Stunting merupakan salah satu masalah kesehatan serius yang dialami oleh banyak anak di Indonesia. Kondisi ini memengaruhi pertumbuhan fisik anak dan dapat menurunkan kemampuan kognitif mereka, yang berujung pada dampak jangka panjang terhadap kualitas sumber daya manusia di masa depan. Dalam rangka mengatasi masalah ini, komunikasi kesehatan memainkan peran yang sangat penting, terutama dalam meningkatkan kesadaran masyarakat dan merubah perilaku mereka untuk mencegah stunting. Penelitian yang dilakukan di Lubuk Pakam, Deli Serdang, memaparkan bagaimana Puskesmas setempat menerapkan strategi komunikasi kesehatan guna menanggulangi stunting. Artikel ini akan menganalisis temuan dari penelitian tersebut dengan menggunakan pendekatan Health Belief Model (HBM) untuk menganalisis bagaimana komunikasi kesehatan yang dilakukan dapat mempengaruhi perilaku masyarakat.
Health Belief Model (HBM):
Health Belief Model (HBM) adalah teori yang digunakan untuk memahami bagaimana persepsi individu terhadap masalah kesehatan, seperti keparahan dan kerentanannya terhadap penyakit, serta manfaat dan hambatan dalam mengambil tindakan pencegahan, dapat memengaruhi keputusan mereka untuk berperilaku sehat. Model ini terdiri dari beberapa komponen utama yang bisa digunakan untuk menganalisis perilaku kesehatan masyarakat:
1. Perceived Susceptibility (Persepsi Kerentanannya): Sejauh mana seseorang merasa dirinya berisiko terkena suatu penyakit.
2. Perceived Severity (Persepsi Keparahannya): Bagaimana seseorang menilai keparahan suatu penyakit dan dampaknya.
3. Perceived Benefits (Persepsi Manfaat): Sejauh mana seseorang percaya bahwa tindakan pencegahan dapat mengurangi risiko atau dampak penyakit.
4. Perceived Barriers (Persepsi Hambatan): Kendala atau hambatan yang dirasakan seseorang untuk melakukan tindakan pencegahan.
5. Cues to Action (Isyarat untuk Bertindak): Faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk mengambil tindakan.
6. Self-Efficacy (Efikasi Diri): Keyakinan diri seseorang untuk dapat mengambil tindakan yang diperlukan.
Dengan menggunakan Health Belief Model, kita dapat melihat lebih dalam bagaimana komunikasi kesehatan yang dilakukan oleh Puskesmas dapat mempengaruhi perubahan perilaku masyarakat dalam mengatasi stunting.
1. Perceived Susceptibility (Persepsi Kerentanannya)
Salah satu tujuan utama dari strategi komunikasi kesehatan yang dijalankan oleh Puskesmas adalah untuk meningkatkan pemahaman masyarakat, khususnya para ibu, mengenai kerentanannya terhadap stunting. Banyak keluarga yang belum sepenuhnya menyadari bahwa anak mereka berisiko mengalami stunting, terutama jika mereka tidak memperhatikan asupan gizi yang seimbang dan kesehatan anak secara menyeluruh.
Puskesmas berusaha untuk memperkuat persepsi kerentanan ini dengan cara menyampaikan informasi yang mudah dipahami tentang bagaimana stunting dapat memengaruhi pertumbuhan fisik dan perkembangan anak. Dengan cara ini, masyarakat diharapkan akan lebih peduli terhadap faktor-faktor yang dapat menyebabkan stunting dan lebih termotivasi untuk mengambil langkah pencegahan.
2. Perceived Severity (Persepsi Keparahannya)
Selain mengedukasi masyarakat tentang kerentanannya terhadap stunting, Puskesmas juga berfokus pada peningkatan pemahaman tentang dampak serius dari stunting. Stunting tidak hanya berpengaruh pada tinggi badan anak, tetapi juga dapat mengganggu perkembangan otak dan kemampuan belajar mereka, yang mempengaruhi kualitas hidup mereka di masa depan.
Melalui pendekatan komunikasi yang berbasis pada pembicaraan langsung dan penyuluhan, Puskesmas menjelaskan bahwa stunting bukanlah masalah kesehatan ringan, melainkan kondisi yang dapat memiliki dampak jangka panjang. Penjelasan yang jelas mengenai keparahan masalah ini diharapkan dapat mendorong orang tua, terutama ibu, untuk lebih peduli dan aktif dalam melakukan pencegahan sejak dini.
