Siswa IPA/IPS ketika dipertemukan, maka yang terjadi adalah dikotomi diantara keduanya. Dengan adanya dikotomi, juga mendorong adanya perang stigma antara siswa IPA dan IPS. Adanya fenomena siswa IPA dan IPS dalam melakukan kegiatan saling menstigma, berkaitan dengan peranan beberapa pihak baik pihak sekolah maupun masyarakat. Pihak-pihak tersebut telah melakukan dikotomi antara siswa IPA dan IPS. Wujud dikotomi yang lebih pada memandang jurusan IPA lebih dominan dibandingkan jurusan lainnya. Dampaknya antara siswa IPA dan IPS tidak bisa saling membaur, maka diharapakan pihak-pihak yang terkait seperti masyarakat, yaitu orang tua, dengan memberikan pengarahan yang sifatnya netral. Sedangkan pihak sekolah seperti guru, seharusnya tidak cenderung memberikan pembelanjaran dengan contoh menstigma siswa jurusan IPA/IPS. hal yang paling penting pihak guru tidak menceritakan kelemahankelemahan dari siswa baik dari jurusan IPA maupun IPS.
Dapat disimpulkan dari artikel populer ini yaitu bahwasannya adanya stigma terhadap jurusan IPA dan IPS sering kali muncul karena kesalahpahaman dan stereotip yang tidak berdasar. Jurusan IPA sering dianggap lebih prestisius dan menjanjikan karier cemerlang, sementara jurusan IPS dipandang kurang bergengsi dan identik dengan siswa yang kurang disiplin. Padahal, kedua jurusan memiliki peran penting dalam mencetak generasi yang kompeten sesuai bidangnya. Jurusan IPA menekankan pada pemahaman ilmiah dan kemampuan analitis dalam bidang eksakta, sementara IPS membentuk individu yang peka terhadap isu sosial, mampu berpikir kritis, dan memahami dinamika masyarakat. Keduanya tidak dapat dibandingkan secara mutlak karena fokus dan tujuan pendidikan masing-masing berbeda. Untuk menghapus stigma ini memerlukan pemahaman bahwa keberhasilan seseorang tidak ditentukan oleh jurusan yang mereka pilih, melainkan oleh usaha, ketekunan, dan kemampuan dalam memanfaatkan ilmu yang diperoleh. Setiap individu memiliki potensi unik yang tidak dapat diukur hanya dengan jurusan sekolah. Penting bagi masyarakat, pendidik, dan siswa untuk menghilangkan label negatif ini agar setiap siswa merasa dihargai dan mampu mengembangkan bakatnya tanpa rasa rendah diri. Dengan demikian, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif dan menghargai keberagaman kemampuan.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H