Mohon tunggu...
Dede Rudiansah
Dede Rudiansah Mohon Tunggu... Editor - Reporter | Editor | Edukator

Rumah bagi para pembaca, perenung, pencinta kopi, dan para pemimpi yang sempat ingin hidup abadi.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Sabar yang Pas, Resensi Novel Ranah 3 Warna Karya Ahmad Fuadi

8 November 2023   01:22 Diperbarui: 8 November 2023   03:11 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel Ranah 3 Warna berkisah tentang seorang anak lulusan pondok pesantren yang mempunyai mimpi menuntut ilmu di Universitas ternama di Jawa Barat. Alif namanya, ia mempunyai keyakinan bahwa segala hal di dunia ini, bila diperjuangkan dengan sungguh-sungguh apa pun itu, maka akan tercapai. Bukan hanya kata-kata manis atau sebatas kata optimistis kosong belaka karena semua itu telah ia buktikan sendiri selama menempuh pendidikan di Pondok Madani. Man Jadda Wajada, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil.

Tapi bukankah semua yang ada di dunia ini mempunyai ukuran serta batasan? Jika benar demikian, bagaimana dengan Man Jadda Wajada? Apankah Alif akan terus menerjang semua masalah layaknya badak menghantam tembok-tembok yang menghalangi pandangannya? Benarkah Man Jadda Wajada akan selalu berakhir happy ending? Di novel inilah pertanyaan dan semua dinamika hidup yang hampir dialami oleh semua orang itu akan terjawab.

  • IDENTITAS BUKU

Judul buku: Ranah 3 Warna; Pengarang: A. Fuadi; Penerbit: Gramedia Pustaka Utama; Tahun Terbit: 2013; Jumlah halaman: 472.

  • SINGKAT CERITA

Ranah 3 Warna merupakan novel kedua dari trilogi Negeri 5 Menara, melanjutkan kisah perjalanan hidup Sang Tokoh Utama, Alif Fikri, dalam mewujudkan impian serta cita-citanya. Di kisahnya kali ini, Alif digambarkan tengah memasuki masa pendewasaan diri, secara psikologis-emosi.

Kisah berawal ketika Alif yang baru saja lulus dari Pondok Madani, Jawa Timur, mempunyai keinginan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, kuliah di tempat yang selalu menjadi ambisinya sejak duduk di bangku SLTP, yaitu Kota Kembang, Bandung.

Karena setiap lulusan Pondok Madani tidak mendapatkan ijazah (sebagai berkas tanda tamat belajar), maka dengan semangat yang membara, sebelum bertempur memperebutkan bangku kuliah, Alif kemudian melakukan ujian persamaan demi mendapatkan syarat administratif tersebut.

Berbeda dengan cerita di Negeri 5 Menara, Alif kini tidak lagi berobsesi menjadi Habibie yang konsen mempelajari dan mengambil studinya di bidang teknik. Di Ranah 3 Warna, ia merubah haluannya dan kini lebih tertarik untuk belajar di jurusan Hubungan Internasional di FISIP Unpad Bandung.

Ditemani Randai, sahabat sekaligus rival sejatinya, Alif kini mulai mengarungi ranah keduanya setelah pondok Madani. Sebagai mahasiswa baru, Alif di kampus diharuskan memilih unit kegiatan mahasiswa sebagai wadah kegiatan kedua selain perkuliahan, dan akhirnya setelah mempertimbangkan potensinya dalam hal berkomunikasi, jatuhlah pilihan kepada unit kegiatan jurnalistik.

Di sana Alif aktif membuat tulisan, laporan-laporan jurnalistik yang turut dimuat di majalah kampus dan bahkan sampai ikut diterbitkan di surat kabar lokal. Berkat bimbingan Bang Togar seorang senior yang selalu bersikap disiplin, Alif pun perlahan mampu membiayai kehidupannya secara mandiri, berdikari di kota orang. Dan sekali lagi mantra Man Jadda Wajada, terbukti ampuh sebagai senjata dalam menghadapi problematika hidup.

Alif dengan segala keinginannya yang sudah terwujud itu pun kini senantiasa hidup berbahagia. Namun, tiba-tiba sebuah kabar dari kampung halaman di Maninjau telah menjungkirbalikkan kehidupan Alif. Ayah meninggal dunia. Sebuah kabar yang mengantarkan kiamat di hidup Alif.

Alif selaku anak paling tua merasa semua tugas dan tanggung jawab sang Ayah kini berpindah ke pundaknya. Dalam masa inilah ia kemudian dihadapakan kepada pilihan yang sangat dilematis, melanjutkan studi demi menggapai cita-cita atau kembali ke Maninjau demi keluarga. Dengan tegar ia kemudian membisikan kata-kata lembut ke dalam hatinya, jika bisa keduanya kenapa harus memilih?

Di Bandung, akhirnya Alif berjuang demi kedua hal tersebut. Menjadi guru les, menjadi sales barang-barang kecantikan, dan menjual kain adat. Segalanya ia ikhtiarkan demi keluarga di kampung halaman, demi studinya, dan memutus kebangkrutan yang selalu membayanginya. 

Segala daya upaya telah dilakukannya, namun tetap tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Semua usaha yang dilakukannya kini hanya berujung pada kekecewaan. Semakin ia berusaha semakin ia jatuh ke dalam jurang yang penuh dengan kesakitan. 

Seakan nasib buruk telah nyaman melekat pada Alif, saat sedang berkeliling mendagangkan barang secara dor to dor, Alif di rampok oleh 2 orang preman. Alangkah sempurnanya penderitaan, setelah di rampok ia yang jiwa raganya sedang benar-benar ditempa itu pun akhirnya menyerah pada keadaan, Alif jatuh sakit. Bangkrutlah ia.

Peristiwa tak mengenakan bertubi-tubi terus menerpa Alif. Perasaan dan keyakinannya kacau balau, ia sempat mempertanyakan nasibnya pada Tuhan, ia sempat meragukan prinsip 'Man Jadda Wajada' prinsip yang selalu dipegangnya. Tapi akhirnya sebuah nasihat, salah satu mantra sederhana lainnya berhasil membangkitkan Alif kembali.

Sebuah mantra kehidupan yang sedikit berbeda dengan Man Jadda Wajada. Mantra kehidupan yang berbunyi, Man Shabara Zhafira, siapa yang sabar pasti beruntung. Mantra pendamping Man Jadda Wajada.

Jika hanya kerja sungguh-sungguh, kerja keras tanpa mengetahui batasan, tidak tahu kapan harus menginjak rem dan kapan harus tancap gas, maka semua itu hanya akan bermuara pada dua hal, jika ia berhasil maka keberhasilan itu akan menuntut pada pemenuhan ambisi berikutnya, dan jika ia gagal, maka ia akan menabrak dan terjun pada jurang keterpurukan.

Oleh karena itu, sebagai penyeimbang kobaran api Man Jadda Wajada hadirlah Man Shabara Zhafira. Dengannya setiap usaha membabi buta dan kobaran api nan dahsyat akan lebih bisa terkendali dan lebih terjaga kobarannya.

Karena mantra Man Shabara Zhafira, Alif kembali terkenang pada dirinya di masa lalu, di masa-masa menjadi pendaras ilmu di Pondok Madani. Para sahabatnya, Sahibul Manara, mimpi yang pernah disemainya bersama para sahabat, pergi ke benua Amerika, semua kenangan itu perlahan mulai membantunya bangkit kembali.

Perlahan rasa optimisnya itu mulai hidup dan membara, tetapi kini kobarannya berbeda karena ia sekarang sudah melengkapi diri dengan sebuah pelindung yang mampu menjaga kobaran api semangatnya, sebuah baju zirah, bernama sabar.

Alif kembali bangkit dan mencoba membenahi hidupnya kembali. Semuanya berjalan dengan semestinya dan ia pun mendapatkan kembali kebahagiaan yang sudah lama hilang, kini ia sudah berdamai dengan keadaan. Dan sebuah pencapaian yang tak diduga, Alif pada akhirnya berhasil mewujudkan mimpi terbesarnya, yaitu pergi ke benua Amerika, melalui program beasiswa. Ranah ketiga pun, yakni Benua Amerika, berhasil ia pijak.

Di akhir kisah, Alif dihadapkan kembali dengan problematika yang serupa. Namun, semua itu kini ia sikapi dengan cara yang lebih bijak. Alif dengan lapang dada mengikhlaskan dan melepaskan sesuatu hal yang sudah semestinya dilepas pergi.

  • JAJAK PENDAPAT

Novel ini memiliki kelebihan dari segi cerita yang ringan dan mudah dipahami bagi para pembaca, khususnya pembaca muda. Ringan bukan berarti tidak berbobot, melainkan karena penuh dengan nilai hidup, gambaran hidup yang nyata dan super kompleks namun dengan mudah bisa disajikan dengan bahasa ringan nan indah.

Melalui 472 halaman ini Ahmad Fuadi menyajikan kepada kita semangat untuk terus teguh menggapai cita-cita dan bersabar dalam meraihnya. Sabar di sini bukan berarti membabi buta dalam konsistensi aksi apalagi diam tanpa aksi. Sabar di sini artinya konsisten dan realistis. Sebab perjuangan yang terus digas tanpa mengenal rem hanya akan berujung sia-sia. Bukankah dalam bermain layang-layang pun kita mengenal konsep tarik ulur, menyesuaikan diri dengan gerak angin agar layang-layang tetap berada di udara? Begitu pun dalam hidup.

Walau demikian Alif dengan berbagai kompleksitas hidupnya membawa kita kepada pencapaian yang luar biasa, Alif dapat menggapai semua keinginannya. Dan konsep sabar ini bisa benar-benar terasa di akhir kisah, ketika Alif harus merelakan satu ambisinya dan harus kembali menyaksikan kemenengan Randai. Dari sini kita menyadari bahwa di antara keberhasilan pasti selalu saja ada kegagalan, dan ini yang membuat hidup sempurna.

Melalui Alif kita belajar bahwa hidup akan berjalan sebagaimana mestinya, ada tiada, suka duka, berhasil dan gagal, semua adalah fitrah hidup dan yang menentukan adalah bagaimana kita merespons semua fenomena tersebut.

Sementara itu dari segi pesan/amanat novel ini juga jelas mampu memberikan nuansa positif dan motivasi bagi setiap pembaca dalam memandang problematika hidup. Dalam lingkup keluarga, persahabatan, studi, bahkan percintaan.

Adapun kekurangan yang tampak pada novel ini yaitu pada pola cerita. Bila diperhatikan lebih dalam pola cerita Ranah 3 Warna tampak sangat mirip dengan pola cerita di Negeri 5 Menara, jadi bagi mereka yang sudah membaca novel Negeri 5 Menara, sedikit banyaknya akan timbul prediksi-prediksi tertentu ketika membaca Ranah 3 Warna.

  • SEKILAS TENTANG PENGARANG

Pengarang novel Ranah 3 Warna adalah Ahmad Fuadi, seorang anak asli Maninjau Sumatra Barat. Ia lahir di Bayur, kampung kecil dipinggir danau maninjau tahun 1972. Fuadi merantau ke Jawa, memenuhi permintaan ibunya untuk masuk sekolah agama. Di Pondok Modern Gontor ia bertemu dengan kyai dan ustaz yang diberkahi keikhlasan mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat. Gontor pula yang mengajarkan kepadanya 'mantra' sederhana yang sangat kuat, man jadda wajada, dan man shabara zhafira.

Lulus kuliah Hubungan Internasional, UNPAD, dia menjadi wartawan majalah Tempo. Tahun 1999, dia mendapat beasiswa Fullbright untuk kuliah S-2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University, USA. Tahun 2004 jendela dunia terbuka lagi ketika dia mendapatkan beasiswa Chevening Award untuk belajar di Royal Holloway, University of London untuk bidang film dokumenter.

Fuadi telah mendapatkan 8 beasiswa untuk belajar di luar negeri. Dia telah mendapat kesempatan tinggal dan belajar di Kanada, Singapura, Amerika Serikat, dan Inggris. Kini Fuadi sibuk menulis, jadi pembicara, dan motivator. Novel Ranah 3 Warna merupakan novel kedua dari trilogi novel Negeri 5 Menara.

  • EPILOG

Pesan Kiyai Rais: "Anak-anakku... Badai paling dahsyat dalam sejarah manusia adalah badai jiwa, badai rohani, badai hati. Inilah badai dalam perjalanan menemukan dirinya yang sejati. Inilah badai yang bisa membongkar dan mengempaskan iman, logika, kepercayaan diri, dan tujuan hidup. Akibat badai ini bisa lebih hebat dari badai ragawi. Menangilah badai rohani dengan iman dan sabar, kalian akan menjinakkan dunia akhirat".***

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun