Padahal dilihat dari berbagai perspektif kebijakan ini justru membahayakan penegakan hukum kita. Pertama, Kebijakan ini jelas akan menciderai filsafat keadilan pada tujuan pemidanaan. Sehingga  tujuan pemidanaan berdasarkan UU 12/ 1995 tentang Pemasyarakatan tidak terpenuhi.Â
Sistem pemasyarakatan ditujukan supaya warga binaan pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, menjadi tidak tercapai. Apakah ada jaminan, mereka yang akan dibebaskan ini sudah menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan jera?
Kedua, yang menjadi pertanyaan selanjutnya kenapa narapidana narkotika, korupsi, dan tindak pidana khusus juga akan diberikan "hadiah" pembebasan? Bukankah semuanya termasuk kedalam extra ordinary crime atau kejahatan yang luar biasa?Â
Yang mengandung arti sebagai suatu kejahatan yang sangat berdampak besar dan multi dimensional terhadap sosial, budaya, ekonomi dan politik serta begitu dahsyatnya dampak negatif yang diakibatkan oleh kejahatan ini.Â
Untuk itu extraordinary punishment sangat diperlukan untuk jenis kejahatan yang sangat luar biasa, bahkan kemudian dirumuskan juga sebagai transnational crime menurut Konvensi Palermo 2000 yang sudah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 2009.Â
Kejahatan narkotika, korupsi, dan tindak pidana khusus semisal kejahatan teroris, dipastikan tidak dapat dipersamakan dengan delik biasa. Karena kerusakan yang diakibatkannya lebih dahsyat, bahkan bisa merusak sistem pemerintahan dan kehidupan bernegara.Â
Pembebasan narapidana tindak pidana korupsi lebih disorot dan mendapat kritik dari masyarakat, karena korupsi jelas membuat resiko negara gagal. Berdasarkan UNCAC yang diratifikasi Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 2006 menjelaskan bahwa korupsi berdampak pada:Â
(1) rusaknya proses demokrasi; (2) meruntuhkan hukum; (3) menurunkan kualitas hidup/pembangunan berkelanjutan; (4) menyebabkan kejahatan berkembang; (5) pelanggaran hak asasi manusia; (6) dan merusak pasar, harga, dan persaingan usaha yang sehat.Â
Dalam pertimbangan UU Nomor 31 Tahun 1999 ditegaskan bahwa korupsi merupakan pelanggaran hak ekonomi dan sosial rakyat, kalau merujuk pada konsep pertanggungjawaban dalam hak ekonomi sosial dan budaya, jelas tidak diperbolehkan adanya impunitas bagi para pelaku pelanggaran hak jenis ini.
Ketiga, dilihat dari jumlah, seluruh narapidana Indonesia berjumlah 262.600 orang, dan 2.162 orang diantaranya adalah narapidana korupsi. Jadi sebenarnya tidak signifikan. Memang harus dilihat juga kemungkinan warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Tahanan, dan Tahanan Kepolisian tertular covid-19.Â
Namun, kalau alasannya berdasarkan rasa kemanusiaan mencegah penularan, maka bisa dibuatkan "protokol khusus" untuk mencegah warga binaan tertular covid-19. Kalaupun yang ditakutkan masalah ruang dan kesesakan lapas, maka yang harus diprioritaskan dibebaskan adalah warga binaan yang ditempatkan di sel-sel dengan kelebihan kapasitas, bukan narapidana yang ditahan di  Lapas Sukamiskin.Â