"Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely" (Lord Acton)
Kementerian Hukum dan HAM telah mengeluarkan Peraturan Menkumham Nomor 10 tahun 2010 dan Keputusan Kemenkumham No.19/PK/01/04/2020 untuk mengeluarkan sejumlah narapidana melalui program asimilasi dan integrasi untuk mencegah dan menanggulangi penyebaran Covid-19 di lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan negara, dan lembaga pembinaan khusus anak (LPKA).Â
Jumlah narapidana anak yang diproyeksikan bisa dikeluarkan, tidak tanggung-tanggung, sekitar 30 ribu-35 ribu orang. Sampai hari Jumat Tanggal 3 April 2020, menurut pemberitaan Liputan6.com, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) telah melepas 22.158 narapidana dan anak dari seluruh Lapas dan Rutan di seluruh Indonesia.
Pada awalnya narapidana Tindak Pidana Tipikor (Tipikor) tidak termasuk ke dalam kriteria narapidana yang akan dibebaskan, namun ternyata Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, berubah haluan. Â
Pada rapat kerja dengan Komisi III DPR RI tanggal 1 April 2020, Yasonna menyampaikan rencana pembebasan narapidana Tipikor . Yasonna berniat merevisi PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Kriteria narapidana yang akan dikeluarkan, antara lain:Â
(1) Narapidana kasus narkotika yang dihukum 5-10 tahun penjara dan telah menjalani 2/3 masa hukumannya. Nantinya, mereka akan menjalani asimilasi di rumah;Â
(2) Narapidana tindak pidana korupsi yang berusia 60 tahun ke atas dan sudah menjalani 2/3 masa tahanan akan dibebaskan; (
3) Narapidana tindak pidana khusus yang memiliki penyakit kronis dan telah dinyatakan oleh rumah sakit pemerintah, jumlahnya sekitar 1.457 orang; danÂ
(4) narapidana warga negara asing yang jumlahnya 53 orang
Anehnya, pendapat ini justru mendapat sambutan positif dari Nurul Gufron, salah seorang wakil ketua KPK, menurutnya langkah yang diambil Yasonna merupakan respon adaptif terhadap wabah virus covid-19, juga mengingat kapasitas pemasyarakatan yang telah lebih dari 300 persen. KPK memandang bahwa apa yang dilakukan Yasona didasarkan pada prinsip kemanusiaan, yakni mencegah penularan covid-19 terhadap warga binaan.
Padahal dilihat dari berbagai perspektif kebijakan ini justru membahayakan penegakan hukum kita. Pertama, Kebijakan ini jelas akan menciderai filsafat keadilan pada tujuan pemidanaan. Sehingga  tujuan pemidanaan berdasarkan UU 12/ 1995 tentang Pemasyarakatan tidak terpenuhi.Â
Sistem pemasyarakatan ditujukan supaya warga binaan pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, menjadi tidak tercapai. Apakah ada jaminan, mereka yang akan dibebaskan ini sudah menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan jera?
Kedua, yang menjadi pertanyaan selanjutnya kenapa narapidana narkotika, korupsi, dan tindak pidana khusus juga akan diberikan "hadiah" pembebasan? Bukankah semuanya termasuk kedalam extra ordinary crime atau kejahatan yang luar biasa?Â
Yang mengandung arti sebagai suatu kejahatan yang sangat berdampak besar dan multi dimensional terhadap sosial, budaya, ekonomi dan politik serta begitu dahsyatnya dampak negatif yang diakibatkan oleh kejahatan ini.Â
Untuk itu extraordinary punishment sangat diperlukan untuk jenis kejahatan yang sangat luar biasa, bahkan kemudian dirumuskan juga sebagai transnational crime menurut Konvensi Palermo 2000 yang sudah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 2009.Â
Kejahatan narkotika, korupsi, dan tindak pidana khusus semisal kejahatan teroris, dipastikan tidak dapat dipersamakan dengan delik biasa. Karena kerusakan yang diakibatkannya lebih dahsyat, bahkan bisa merusak sistem pemerintahan dan kehidupan bernegara.Â
Pembebasan narapidana tindak pidana korupsi lebih disorot dan mendapat kritik dari masyarakat, karena korupsi jelas membuat resiko negara gagal. Berdasarkan UNCAC yang diratifikasi Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 2006 menjelaskan bahwa korupsi berdampak pada:Â
(1) rusaknya proses demokrasi; (2) meruntuhkan hukum; (3) menurunkan kualitas hidup/pembangunan berkelanjutan; (4) menyebabkan kejahatan berkembang; (5) pelanggaran hak asasi manusia; (6) dan merusak pasar, harga, dan persaingan usaha yang sehat.Â
Dalam pertimbangan UU Nomor 31 Tahun 1999 ditegaskan bahwa korupsi merupakan pelanggaran hak ekonomi dan sosial rakyat, kalau merujuk pada konsep pertanggungjawaban dalam hak ekonomi sosial dan budaya, jelas tidak diperbolehkan adanya impunitas bagi para pelaku pelanggaran hak jenis ini.
Ketiga, dilihat dari jumlah, seluruh narapidana Indonesia berjumlah 262.600 orang, dan 2.162 orang diantaranya adalah narapidana korupsi. Jadi sebenarnya tidak signifikan. Memang harus dilihat juga kemungkinan warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Tahanan, dan Tahanan Kepolisian tertular covid-19.Â
Namun, kalau alasannya berdasarkan rasa kemanusiaan mencegah penularan, maka bisa dibuatkan "protokol khusus" untuk mencegah warga binaan tertular covid-19. Kalaupun yang ditakutkan masalah ruang dan kesesakan lapas, maka yang harus diprioritaskan dibebaskan adalah warga binaan yang ditempatkan di sel-sel dengan kelebihan kapasitas, bukan narapidana yang ditahan di  Lapas Sukamiskin.Â
Karena "kemewahan" sel di Lapas Sukamiskin tak perlu dipertanyakan. Setiap warga binaan di lapas Sukamiskin  spesial, karena setiap sel  hanya diisi oleh satu orang narapidana kasus korupsi. Sehingga pemberlakuan social distancing atau physical distancing sekalipun dengan mudah dijalankan.
Keempat, dilihat dari nilai kerugian, baik di masyarakat, maupun terhadap negara. Kenapa tidak mempertimbangkan kejahatan dengan nilai kerugian yang sangat kecil, misalnya dibawah lima puluh juta? Kerugian negara akibat korupsi jelas sangat besar.Â
Data ICW menjelaskan bahwa kerugian negara akibat korupsi pada tahun 2018 saja mencapai Rp. 9,29 triliun, data ini berdasarkan pada 1.053 perkara dengan 1.162 terdakwa yang diputus pada ketiga tingkatan pengadilan.Â
Kemudian menurut KPK bahwa pada tahun 2019 kerugian negara akibat korupsi yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diperkirakan sekitar dari Rp. 200 triliun, berasal dari rasio 10% APBN 2019 yang berjumlah Rp. 2.165 triliun. Mengingat kerugian negara yang sangat besar ini seharusnya, tidak ada impunitas bagi pelaku korupsi dalam bentuk apapun.
Jelas, upaya membebaskan narapidana dalam masa pandemic Covid-19 adalah upaya segelintir orang orang untuk menelikung rasa keadilan di masyarakat. Korupsi yang sudah demikian parahnya di republik ini, akan bertambah buruk.Â
Hal yang paling mengerikannya adalah masyarakat akan semakin menilai budaya korup sebagai suatu kewajaran, standar integritas dan moralitas akan semakin rendah, bahkan absurd. Pemberantasan korupsi di Indonesia pun semakin bias arah.
Hal ini menunjukkan bahwa hukum kita sedemikian rapuhnya karena visi penegakan hukum penguasa negeri ini bersifat sporadis dan tidak tersistematis.Â
Seharusnya pemerintah fokus menangani pandemi, memberikan pelayanan kesehatan terbaik, menunjukkan dirinya adalah pemimpin bertanggung jawab dan dapat diandalkan.Â
Prof Romli Atmasasmita menjelaskan bahwa penegakan hukum merupakan ujung tombak penjaga kewibawaan negara hukum dengan seluruh aspek dan kompleksitasnya.Â
Karenanya, genuine law enforcement seharusnya dimiliki oleh penyelenggara negara. Walaupun harus disadari bahwa kenyataannya hal tersebut sangat sulit dipraktekan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI