Struktur masyarakat dalam konsep tata sosial Indonesia tidak bisa terlepas dari kalangan santri. Bukan hanya aktivitasnya dalam pesantren yang dipandang sebagai orang paham akan agama.Â
Namun peranannya dalam perjalanan sejarah Ke-Indonesiaan telah melahirkan realitas sosial politik yang berkesinambungan hingga saat ini, sehingga kalangan santri menjadi objek sekaligus subjek dalam berpolitik.
Secara etimologis santri memiliki makna yang beragam, Dalam pandangan Nurcholis Madjid santri berasal dari Bahasa sansekerta "sastri" yang memiliki arti melek huruf.Â
Pendapat tersebut didasarkan atas aktivitas kaum santri sebagai kaum literary yang berupaya mendalami agama dari kitab-kitab yang berbahasa Arab. Ia juga menambahkan asal kata santri ialah "cantrik" yang mana dalam istilah Jawa dimaknai sebagai orang yang selalu mengikuti guru "gandulan" kemana ia menetap.
Sebagai bagian dari unsur pesantren, santri mengalami perbedaan dengan siswa dan mahasiswa yang umumnya berpendidikan di institusi formal tanpa mengenyam pesantren. Santri erat dengan agama yakni Islam.Â
Tujuannya pesantren membina santri adalah untuk membangun iqomatuddin sebagaimana tertuang dalam surah At-Taubah ayat 122 yang artinya "tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya".
Pada ayat tersebut menjelaskan keharusan adanya pembagian tugas mu'mini untuk iqomatuddin. bagian kedua yaitu kewajiban adanya nafar, tho'ifah, kelompok, lembaga atau jama'ah yang mengkhususkan diri untuk menggali ilmuddin supaya mufaqqih fiddin.Â
Bagian ketiga mewajibkan kepada insan yang tafaqquh fieddin untuk menyebarluaskan ilmuddin dan berjuang untuk iqomatuddin dan membangun mayarakat masing-masing.
Tidak hanya mengajarkan persoalan dalil, namun nalar kritis di uji bila menyandang status sebagai santri. Metode pembelajaran yang sangat pesantren dengan cara keteladanan (uswah hasanah), mengambil pembelajaran (ibrah), nasihat (mauidah), pujian dan hukuman (targhib wa tahzib) menghasilkan output karakter khas santri.Â
Nampak bila ada santri bertemu dengan orang yang lebih tua, atau dianggap lebih tinggi, meskipun derajat keilmuan agamanya lebih tinggi, kalangan santri menundukan tubuhnya bahkan berjalan dengan posisi yang lebih rendah.
Santri Perekat Nalar Kebangsaan
Disamping menyoal Santri dan agama, kalangan agamawan pesantren juga terlibat langsung dalam aktivitas sosial politik utamanya adalah politik kebangsaan. Politik kebangsaan santri terlahir dari bagaimana cara atau metode yang digunakan dalam mendidik santri-santri di pesantren. Bagaimana adab dan ilmu di langgengkan dalam kultur sosial pesantren sehingga menghasilkan santri yang kompeten dalam bernalar kebangsaan unggul.
Islamisasi dalam politik semenjak pilpres 2019 kian mencuat di permukaan publik. Hal tersebut merupakan efek kejut pasca Pilkada DKI Jakarta yang mengusung  pertarungan calon Gubernur Anies-Sandi melawan Ahok-Djarot. Pada peristiwa tersebut Ahok mengalami kesalahan momentum dan narasi dalam mengucapkan salah satu ayat Al-Qur'an.Â
Kejadian tersebut membuka gerbong Ekstrimisme agama dengan dalih "kedzaliman" dan konsep pemimpin "kafir". Tentunya hal tersebut sangatlah jauh dari nilai kebangsaan Indonesia. Isu agama yang dipertontonkan di public menghasilkan output berupa hate speech dan pemojokan tokoh.
Keberlanjutannya dalam Pilpres 2019 ketika Sandiaga Uno menjadi wakil Presiden dari Prabowo Subianto melawan Jokowi-Kyai Ma'ruf Amin. Polarisasi Politik agama sangatlah jelas dalam pertarungan politik saat itu. Cebong-kampret menjadi semboyan kotor dalam upaya saling serang antar pendukung. Namun disinilah santri di uji pemikiran kebangsaannya.
Santri dengan tegas menolak pemikiran destruktif akan kebangsaan, pasalnya ia dilahirkan dari Rahim pesantren yang memuat kultur pendidikan ala nusantara dan sangat ke-Indonesiaan. Menolak Arogansi ekstrimis yang menggunakan agama sebagai alat untuk melakukan stimulus kampanye.
Bayang-bayang Komoditas Pilpres 2024
Senada dengan demokratisasi di Indonesia, kalangan santri sepanjang sejarah berdirinya negara selalu memijakkan kakinya untuk berpolitik praktis. Resolusi jihad panggilan jiwa kini menggelora di kalangan santri bahkan dilagukan dan biasa di kumandangkan dalam Hari Santri setiap Tanggal 22 Oktober.
Namun euphoria hari santri bila mendekati pertarungan politik Nampak memiliki nuansa politik yang sangat beda. Pemanfaatan Kalangan agamawan pesantren ini menjadi asset strategis sekaligus sebagai pasokan komoditas tempur para calon Presiden yang akan berkompetisi 2024 mendatang.
Lembaga survey dan media mulai memunculkan elektabilitas calon, pemberitaan kedekatan tokoh dengan ulama kian hari kian mendominasi. Hal tersebut adalah bentuk proyeksi bagaimana kalangan santri nusantara sangat memiliki andil besar dalam perpolitikan Indonesia.
Alih-alih salah satu partai politik sudah mendeklarasikan calon presiden yang akan di usung, sambangan ke pesantren pun mulai dilakukan oleh calon yang sudah di deklarasikan ataupun calon yang menunggu di deklarasikan, sowan kepada tokoh menjadi ritual sebelum pertarungan politik di mulai, bukan hanya menyoal "tabarukkan" atau "ngalap barokah" tetapi bertujuan "ngalap suara" santri dan kalangan agamawan pesantren juga dan berharap agar mendukungnya dalam gelaran Pilpres mendatang.Â
Dengan demikian rivalitas antara nalar kebangsaan dan politik praktis santri di uji, mestinya santri bisa mendukung tokoh yang tidak menggunakan agama semata sebagai alat politik, namun mendukung bagiamana gagasan dan pikiran yang di tawarkan bisa memberikan sumbasih terhadap bangsa, karena santri itu sejatinya penguat dan pemikir akan nalar kebangsaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H