Mohon tunggu...
Dedeh Rohilah Azhari
Dedeh Rohilah Azhari Mohon Tunggu... Guru - Menulis menjadi awet muda

work hard for better life

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Asa Sang Mentari

21 Agustus 2021   19:58 Diperbarui: 21 Agustus 2021   19:59 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Riuh rendah nyanyian sang penyambut Mentari. Tanda alam, mengusik rasa yang menyelinap di hati dan membuka mata. Cahaya fajar menerobos celah bilik bambu  rumah beratap rumbia. Menghangatkan asa untuk segera menghadap Sang Pencipta. Beralas dipan tanpa kasur busa yang empuk, seorang anak manusia terlena nyayian alam dalam buaian mimpi-mimpi kehidupan. Suara kokok ayam menjadi alarm dalam metebolisme tubuhnya untuk segera bangkit dan membersihkan diri demi menghadap sang Ilahi. Rutinitas paginya sudah di mulai saat subuh menjelang, jarak rumah ke sekolahlah yang mengharuskan anak kelas 5 SD ini  harus bangun lebih pagi dibanding teman sekolahnya.

"Nek hari ini aku pulang sekolah agak terlambat ya.' katanya sambil memasukkan buku-buku dalam tas lusuhnya, "jadi hari ini gak bisa ngambil kayu bakar ke hutan sebelah nek" sesalnya sambil menunduk.

"Memang kenapa Mentari?, apa kamu berbuat kesalahan dan dihukum   untuk pulang lebih lambat." Selidik neneknya cemas dan berhenti mengaduk  adonan rempeyek.

"Tidak nek, aku hanya harus latihan menaikkan bendera bersama teman-teman, hari ini adalah hari terakhir latihan, besok kan tanggal 17 Agustus jadi di sekolah akan ada upacara  untuk memperingati hari kemerdekaan," jawabnya dengan riang, "aku pergi  ya nek". Pamitnya sambil menyalami tangan keriput neneknya.

Nenek Siti menarik nafas panjang, sambil melihat cucu kesayangannya yang telah ditinggal kedua orang tuanya. Anak dan menantu Nek Siti telah meninggal  saat terjadi kerusuhan di kota, mereka sedang bekerja di sebuah mall sebagai petugas kebersihan saat mall itu terbakar. Mereka  meninggalkan seorang bayi lucu yang di beri nama Mentari Dinara Putra yang dititipkan pada tetangganya. Kemudian Mentari diserahkan pada neneknya.  Mentari tumbuh dalam asuhan neneknya yang terkenal sabar dan baik hati dilingkungan kampungnya. Ia tidak pernah mengeluh akan kehidupannya. Ia selalu bersyukur atas apa yang menjadi ketetapan sang pemberi rizky. Nek Siti hanya hidup berdua dengan cucunya Mentari. walau kekurangan mereka tidak pernah mengemis pada belas kasih orang lain. Mereka bekerja keras untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari dengan berjualan rempeyek.  Mentarilah yang mengambil kayu bakar untuk kepentingan pembuatan rempeyek neneknya.

Mentari berjalan di keremangan fajar, ditemani suara khas binatang hutan yang menandakan akan segera hadirnya sang surya di ufuk timur. Bergegas menapaki jalan setapak, berkubang tanah beraspal air. Melewati jembatan berbatang bambu tanpa penyangga besi ataupun berkaki beton. Miris, ketika melewati jembatan Little Indian Jones. Jembatan hasil swadaya masyarakat setempat yang menghubungkan warga kampung Pasalakan desa Sirnagalih dengan desa-desa disekitarnya sudah sering putus dan terbawa hanyut akibat luapan air sungai Cisadea, kecamatan Sindangbarang kabupaten Cianjur. Mentari selalu berjalan tergesa karena waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke sekolahnya hampir 2 jam berjalan kaki. Jangan dibayangkan kalau Cianjur itu dekat dengan ibu kota, namun bayangkan ada sebuah dusun dibalik pegunungan yang menghiasi indah  dan dinginnya kawasan Puncak.