3. Perceived Benefits (Persepsi Manfaat)
Salah satu komponen penting dalam model ini adalah menunjukkan manfaat nyata dari tindakan preventif. Dalam hal ini, Puskesmas mengedukasi masyarakat tentang bagaimana gizi yang baik dan perawatan yang tepat dapat mencegah stunting. Program-program seperti pemberian ASI eksklusif dan peningkatan konsumsi makanan bergizi bagi anak-anak dijelaskan dengan cara yang mudah dipahami.
Melalui berbagai kegiatan edukasi, Puskesmas menekankan bahwa dengan mengikuti langkah-langkah pencegahan yang tepat, keluarga akan memperoleh manfaat jangka panjang, seperti anak yang tumbuh sehat dan cerdas, yang tentunya akan berkontribusi pada kualitas hidup mereka di masa depan. Ini membantu menciptakan keyakinan di kalangan ibu dan keluarga bahwa tindakan pencegahan stunting bukan hanya sebuah kewajiban, tetapi juga sebuah investasi untuk masa depan anak mereka.
4. Perceived Barriers (Persepsi Hambatan)
Meskipun banyak manfaat yang ditawarkan, masih ada hambatan-hambatan praktis yang dapat menghalangi masyarakat untuk melakukan tindakan preventif, seperti kurangnya pengetahuan tentang gizi yang tepat, serta kesulitan ekonomi yang membuat beberapa keluarga sulit mengakses makanan bergizi.
Untuk mengatasi hambatan ini, pihak Puskesmas memberikan solusi praktis dengan menyederhanakan informasi yang diberikan kepada masyarakat. Misalnya, mereka memberikan pendidikan tentang cara memasak makanan bergizi dengan bahan yang terjangkau atau menggunakan bahan makanan lokal yang mudah didapatkan oleh masyarakat setempat. Dengan cara ini, diharapkan masyarakat dapat lebih mudah menerapkan perubahan gaya hidup yang mendukung pencegahan stunting.
5. Cues to Action (Isyarat untuk Bertindak)
Untuk mendorong masyarakat agar bertindak, Puskesmas menggunakan berbagai isyarat untuk bertindak. Dalam hal ini, komunikasi langsung antara petugas kesehatan dan masyarakat menjadi sarana penting dalam memberikan dorongan untuk berpartisipasi dalam program pencegahan stunting.
Melalui kampanye edukasi, baik yang dilakukan secara tatap muka maupun menggunakan media sosial, masyarakat diberikan informasi yang memotivasi mereka untuk segera bertindak. Dialog yang terjalin antara petugas kesehatan dan warga, misalnya melalui sesi penyuluhan atau tanya jawab, berfungsi sebagai isyarat yang mendorong orang tua untuk melakukan pemeriksaan rutin dan memperhatikan gizi anak mereka.
6. Self-Efficacy (Efikasi Diri)
Penting untuk memastikan bahwa masyarakat merasa mampu untuk mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan. Dalam penelitian ini, Puskesmas berfokus pada meningkatkan keyakinan diri ibu-ibu dalam merawat anak mereka dengan cara yang sehat dan mencegah stunting. Program edukasi yang dilakukan bertujuan untuk memberikan pengetahuan yang cukup mengenai cara-cara praktis dalam menjaga kesehatan anak.
Puskesmas memberikan dukungan moral dan informasi yang mudah diterapkan, seperti tips tentang menu makanan bergizi dan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, untuk memastikan bahwa ibu merasa lebih percaya diri dalam melakukan perubahan yang diperlukan.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa komunikasi kesehatan yang dilakukan oleh Puskesmas di Lubuk Pakam sudah efektif dalam mengurangi risiko stunting dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pencegahan stunting. Melalui pendekatan berbasis Health Belief Model, komunikasi yang dilakukan oleh Puskesmas berhasil meningkatkan kesadaran tentang kerentanannya terhadap stunting, memperjelas keparahan dampaknya, menunjukkan manfaat pencegahan, serta mengatasi hambatan-hambatan praktis yang dihadapi masyarakat.
Namun, untuk mencapai hasil yang lebih optimal, penting bagi Puskesmas untuk terus memberikan dukungan dalam mengatasi hambatan praktis seperti keterbatasan akses terhadap makanan bergizi dan pengetahuan yang memadai. Dengan adanya pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan, program pencegahan stunting dapat berjalan lebih efektif dan berkelanjutan, membantu membangun masa depan yang lebih sehat bagi anak-anak Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H