Terlebih Penyalin Cahaya pada tahun 2021 juga menjadi film dengan perolehan penghargaan FFI terbanyak. Borong 12 piala citra! Dan sekarang, 2023 dua tahun setelahnya, Budi Pekerti mendapat 17 nominasi penghargaan FFI! Berpotensi mengulang pencapaian di tahun 2021. Salut.
- PROS AND CONS
Budi Pekerti berusaha mengangkat isu yang sangat penting tentang media sosial. Sebagaimana yang dijelaskan cast-nya bahwa Budi Pekerti bukan sekadar film, tapi sebuah "misi" yang tentu syarat akan pesan.Â
Walau demikian, dalam penceritaannya Wregas justru tidak berusaha "menceramahi" para penontonnya. Budi Pekerti menunjukkan aksi reaksi alami para cast. Bahasa jawa yang dituturkan para cast sangat luwes. Ceritanya mengalir dan padat. Bahkan penonton seolah tersedot, rela masuk ke dalam alur ceritanya.
Selain cerita, para cast-nya juga luar biasa. Seperti yang disampaikan orang-orang bahwa Angga dan Prilly di film ini benar-benar lenyap, moksa. Yang ada tinggallah Muklas si jamet animalus penggila endorsment dan Tita si aktivis introvert dengan bisnis thrifting-nya. Selain itu, yang tentu menarik perhatian adalah karakter Bu Prani itu sendiri, sang tituler yang diperankan oleh Sha Ine Febriyanti.
Bu Prani adalah karakter guru yang mempunyai metode/cara unik dalam memberikan reward serta punishment kepada para muridnya. Selain menjadi guru, Bu Prani juga seorang ibu rumah tangga. Mempunyai dua orang anak dengan kesibukan serta dunianya masing-masing. Hidup Bu Prani sangat sederhana. Di tengah kesederhanaan hidup itu, ia juga harus menjaga suaminya yang tengah mengidap bipolar. Sosok karakter perempuan yang tegar, kuat, dan mandiri.
Entah kenapa, sekilas karakter tersebut memang mengingatkan saya kepada karakter Nyai Ontosoroh di roman Bumi Manusia-nya Pram, yang juga di versi filmnya diperankan oleh Sha Ine Febriyanti.Â
Keduanya identik dan pas ketika diperankan oleh Mbak Ine. Setelah film Budi Pekerti berakhir saya pun seolah mendengar dialog pamungkas dari Nyai Ontosoroh yang mengatakan bahwa "Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya." Sebuah kalimat nerimo atas perjuangan yang tumpas karena melawan ketidakadilan dunia.
Adapun jika ditanya bagian teristimewa dari film ini ada di bagian mana, maka saya akan yakin menjawab, di bagian akhir. Bagian "Hujan dan bakso". Dua benda ini menjadi sangat istimewa di akhir film Budi Pekerti. Walau demikian, jika direnungkan lebih lanjut, justru bukan soal hujan atau baksonyalah yang membuatnya istimewa, tapi orang-orang yang ada di dalam scene itulah. Keluarga.
Di bagian ini, seperti yang disampaikan Wregas, untuk pertama kalinya semua anggota keluarga Bu Prani berada di satu scene yang sama. Melakukan aktivitas bersama dan menuju tujuan yang sama.
Seketika saya pun sadar bahwa film ini bukan hanya berkisah tentang dampak media sosial dan problematika dunia pendidikan saja, tapi juga soal keluarga. Bahkan sebenarnya, menurut saya pribadi film ini sendiri murni tentang keluarga. Tentang bagaimana saling mendukung dalam keluarga, saling menguatkan, dan tidak egois satu sama lain.