Mohon tunggu...
DW
DW Mohon Tunggu... Freelancer - Melihat, Mendengar, Merasa dan Mencoba

Setiap Waktu adalah Proses Belajar, Semua Orang adalah Guru, Setiap Tempat adalah Sekolah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Secangkir Kopi dan Obrolan Konsumerisme

2 Juli 2023   19:24 Diperbarui: 2 Juli 2023   19:30 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi konsumerisme yang menguras isi dompet. Foto: shutterstock

Adzan maghrib berkumandang, seperti biasa menjadi momen saya dan anak-anak ke masjid. 
Maghrib kali ini berbeda, suasana masjid lebih ramai hampir 7 shaf terisi, oh ya karena hari ini adalah hari weekend terakhir setelah libur panjang Idul Adha. Tampak beberapa wajah tetangga lama menunggu waktu khomad, dengan anggukan basa-basi ketika mata kami bertemu.

Selesai sholat Maghrib seperti biasa bapak-bapak duduk di samping masjid, kebiasaan ini sudah sering dilakukan sejak masa pandemi, menunggu waktu isya. Bapak-bapak ngumpul ngobrol, anak-anak berlarian di sekitar masjid sambil main sarung-sarungan.

Obrolan pun dibuka dengan sapaan hangat.. "Tumben ada di rumah Pak?", sapa tetangga yang sepertinya memperhatikan kegiatan saya yang sering sekali weekend dinas di luar kota. "Oh iya Pak, biasa kalau long weekend event saya tidak laku", seloroh saya sambil menarik kursi plastik.

"Asyik nih mulai rame lagi, setelah 3 hari banyak tetangga yang staycation di luar kota" timpal tetangga yang jarak rumahnya hanya 3 rumah dari rumah kami. "Para sultan sudah kembali ke basecamp Pak" jawab tetangga ku yang lain.

Ya 3 hari long weekend memang perumahan kami tidak seramai biasanya, banyak tetangga yang pergi, bahkan saat Idul Adha kemarin kami kekurangan tenaga untuk menyembelih dan memotong 12 kambing dan 3 sapi, sampai kami harus terjunkan warga sekitar kompleks untuk membantu kami.

"Wajar pak, kan jarang-jarang dapat long weekend" aku menimpali, berusaha menetralkan keadaan.

Buat para pekerja memang long weekend menjadi semacam oase dari riuhnya rutinitas, terbayang dengan jarak rumah kami yang ada di kabupaten bogor, dan kebanyakan tetangga bekerja di Sudirman, Thamrin, dan Area Perkantoran di Jakarta Pusat memang melelahkan. Minimal butuh 1,5 jam perjalanan yang harus di tempuh, belum lagi berjibaku dengan truk dan angkot yang semaunya di daerah parung, duh kebayang deh tingkat jenuhnya. 

Beruntung saya berkantor masih di daerah Tangerang, jadi rute saya tidak se-ekstrim tetangga yang lain.

"Staycation di Solo Pak? Saya liat status WA Bapak, keren ah" tanya salah seorang bapak yang aku lupa namanya ke tetangga ku yang kebetulan baru saja sampai dari Solo jam 17.00 tadi. 
"Iya pak kebetulan anak-anak belum pernah ke Solo, ya meskipun cuma tidur di hotel dan jalan-jalan di pasar klewer minimal anak-anak sudah pernah ke Solo lah" 

"Pak A malah lebih jauh, ke bromo ya?"
"Wah paket ke bromo sekarang berapa Pak?" tanya dia berusaha mengalihkan topik ke Bapak A.

Obrolan makin lama makin membahas biaya, budget dan ongkos. Terbayang jika satu orang saja ke Bromo dengan paket wisata 1 hari Rp. 400,000 sedangkan sekeluarga ada 5 orang sudah 2 juta sendiri. Belum hotel, makan, dan ongkos PP nya.

Ada apa dengan long weekend.. mengapa ada stigma kalau long weekend itu menjadi ajang liburan keluarga?
Apa kabar aku yang gak kemana-mana ini..?

"Kopi pak?" tanya Mas Jamal marbot masjid kami yang dengan sigap menawarkan kopi memecah kebengonganku.. 
"oh ya boleh deh om.."  Mas Jamal memang menyambi menjual aneka minuman termasuk kopi, dia paham betul kapan harus menjual produknya.

"Sekarang tinggal balik ke dunia nyata Pak, kerja lagi, karena tagihan kartu kredit dan paylater bulan depan sudah menanti" senyum tetangga yang seolah menyadarkan kami bahwa ada extra cost yang harus ditanggungnya.

Oh ternyata dunia ini begitu konsumerisme, ada demand yang dibangun seolah long weekend itu wajib jalan-jalan. 
Ada barisan Paylater dan cicilan yang memudahkan kita merasakan itu semua, dan bayar belakangan. 
Godaan itu begitu mempesona dan terkesan solusi. Buat mereka yang memiliki finansial yang kuat mereka tidak perlu pikir panjang, namun buat saya dan keluarga, sebaiknya jangan ikut-ikutan. Bisa-bisa salah kaprah dan tergoda pakai semaunya.

Dunia ini terlalu bising jika kita dengarkan, banyak ajakan, banyak rayuan, banyak penawaran. Iming-iming point rewards, atau diskon khusus hanya menjadi jebakan bagi orang-orang yang tidak kuat finansial. Sekali kita merasakan, kita akan menggampangkan semua.. 
Ah gampang bayar belakang.. ah gampang nilainya cicilannya cuma sejutaan.. yang penting anak istri jalan-jalan..
Sederet pembenaran dan alasan diri yang menutup logika berpikir kita.

Memang akan mendatangkan kekaguman, acungan jempol dan like yang banyak ketika kita posting di media sosial. 
Memang akan menjadi buah cerita si anak ketika bermain dengan teman kompleksnya kalau dia sudah kesana kesini, tapi apakah berbanding lurus dengan sesaknya dompet diakhir bulan nanti.

"Ayah minta uang buat jajan" celetuk anakku seraya menarik sarungku, ternyata marbot kami pun sekarang jualan cilok dan telur gulung buat menarik anak-anak jajan.
"Yaah ayah cuma bawa uang Rp. 5000 buat bayar kopi nak, pulang dulu deh minta sama bunda.." 
"Coba tanya Om Jamal dia bisa Paylater gak..?" Kelakar ku sambil mencari sandal sebelah kiri bergegas pulang dengan alasan ambil uang buat jajan si bocah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun