Belakangan ini ramai dibanyak media mengenai tsunami PHK di Start Up Company. Meskipun tidak semua Start Up merasakan getirnya kondisi ini, namun hal ini cukup menarik minat saya melakukan riset lebih dalam, mencari tahu "ada apakah gerangan?".
Saya tidak akan mengupas dari sisi makro ekonomi, karena itu bukan kapasitas saya, namun saya beropini dari sisi masyarakat umum yang sangat menyambut gembira bertumbuhan perusahaan Start Up dalam 10 tahun terakhir ini. Bagi kami yang kelahiran era 80 an, di usia dewasa ada keinginan bekerja sesuai dengan "passion", biasanya sih kata "passion" ini menjadi alasan kami menghindar dari kejenuhan bekerja rutin dan bekerja secara birokrasi. Jadi saya sangat suka dengan gaya kerja para Start Up yang dinamis, lincah, berkeputusan cepat, dan tidak monoton. Dari berbagai cerita yang bertebaran di medias soial dan testimoni yang saya lihat dan baca, sepertinya memang mengasyikan bisa bekerja di Start Up Company. Mereka bisa lebih berdaya, bisa santai tapi serius dan tidak terikat dengan jam kerja yang kaku.
Ditengah keinginan saya mencari tahu apa yang terjadi dengan dunia Start Up saat ini, semalam saya menghabiskan 8 episode film drama The Dropout yang diangkat dari kisah nyata jatunya perusahaan Start Up Theranos. Karena ceritanya mudah dipahami dan related dengan situasi saat ini, tanpa saya sadar semalaman saya begadang menghabiskan 8 episode.
The Dropout menceritakan tentang runtuhnya perusahaan Start Up yang fenomenal yaitu Theranos. Theranos adalah perusahaan rintisan yang didirikan oleh seorang wanita muda berusia 19 tahun Elizabeth Holmes. Lizzy (panggilannya) berambisi akan mendisrupsi dunia farmasi dengan terobosan menghadirkan produk seukuran PC komputer yang bisa membaca kondisi seseorang melalui setetes darah, dan dalam waktu yang sangat singkat. Ide gila ini saat ini memang mustahil. Karena dunia kedokteran butuh waktu lama dalam mendiagnosa seseorang dan belum ada teknologi yang bisa melakukan dengan cepat, mudah dan murah.
Tetapi mungkin 5 atau 10 tahun kedepan, hal yang mustahil itu bisa terjadi.
Lalu, apa yang menarik dari cerita tentang film The Dropout itu?
Elizabeth Holmes, tokoh utama dan tokoh kunci dari film ini. Seorang anak muda usia 19 tahun yang membangun perusahaan tech dengan valuasi 9 juta USD. Hebatnya, ia mampu meyakinkan para investor besar untuk menjadi mitra mereka, dan menanamkan uangnya ratusan juta di Theranos.
Dari artikel, pemberitaan dan video tentang Elizabeth Holmes ini saya mengupas 3 faktor penting yang dimiliki Elizabeth Holmes ini, yaitu:
1. Interpersonal Power.
Kemampuan Elizabeth Holmes dalam membawa dirinya, menjual dirinya dan mempresentasikan dirinya menjadi daya pikat utama. Ia mampu memberikan influence dan meyakinkan para pesohor di USA melalui pendekatan yang persuasif. Orang-orang hebat itu bahkan tidak peduli, Lizzy bahkan tidak menyelesaikan kuliahnya di Standford University. Gaya Lizzy yang muda, energik, chick, dan menatap dengan mata penuh percaya diri membuat para investor kakap pun antri berebut untuk bisa menanamkan uangnya di perusahaan yang Elizabeth Holmes bangun, yaitu Theranos.Â
Para investor ini mengesampingkan fakta dan data yang muncul, mereka ditarik oleh karisma Elizabeth yang begitu kuat. Dan bagi investor, mereka melihat sosok Steve Jobs versi wanita.
2. Powerful Eye Contact.
Baik tokoh asli maupun pemeran dalam film ini memiliki kesamaan, yaitu memiliki bola mata yang besar dan cara menatap yang sangat firm. Ya, bahkan di tokoh aslinya, dari video yang saya lihat, betapa kekuatan menatap Lizzy ini memberikan pengaruh yang begitu kuat. Ini yang menurut saya sangat lemah di Indonesia. Budaya eye to eye level ketika berbicara dianggap kurang sopan, terlebih jika berbicara dengan orang yang lebih tua atau lebih hebat dari kita. Padahal, keyakinan diri, seberapa kita percaya diri dan kredibilitas diri diwakilkan oleh sinaran mata kita. Lizzy, mampu dan berhasil menggunakan potensi ini.
3. Connecting Power.
Ketika perusahaannya mulai diawasi, dikupas dan dicari titik lemahnya, Lizzy dengan sangat pandai membangun jaringan melalui anggotan dewannya, ia mendekati petinggi Wall Street Journal untuk tidak mempublikasikan artikel yang ditulis salah satu wartawannya. Ia bahkan mampu membuat seorang veteran perang yang dihormati George Shultz harus mengusir cucunya karena berbeda opini tentang cara kerja lab Theranos. George Shultz meminta cucunya Tyler Shultz untuk meminta maaf secara terbuka karena meragukan produk Theranos dan membuat laporan palsu.
Kemampuan Lizzy dalam melobby, merangkul dan meminta para senior dewan untuk masuk dilingkaran pengaruhnya menjadi bukti bahwa ia memiliki kemampuan yang lebih dari sekedar High Tech. Bahkan bisa dikatakan produk Theranos yaitu Edison adalah produk yang gagal. Tetapi kemampuan Elizabeth Holmes tidak, ia berhasil dan bahkan unggul.
Nah, jika kita kembali ke topik awal, bahwa di Indonesia banyak Start Up yang sedang kesulitan dan banyak ditinggal investor, mungkin memang trend yang terjadi seperti itu, tetapi saya sangat yakin, Start Up masih memiliki kesempatan untuk re-born, mereka adalah perusahaan yang memiliki orang-orang seperti Elizabeth Holmes. Ambisius, fokus dan berani melawan arus.Â
Terlepas dari tindakannya yang menipu dan merugikan banyak pihak, disini saya tidak berupaya menyambungkan kasus yang dihadapi Elizabeth dan hukuman yang diterimanya, dengan situasi yang terjadi saat ini di Insonesia. Saya menganggumi dia karena kemampuannya dalam menciptakan karisma diri, meskipun masih sangat muda, tapi ia terlihat sangat matang.
DO OR DO NOT, THERE IS NO TRYÂ - Yoda
Salam,
DW
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H