"Mentari, ayok siap-siap sholat magrib nak, setelah itu kamu makan dan beristirahatlah, kamu pasti cape, tadi sudah Latihan dan pulang berlari kan? " tanya neneknya sambil mendorongnya untuk segera kekamar mandi. Mentari masuk ke biliknya, mengambil handuk lusuh dan masuk ke kamar mandi yang sangat sederhana, beruntung kamar mandinya ada di ujung dapur, walau di luar hujan, kamar mandinya  masih tetap bisa digunakan. "Nek, sudah jangan mencuci peralatan masak dan piring kotor, nanti ba'da sholat magrib dan mengaji, Mentari yang akan membereskannya," pinta Mentari saat ia keluar kamar mandi dan melihat neneknya masih berkutat di dapur.
 "Memangnya kamu gak cape? Tanya neneknya sambil melirik Mentari. " Gaklah nek, Mentari kan anak kuat." Selorohnya sambil memperlihatkan otot tangannya yang kurus. Neneknya hanya tersenyum dan menoyor kepala Mentari dan masuk ke biliknya untuk sholat.
Mentari tidur dengan gelisah, sesekali  dia bangun dan mengintip hujan yang masih setia turun menyirami bumiNya. Memang tidak sederas tadi sore, namun masih terdengar rintik-rintiknya dan sesekali terdengar geluduk  yang masih bersahut-sahutan tanda hujan masih akan berlangsung. Mentari menarik nafas dan kembali ke dipannya. Bagaimana kalau hujan tidak berhenti sampai pagi, batinnya sambil terlentang. Mentari komat-kamit memanjatkan doanya berharap besok sang surya hadir menemani kegiatannya.
Pagi menjelang, Mentari bergegas melakukan kegiatan paginya dan menyiapkan bekal untuk sekolah, sekepal nasi putih dan sepotong ikan asin sisa semalam dan sebotol air putih akan menemaninya  makan siang di sekolah setelah upacara bendera nanti. Dia bersiap sebelum bunyi bedug  dan kumandang adzan subuh terdengar dari kampung sebelah. Mentari membungkus baju seragam lusuh dan sepatu bututnya denga plastik bekas, dia tidak mau seragamnya basah, dia akan melaksanakn upacara kemerdekaan ini dengan pakaian terbaiknya. Karena dia sudah mengidam-idamkan moment ini sejak kelas 3 SD. Dengan izin dan doa neneknya,  Mentari keluar dan pergi menyusuri jalan setapak yang licin dengan perasaan yang membuncah dan senyum-senyum sendiri.
"Mentari mau kemana pagi-pagi buta nak?" tanya si uwa  Diman tetangga rumah Mentari yang berpapasan dijalan.
"Sekolah wa, hari ini Mentari mau menaikkan bendera merah putih, hari ini hari kemerdekaan Republik Indonesia wa." Jawab Mentari penuh semangat. Wa Diman menarik nafas dan berbisik,
"Ayok sekarang kita pulang saja, kamu hari ini gak usah pergi ke sekolah", kata Wa Diman sambil menarik tangan Mentari untuk pulang.
 "Gak mau wa, aku harus ke sekolah", kata Mentari sambil berlari. Wa Diman geleng-geleng kepala sambil mengikuti langkah Mentari. Dia khawatir kalau Mentari nekad menyebrangi sungai karena ingin melaksanakan upacara.
Mentari terkejut dan shock saat ia melihat jembatan bambunya teronggok dan sebagian hilang terbawa banjir bandang sejak semalam. Ternyata tidak hanya Mentari yang sudah ada di depan jembatan tersebut, beberapa petani dengan bawaannya masing-masing sudah berdiri dan termangu sambil menyaksikan derasnya gelombang banjir bandang dengan tatapan nanar dan wajah sedih. Mentari terduduk dan berderai air mata. Netra laki-lakinya tak mampu menahan kesedihan dan kekecewaan, air matanya berhamburan lolos tanpa komando. Hari ini dia akan mengecewakan tim petugas upacara bendera karena ketidak hadirannya. Dia ingat pesan bu Ika dan keceriaan timnya. Mentari menunduk dan terisak sambil mendekap bungkusan baju dan sepatu lusuhnya. Dia kehilangan kesempatan yang sudah ditunggu-tunggu karena putusnya jembatan yang menghubungkan dengan sekolahnya.
"Sudahlah Mentari, jangan nangis, ini takdir Allah. Mudah-mudahan minggu depan jembatannya sudah bisa diperbaiki dan kamu bisa ke sekolah lagi." Hibur Wa Diman sambil memegang pundak Mentari.
Mentari masih terisak dan sedih. "Ini gara-gara orang kaya yang membabat hutan di hulu ya wa, jadi sungai sering banjir." katanya dengan geram. Wa Diman hanya mengangguk dan mengusap kepala Mentari. Wa Diman pun sebenarnya memiliki kekecewaan yang sama dengan Mentari. Hasil ladangnya yang dia panen kemarin tidak bisa dikirim ke desa sebelah dan itu pasti akan segera membusuk. Wa Diman hanya berserah dan berniat akan membagikan hasil panennya untuk tetangga sekampung.