Mohon tunggu...
Dede Rudiansah
Dede Rudiansah Mohon Tunggu... Editor - Reporter | Editor | Edukator

Rumah bagi para pembaca, perenung, pencinta kopi, dan para pemimpi yang sempat ingin hidup abadi.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Review Budi Pekerti, Film Terbaik di Tahun 2023

5 November 2023   04:26 Diperbarui: 9 November 2023   14:51 2932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Budi Pekerti, sebuah film yang layak mendapatkan apresiasi luar biasa. Simpel, sederhana, namun syarat akan pesan dan renungan. Jika boleh mengutip bebas pernyataan Dwi Sasono--salah satu aktor di film ini--Budi Pekerti bukan sekadar film, tapi cahaya yang sangat bisa mengubah hidup seseorang.

Sedikit hiperbola, tapi memang itu jugalah yang saya rasakan. Budi Pekerti hadir dengan kisah yang sangat dekat dan relate. Soal fenomena viral di media sosial, soal media/konten klickbait, sampai dengan persoalan metode mendidik dan otoritas guru di dunia pendidikan. Para guru wajib nonton ini.

Penuh filosofi, dalam, dan penuh dengan unsur-unsur semiotik. Walau demikian, bukan berarti film ini sulit dicerna, njelimet, dan bikin mumet. Justru, film ini sangat renyah dan mampu dinikmati dengan tanpa mengernyitkan dahi. Yang mesti diwaspadai dari film ini hanya satu, bahwa Budi Pekerti mampu mengoyak-ngoyak perasaan dan menderaskan air mata. Khususnya anda para guru, jadi waspadalah.

  • SINOPSIS

Film Budi Pekerti sendiri bercerita tentang seorang guru BK (bimbingan konseling) bernama Bu Prani yang viral karena video perseteruannya dengan seorang pesepeda sombong di pasar Yogyakarta. 

Bersama kedua anaknya, Bu Prani berusaha menyelesaikan masalah yang timbul dari video yang konon tidak ber-Budi Pekerti itu. Namun begitulah, persoalan yang kadung viral di dunia maya tidak akan sirna dengan mudah. Ia akan terus menggelinding ke sagala arah dan jika tidak disikapi dengan tepat perlahan namun pasti akan merunyamkan kehidupan.

Menampilkan Sha Ine Febriyanti sebagai Bu Prani; Angga Yunanda sebagai Muklas; Prilly Latuconsina sebagai Tita; Dwi Sasono sebagai Pak Didit; Omara Esteghlal sebagai Gora; dan Ari Lesmana sebagai Tunas. Sementara itu duduk di bangku Sutradara sekaligus Penulis Cerita, Wregas Bhanuteja sineas muda asal Yogyakarta.

  • KEPINCUT SINEMA WREGAS

Wregas merupakan sutradara film yang terkenal gemar menghadirkan simbol-simbol penuh makna di setiap karyanya. Sekadar berbagi pengalaman, saya pertama kali mengenal/tahu Wregas Bhanuteja ketika ia muncul di pemberitaan nasional pada tahun 2016. Ia muncul karena di tahun itu film pendeknya yang berjudul Prenjak berhasil berhasil memenangkan Festival Film Cannes di Prancis.

Walau demikian, saya pribadi tahu karya Wregas secara utuh justru bukan dari Prenjak, melainkan dari film pendek Wregas lainnya, yaitu Lemantun (Prenjak sendiri setahu saya belum ditayangkan secara luas dan masih tayang terbatas, festival ke festival). 

Dari film yang diproduksi tahun 2014 inilah saya menemukan keunikan dan keajaiban sebuah sinema. Bahwa ternyata kisah sederhana jika dikemas dengan sedemikian apik ternyata bisa sangat "nendang". Minimalis dan semua adegannya efektif, itulah kesan saya ketika menyaksikan film Lemantun. Bagi yang belum bertemu keluarga Mas Tri di Lemantun, mereka ada di Youtube. 

Dari Lemantun kemudian ke Penyalin Cahaya (2021). Penyalin Cahaya merupakan film panjang pertama Wregas. Ceritanya menarik dan sedikit ada unsur-unsur surealnya. Jika dibandingkan dengan film sebelumnya sangat luar biasa. Dari sinilah makin mengukuhkan penilaian saya bahwa Wregas Bhanuteja memang bukan sutradara kaleng-kaleng.

Terlebih Penyalin Cahaya pada tahun 2021 juga menjadi film dengan perolehan penghargaan FFI terbanyak. Borong 12 piala citra! Dan sekarang, 2023 dua tahun setelahnya, Budi Pekerti mendapat 17 nominasi penghargaan FFI! Berpotensi mengulang pencapaian di tahun 2021. Salut.

instagram.com/filmbudipekerti
instagram.com/filmbudipekerti
  • PROS AND CONS

Budi Pekerti berusaha mengangkat isu yang sangat penting tentang media sosial. Sebagaimana yang dijelaskan cast-nya bahwa Budi Pekerti bukan sekadar film, tapi sebuah "misi" yang tentu syarat akan pesan. 

Walau demikian, dalam penceritaannya Wregas justru tidak berusaha "menceramahi" para penontonnya. Budi Pekerti menunjukkan aksi reaksi alami para cast. Bahasa jawa yang dituturkan para cast sangat luwes. Ceritanya mengalir dan padat. Bahkan penonton seolah tersedot, rela masuk ke dalam alur ceritanya.

Selain cerita, para cast-nya juga luar biasa. Seperti yang disampaikan orang-orang bahwa Angga dan Prilly di film ini benar-benar lenyap, moksa. Yang ada tinggallah Muklas si jamet animalus penggila endorsment dan Tita si aktivis introvert dengan bisnis thrifting-nya. Selain itu, yang tentu menarik perhatian adalah karakter Bu Prani itu sendiri, sang tituler yang diperankan oleh Sha Ine Febriyanti.

Bu Prani adalah karakter guru yang mempunyai metode/cara unik dalam memberikan reward serta punishment kepada para muridnya. Selain menjadi guru, Bu Prani juga seorang ibu rumah tangga. Mempunyai dua orang anak dengan kesibukan serta dunianya masing-masing. Hidup Bu Prani sangat sederhana. Di tengah kesederhanaan hidup itu, ia juga harus menjaga suaminya yang tengah mengidap bipolar. Sosok karakter perempuan yang tegar, kuat, dan mandiri.

Entah kenapa, sekilas karakter tersebut memang mengingatkan saya kepada karakter Nyai Ontosoroh di roman Bumi Manusia-nya Pram, yang juga di versi filmnya diperankan oleh Sha Ine Febriyanti. 

Keduanya identik dan pas ketika diperankan oleh Mbak Ine. Setelah film Budi Pekerti berakhir saya pun seolah mendengar dialog pamungkas dari Nyai Ontosoroh yang mengatakan bahwa "Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya." Sebuah kalimat nerimo atas perjuangan yang tumpas karena melawan ketidakadilan dunia.

Adapun jika ditanya bagian teristimewa dari film ini ada di bagian mana, maka saya akan yakin menjawab, di bagian akhir. Bagian "Hujan dan bakso". Dua benda ini menjadi sangat istimewa di akhir film Budi Pekerti. Walau demikian, jika direnungkan lebih lanjut, justru bukan soal hujan atau baksonyalah yang membuatnya istimewa, tapi orang-orang yang ada di dalam scene itulah. Keluarga.

Di bagian ini, seperti yang disampaikan Wregas, untuk pertama kalinya semua anggota keluarga Bu Prani berada di satu scene yang sama. Melakukan aktivitas bersama dan menuju tujuan yang sama.

Seketika saya pun sadar bahwa film ini bukan hanya berkisah tentang dampak media sosial dan problematika dunia pendidikan saja, tapi juga soal keluarga. Bahkan sebenarnya, menurut saya pribadi film ini sendiri murni tentang keluarga. Tentang bagaimana saling mendukung dalam keluarga, saling menguatkan, dan tidak egois satu sama lain.

Sebagai penutup, setelah mengetahui bahwa pengisi lagu tema Budi Pekerti adalah Gardika Gigih, yaitu orang yang sama yang juga mengisi lagu tema di film Lemantun, maka tidak berlebihan rasanya jika saya mengatakan bahwa Wregas dan Gigih adalah Nolan serta Zimmer-nya Indonesia. 

Kenapa saya bisa bilang begitu, percayalah Wregas dan Gigih selalu berhasil memadukan karya sinema dan musik di setiap karya-karyanya. Mereka menjadi identik untuk satu sama lain, persis Nolan dan Zimmer. Dunia perfilman Indonesia kini mempunyai standar kualitas baru. Bravo.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun