui penggambarannya kita sebagai pembaca seolah-olah hadir di sudut-sudut kota Istanbul. Masuk ke dalam lorong masjid Aya Sofia, ikut bertadabur di musium Jalaluddin Rumi, dan ikut merasakan betapa pahitnya kopi khas Turki di kedai kopi Tahmis Kahvesi. Semua ini membuktikan bahwa Api Tauhid disusun berdasarkan riset fakta yang sangat luar biasa.
- Runtuhnya Khilafah dan Awal Mula Derita di Palestina
Sebagai novel sejarah Api Tauhid menghadirkan tokoh ulama Badiuzzaman Said Nursi yang hidup di tengah-tengah revolusi Turki. Ia harus beberapa kali menghadapi pergolakan dan bertentangan dengan pemerintah karena memegang prinsip keislaman dan menginginkan Turki menjadi negeri adidaya kembali. Dalam perjuangannya, Badiuzzaman bahkan tak jarang mesti keluar masuk penjara dan pengasingan.
Pemerintahan absolut yang segala sesuatunya harus berdasar pada titah sultan, pada akhirnya membuat rakyat jemu. Selama 30 tahun lembaga perwakilan dibekukan, selama itu pula rakyat memupuk ketidaksukaan kepada sultan. Menjawab keresahan rakyat, lahirlah dua kelompok yang menginginkan perubahan.Â
Kelompok nasionalis dan kelompok agamis. Kedua kelompok ini menginginkan kemajuan Turki dengan cara yang berbeda. Kelompok nasionalis menginginkan perubahan dalam setiap segi pemerintahan, konsep pemerintahan, dan jika bisa sampai ke akar-akarnya. Sementara kelompok kedua menginginkan perubahan dan perbaikan tanpa merubah atau mengganti fondasi pemerintahan.
Walau demikian, kedua kelompok ini menyepakati bahwa pemerintahan yang berkuasa saat itu amatlah korup. Konon setiap kebijakan yang keluar pun seringnya adalah kebijakan yang menyepelekan masalah/persoalan rakyat. Oleh karenanya, maka tak heran sebuah pemerintahan dengan luas kekuasaan hampir separuh dunia itu akhirnya goyah.
Keterpurukan Turki semakin menjadi ketika ia ikut andil dalam perang dunia pertama. Sebuah negara yang sedang tidak stabil ada dalam amukan perang. Maka hasilnya akan mudah ditebak, Kesultanan Turki Utsmani pada akhirnya kalah, tumbang bersama Kekaisaran Jerman, Bulgaria, dan Austria-Hungaria.
Dari peristiwa inilah Badiuzzaman menyaksikan beberapa daerah pemerintah Turki Utsmani terpecah belah hingga yang tersisa hanyalah daerah Turki. Sebagian dari mereka memerdekakan diri, dan sebagiannya lagi menjadi rampasan perang. Julukan Turki sebagai ‘The Sick Man’ (orang sakit) pun menjadi julukan yang amat memalukan. Semua itu mencapai klimaks ketika kelompok nasionalis membuat revolusi dan menuduh bahwa biang keladi dari kemerosotan Turki adalah khilafah.
Mustafa Kemal sebagai pemimpin kelompok nasionalis kemudian merebut paksa pemerintahan, mengusir sultan, dan pada tanggal 3 Maret 1924 mendeklarasikan bahwa ideologi khilafah di tanah Turki dihapuskan. Tepat pada tanggal itulah imperium yang berkuasa lebih dari 600 tahun resmi berakhir.