Sekolah Dasar Negeri di tengah desa terpencil dengan fasilitas minim tanpa alat bantu apalagi internet. Hanya guru yang berdedikasilah yang mampu bertahan dan mengajar ditempat seperti ini. Berbekal keikhlasan dan panggilan hati, bu Ika mendedikasikan ilmunya di tempat yang jauh dari keramaian dan hiruk pikuk kehidupan. Senyum manis bu Ika menyambut kedatangan anak-anak meluluhkan debu dan peluh mereka  yang bebagian besar berbaju lusuh dan bersepatu butut. Kecerian dan semangat anak-anak yang haus  ilmu  membuat bu Ika tetap bertahan di sekolah ini.

"Anak-anak hari ini kita Latihan upacara bendera  yang terakhir ya, karena besok adalah tanggal 17 Agustus dan kita  akan memperingatinya bersama, semua siap?" tanya bu Ika dengan dengan tegas sambil melihat semua petugas upacara.

"Siap bu," jawab anak-anak antusias dan langsung membuat formasi barisan untuk menaikkan sang saka merah putih. Mentari mendapat kesempatan yang memegang bendera dan berada pada posisi di tengah. Hampir 3 jam mereka Latihan dan persiapan untuk besok sudah sempurna. Anak-anak semua Kembali ke tempat tinggalnya masing-masing. Begitupun dengan Mentari, dia sudah bersiap-siap dan  bergegas pulang ke rumah neneknya, karena Mentarilah yang paling jauh tempat tinggalnya dari sekolah.

 "Mentari, jangan lupa besok pergi lebih pagi ya nak," kata bu Ika sambil memberikan sekotak kue yang tadi dibawanya dari rumah. "makanlah, semoga bisa mengganjal perut kosongmu sebelum sampai rumah ya,"sapanya dengan lembut. " Iya bu terimakasih," cicit Mentari sambil mencium tangan bu Ika dan pamit untuk segera pulang.

Musim saat ini kadang tidak menentu, saat musim kemarau tiba-tiba ada hujan besar, begitupun saat musim hujan, kadang matahari sangat terik membakar bumi. Kala Mentari sedang berjalan menyusuri jalan pulang, tiba-tiba langit redup terhalang awan. Suara kilat dan guruh bersahut-sahutan membuat Mentari mempercepat langkahnya agar segera sampai di rumah. Mentari berlari dan berpapasan dengan para petani yang pulang terburu-buru dari ladang. Mereka berpacu dengan alam. Jika mereka beruntung hujan akan turun saat mereka sampai di tujuan. Saat ini Mentari sedang beruntung, sesaat sampai dirumah hujan turun dengan derasnya, seperti air yang ditumpahkan dari langit. Mentari termenung sambil matanya menerawang menatap hujan, dia teringat acara yang akan di adakan esok pagi. Dia berharap dan berdoa agar hujan kali ini tidak terlalu lama.

"Mentari, ayok siap-siap sholat magrib nak, setelah itu kamu makan dan beristirahatlah, kamu pasti cape, tadi sudah Latihan dan pulang berlari kan? " tanya neneknya sambil mendorongnya untuk segera kekamar mandi. Mentari masuk ke biliknya, mengambil handuk lusuh dan masuk ke kamar mandi yang sangat sederhana, beruntung kamar mandinya ada di ujung dapur, walau di luar hujan, kamar mandinya  masih tetap bisa digunakan. "Nek, sudah jangan mencuci peralatan masak dan piring kotor, nanti ba'da sholat magrib dan mengaji, Mentari yang akan membereskannya," pinta Mentari saat ia keluar kamar mandi dan melihat neneknya masih berkutat di dapur.

 "Memangnya kamu gak cape? Tanya neneknya sambil melirik Mentari. " Gaklah nek, Mentari kan anak kuat." Selorohnya sambil memperlihatkan otot tangannya yang kurus. Neneknya hanya tersenyum dan menoyor kepala Mentari dan masuk ke biliknya untuk sholat.

Mentari tidur dengan gelisah, sesekali  dia bangun dan mengintip hujan yang masih setia turun menyirami bumiNya. Memang tidak sederas tadi sore, namun masih terdengar rintik-rintiknya dan sesekali terdengar geluduk  yang masih bersahut-sahutan tanda hujan masih akan berlangsung. Mentari menarik nafas dan kembali ke dipannya. Bagaimana kalau hujan tidak berhenti sampai pagi, batinnya sambil terlentang. Mentari komat-kamit memanjatkan doanya berharap besok sang surya hadir menemani kegiatannya.

Pagi menjelang, Mentari bergegas melakukan kegiatan paginya dan menyiapkan bekal untuk sekolah, sekepal nasi putih dan sepotong ikan asin sisa semalam dan sebotol air putih akan menemaninya  makan siang di sekolah setelah upacara bendera nanti. Dia bersiap sebelum bunyi bedug  dan kumandang adzan subuh terdengar dari kampung sebelah. Mentari membungkus baju seragam lusuh dan sepatu bututnya denga plastik bekas, dia tidak mau seragamnya basah, dia akan melaksanakn upacara kemerdekaan ini dengan pakaian terbaiknya. Karena dia sudah mengidam-idamkan moment ini sejak kelas 3 SD. Dengan izin dan doa neneknya,  Mentari keluar dan pergi menyusuri jalan setapak yang licin dengan perasaan yang membuncah dan senyum-senyum sendiri.

"Mentari mau kemana pagi-pagi buta nak?" tanya si uwa  Diman tetangga rumah Mentari yang berpapasan dijalan.

"Sekolah wa, hari ini Mentari mau menaikkan bendera merah putih, hari ini hari kemerdekaan Republik Indonesia wa." Jawab Mentari penuh semangat. Wa Diman menarik nafas dan berbisik,

"Ayok sekarang kita pulang saja, kamu hari ini gak usah pergi ke sekolah", kata Wa Diman sambil menarik tangan Mentari untuk pulang.

 "Gak mau wa, aku harus ke sekolah", kata Mentari sambil berlari. Wa Diman geleng-geleng kepala sambil mengikuti langkah Mentari. Dia khawatir kalau Mentari nekad menyebrangi sungai karena ingin melaksanakan upacara.

Mentari terkejut dan shock saat ia melihat jembatan bambunya teronggok dan sebagian hilang terbawa banjir bandang sejak semalam. Ternyata tidak hanya Mentari yang sudah ada di depan jembatan tersebut, beberapa petani dengan bawaannya masing-masing sudah berdiri dan termangu sambil menyaksikan derasnya gelombang banjir bandang dengan tatapan nanar dan wajah sedih. Mentari terduduk dan berderai air mata. Netra laki-lakinya tak mampu menahan kesedihan dan kekecewaan, air matanya berhamburan lolos tanpa komando. Hari ini dia akan mengecewakan tim petugas upacara bendera karena ketidak hadirannya. Dia ingat pesan bu Ika dan keceriaan timnya. Mentari menunduk dan terisak sambil mendekap bungkusan baju dan sepatu lusuhnya. Dia kehilangan kesempatan yang sudah ditunggu-tunggu karena putusnya jembatan yang menghubungkan dengan sekolahnya.

"Sudahlah Mentari, jangan nangis, ini takdir Allah. Mudah-mudahan minggu depan jembatannya sudah bisa diperbaiki dan kamu bisa ke sekolah lagi." Hibur Wa Diman sambil memegang pundak Mentari.

Mentari masih terisak dan sedih. "Ini gara-gara orang kaya yang membabat hutan di hulu ya wa, jadi sungai sering banjir." katanya dengan geram. Wa Diman hanya mengangguk dan mengusap kepala Mentari. Wa Diman pun sebenarnya memiliki kekecewaan yang sama dengan Mentari. Hasil ladangnya yang dia panen kemarin tidak bisa dikirim ke desa sebelah dan itu pasti akan segera membusuk. Wa Diman hanya berserah dan berniat akan membagikan hasil panennya untuk tetangga sekampung.

Jam di pergelangan tangan bu Ika sudah menunjukkan pukul 06.55. Bu Ika dan tim petugas upacara sudah gelisah. Anak-anak lain sudah berbaris dengan rapi, begitupun pak Yadi dan bu Ima, rekan guru di sekolah itu. Mereka menunggu kehadiran Mentari. Mentari biasanya tidak pernah kesiangan bahkan dia sering menjadi orang pertama yang datang ke sekolah. Kabar banjir bandang di sungai yang memisahkan dusun Mentari dengan Desa tempat sekolahnya berada belum sampai ke telinga warga desa. Jadi mereka masih menanti kehadiran Mentari yang akan menjadi petugas pembawa bendera Merah Putih.

Sesaat sebelum acara dimulai, dari kejauhan terlihat seorang murid berlari dan teriak. "Bu Ika...!  Mentari gak akan datang, ada banjir bandang di Cisadae, dia gak bisa nyebrang bu, dan jembatannya hanyut". Bu Ika dan tim petugas upacara terkesiap, mereka bingung, karena yang akan membawa bendera merah putih adalah Mentari dan saat ini Mentarinya tidak hadir. Waktu terus berjalan, dan upacara harus segera dilaksanakan, terpaksa bu Ika minta bantuan anak kelas 6 yang pernah bertugas sebagai pembawa bendera. Dengan tetap semangat namun ada semburat kesedihan di wajah petugas upacara, peringatan kemerdekaan yang dilaksanakan sekolah tetap berjalan dengan sukses.  

Seminggu kemudian. Jembatan bambu hasil gotong royong warga dusun kampung Pasalakan dan di bantu warga desa sekitarnya selesai. Warga yang akan ke desa sebelah sudah bisa menggunaknnya lagi, begitupun dengan Mentari. Hari ini Mentari berjalan dengan gontai saat sudah mencapai halaman  sekolahnya. Suasana sekolah masih sepi, hanya beberapa orang teman Mentari yang sudah datang. Tanpa sengaja Mentari melihat ke atas dan nampaklah bendera sang saka Merah Putih yang tidak baru lagi melambai-lambai seolah memanggil Mentari untuk mendekat. Tanpa menyimpan tasnya lusuhnya, Mentari langsung bersikap sempurna, melangkah perlahan  dan berjalan tegap dengan pandangan lurus kedepan seakan-akan dia sedang menjadi petugas upacara peringatan hari kemerdekaan.  Tanpa suara teman-temannya yang sudah hadir dan yang baru sampai melihat Mentari dengan perasaan haru. Tidak ada yang menegur ataupun mengganggu apa yang Mentari lakukan.

Kala Mentari tiba di depan tiang bendera, dia berhenti dan terkejut saat melihat simpul bendera yang tidak sempurna. Mentari memegang tali itu dan perasaannya bergetar.  Sesaat dia menatap ke depan dan ternyata bu Ika sudah berdiri tak jauh dari tempat Mentari berdiri. Bu Ika menganggukan  kepala seolah memberi perintah kepada Mentari untuk merapikan simpul tersebut. Seketika Mentari tersenyum dan dia paham arti tatapan dan anggukan kepala bu Ika. Dengan tenang dan penuh percaya diri, Mentari merapikan simpul itu, dia mundur dua Langkah dan memberi hormat kepada bendera Merah Putih dengan linangan airmata. Tak lama kemudian Mentari berbalik, dan kaget karena semua teman dan gurunya telah menyaksikan apa yang dia lakukan tadi. Rasa malu menyelimuti wajah Mentari, namun kemudian yang terdengar hanyalah  tepuk tangan dari seluruh murid dan guru SD yang ia cintai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun