Asal usul nama Minangkabau berawal dari sebuah legenda yang sarat dengan nilai kebijaksanaan dan kecerdikan. Dalam cerita yang diwariskan secara turun-temurun ini, dikisahkan pada suatu masa, datanglah sekelompok penakluk asing yang ingin merebut wilayah kerajaan di tanah Minangkabau.
Alih-alih terlibat dalam perang yang akan merugikan kedua belah pihak, para pemimpin setempat menawarkan penyelesaian yang unik: sebuah adu kerbau, bukan adu senjata.
Pihak penakluk setuju, yakin bahwa kerbau besar milik mereka akan dengan mudah mengalahkan kerbau dari pihak Minangkabau. Namun, para pemimpin Minangkabau menggunakan taktik yang cerdik.
Mereka tidak memilih kerbau besar untuk bertanding, melainkan seekor anak kerbau yang masih menyusu. Tanduk anak kerbau ini dipasangi bilah pisau yang tajam.
Ketika pertandingan dimulai, anak kerbau yang kelaparan segera mendekati kerbau besar, mengira kerbau itu adalah induknya, dan terus mengejar untuk menyusu. Kerbau besar yang terkejut dan tak siap melawan akhirnya tertusuk tanduk pisau anak kerbau, dan jatuh kalah.
Kemenangan ini kemudian diabadikan dalam nama “Minangkabau,” yang terdiri dari dua kata: “Minang,” yang berarti “menang,” dan “Kabau,” yang berarti “kerbau.”
Adat Minangkabau, dengan segala kekayaan nilai dan kearifan lokalnya, tidak muncul begitu saja. Di balik setiap aturan, tradisi, dan tatanan yang ada, terselip perjalanan panjang pemikiran dua tokoh besar yang membentuk dasar sistem adat ini: Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Kedua saudara ini, meskipun lahir dari ibu yang sama namun berbeda ayah, memainkan peran penting dalam membangun fondasi adat Minangkabau.
Datuak Katumanggungan, dengan pikirannya yang tajam dan visi yang kuat, menciptakan sistem Koto Piliang, sebuah struktur adat yang bersifat hierarkis. Dalam sistem ini, kekuasaan berada di tangan para pemimpin adat yang bertindak sebagai pemegang otoritas tertinggi. Keputusan dalam sistem ini diambil oleh pemimpin tertinggi dan disebarkan secara vertikal. Koto Piliang menggambarkan tatanan masyarakat yang terstruktur rapi dengan garis-garis kepemimpinan yang jelas.
Sistem ini menawarkan kepastian, perlindungan, dan rasa aman. Seperti seorang bapak yang memimpin keluarganya dengan tangan tegas, Koto Piliang menjanjikan ketertiban di tengah-tengah dinamika sosial yang sering kali kacau. Dalam hiruk-pikuk dunia, terkadang kita memang butuh seseorang yang mampu berdiri di puncak, memberikan petunjuk ketika kita tersesat.
Namun di sisi lain, Datuak Parpatiah Nan Sabatang memandang dunia dengan cara yang berbeda. Ia percaya, kekuatan sejati bukan berasal dari satu orang yang berdiri paling tinggi, melainkan dari kebersamaan semua orang yang berjalan sejajar. Dari sinilah lahir Bodi Caniago, yang lebih bersifat demokratis.
Berbeda dengan Koto Piliang, sistem ini mengutamakan musyawarah dan mufakat. Di dalamnya, keputusan diambil secara horizontal melalui diskusi dan konsensus di antara para anggota masyarakat.