Santri Perekat Nalar Kebangsaan
Disamping menyoal Santri dan agama, kalangan agamawan pesantren juga terlibat langsung dalam aktivitas sosial politik utamanya adalah politik kebangsaan. Politik kebangsaan santri terlahir dari bagaimana cara atau metode yang digunakan dalam mendidik santri-santri di pesantren. Bagaimana adab dan ilmu di langgengkan dalam kultur sosial pesantren sehingga menghasilkan santri yang kompeten dalam bernalar kebangsaan unggul.
Islamisasi dalam politik semenjak pilpres 2019 kian mencuat di permukaan publik. Hal tersebut merupakan efek kejut pasca Pilkada DKI Jakarta yang mengusung  pertarungan calon Gubernur Anies-Sandi melawan Ahok-Djarot. Pada peristiwa tersebut Ahok mengalami kesalahan momentum dan narasi dalam mengucapkan salah satu ayat Al-Qur'an.Â
Kejadian tersebut membuka gerbong Ekstrimisme agama dengan dalih "kedzaliman" dan konsep pemimpin "kafir". Tentunya hal tersebut sangatlah jauh dari nilai kebangsaan Indonesia. Isu agama yang dipertontonkan di public menghasilkan output berupa hate speech dan pemojokan tokoh.
Keberlanjutannya dalam Pilpres 2019 ketika Sandiaga Uno menjadi wakil Presiden dari Prabowo Subianto melawan Jokowi-Kyai Ma'ruf Amin. Polarisasi Politik agama sangatlah jelas dalam pertarungan politik saat itu. Cebong-kampret menjadi semboyan kotor dalam upaya saling serang antar pendukung. Namun disinilah santri di uji pemikiran kebangsaannya.
Santri dengan tegas menolak pemikiran destruktif akan kebangsaan, pasalnya ia dilahirkan dari Rahim pesantren yang memuat kultur pendidikan ala nusantara dan sangat ke-Indonesiaan. Menolak Arogansi ekstrimis yang menggunakan agama sebagai alat untuk melakukan stimulus kampanye.
Bayang-bayang Komoditas Pilpres 2024
Senada dengan demokratisasi di Indonesia, kalangan santri sepanjang sejarah berdirinya negara selalu memijakkan kakinya untuk berpolitik praktis. Resolusi jihad panggilan jiwa kini menggelora di kalangan santri bahkan dilagukan dan biasa di kumandangkan dalam Hari Santri setiap Tanggal 22 Oktober.
Namun euphoria hari santri bila mendekati pertarungan politik Nampak memiliki nuansa politik yang sangat beda. Pemanfaatan Kalangan agamawan pesantren ini menjadi asset strategis sekaligus sebagai pasokan komoditas tempur para calon Presiden yang akan berkompetisi 2024 mendatang.
Lembaga survey dan media mulai memunculkan elektabilitas calon, pemberitaan kedekatan tokoh dengan ulama kian hari kian mendominasi. Hal tersebut adalah bentuk proyeksi bagaimana kalangan santri nusantara sangat memiliki andil besar dalam perpolitikan Indonesia.
Alih-alih salah satu partai politik sudah mendeklarasikan calon presiden yang akan di usung, sambangan ke pesantren pun mulai dilakukan oleh calon yang sudah di deklarasikan ataupun calon yang menunggu di deklarasikan, sowan kepada tokoh menjadi ritual sebelum pertarungan politik di mulai, bukan hanya menyoal "tabarukkan" atau "ngalap barokah" tetapi bertujuan "ngalap suara" santri dan kalangan agamawan pesantren juga dan berharap agar mendukungnya dalam gelaran Pilpres mendatang.Â
Dengan demikian rivalitas antara nalar kebangsaan dan politik praktis santri di uji, mestinya santri bisa mendukung tokoh yang tidak menggunakan agama semata sebagai alat politik, namun mendukung bagiamana gagasan dan pikiran yang di tawarkan bisa memberikan sumbasih terhadap bangsa, karena santri itu sejatinya penguat dan pemikir akan nalar kebangsaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H