Mohon tunggu...
Dedy Helsyanto
Dedy Helsyanto Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti

@dedy_helsyanto

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

PPDB, KKN dan Tan Malaka

28 Juni 2024   13:55 Diperbarui: 29 Juni 2024   06:27 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KKN disepakati oleh masyarakat adalah kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Menurut Sukardi (Saufa Ata, 2022), kejahatan luar biasa adalah kejahatan yang berdampak besar dan multidimensional terhadap sosial, budaya, ekologi, ekonomi dan politik yang dapat dilihat dari akibat-akibat dari suatu tindakan atau perbuatan yang ditemukan dan dikaji oleh berbagai lembaga pemerintahan maupun lembaga non pemerintahan, nasional maupun internasional. KKN ini kerap dilakukan dengan sistematis.

Penyimpangan yang terjadi pada PPDB dapat dimasukan dalam kategori KKN. Beberapa bentuk kecurangan pada PPDB mulai dari pemalsuan identitas kartu keluarga siswa, jual beli kursi, dan siswa/i siluman. Pelaku kecurangan PPDB berasal dari berbagai pemangku kepentingan mulai dari pemerintah daerah, anggota DPRD, TNI, Polri, anggota organisasi masyarakat, wartawan dan penjabat sekolah (Kompas.id, 2024). Berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI) Sektor Pendidikan Tahun 2023 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 24,6 persen responden menyatakan ada siswa yang diterima di sekolah karena telah memberikan imbalan tertentu kepada pihak sekolah. Sebanyak 42,4 persen guru menyatakan sebenarnya siswa tidak layak diterima, tetapi dengan imbalan tertentu, siswa tetap diterima di sekolah itu. Teranyar data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) per 20 Juni 2024, terungkap ada sebanyak 162 kasus terkait PPDB, yaitu tipu-tipu nilai di jalur prestasi (42 persen), manipulasi kartu keluarga di jalur zonasi (21 persen), mutasi (7 persen), serta ketidakpuasan orangtua di jalur afirmasi (11 persen). Di luar itu, ada juga kasus laporan dugaan adanya gratifikasi (19 persen) yang dilakukan melalui dua jalur gelap yang disebut jual beli kursi dan jasa titipan orang dalam.

Dampak KKN pada PPDB tentu dirasakan lintas sektor oleh berbagai lapisan masyarakat. Seperti meningkatnya biaya pendidikan, tingginya jumlah siswa anak putus sekolah khususnya pada kelompok miskin, terancamnya kesejahteraan masyarakat, tergerusnya kepercayaan sosial, memperlebar ketidaksetaraan dan merusak kualitas angkatan kerja.

Untuk memitigasi masalah KKN pada PPDB ini salah satu caranya dengan mewujudkan tujuan pendidikan seperti yang dikatakan Tan Malaka, yakni "tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan" secara konsisten dan konsekuen. Mengacu pada tujuan Tan Malaka tersebut, sistem PPDB dapat dikatakan masih jauh panggang dari api.

Pendidikan ala Tan Malaka

Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui kalau Tan Malaka adalah Tokoh Pendidikan. Alasannya karena belum banyaknya bahasan pemikiran Tan Malaka tentang pendidikan. Tan Malaka yang bernama asli Sutan Ibrahim berasal dari keluarga bangsawan yang mengenyam pendidikan Kweekscholl atau Sekolah Guru Negara di Bukittinggi dan pada usia 17 tahun Ia kuliah di Rijkskweekschool atau Sekolah Pendidikan Guru Pemerintah di Belanda.

Sepulang dari Belanda, Tan Malaka menjadi Guru di Deli, Sumatera dan tak lama kemudian Ia mendirikan Sekolah Serikat Islam (SI) di Semarang. Model pendidikan yang diajarkan Tan Malaka adalah memberi senjata cukup buat pencarian penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu), kemudian memberi hak murid-murid dalam kehidupan sosial dengan jalan pergaulan (vereniging) dan menunjukkan kewajiban kelak, terhadap berjuta-juta Kaum Kromo (rakyat kecil).

Melihat latar belakang Tan Malaka, lalu konsep dan tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan, praktik PPDB khususnya melalui sistem zonasi, sistem umur dan keterbatasan kuota dapat dibilang justru bertentangan dengan pemikiran salah satu Bapak Pendidikan tersebut.

Pertama, Tan Malaka khususnya, serta founding parents lainnya ialah mereka yang sekolah tidak melihat batas umur. Saat mereka muda, mereka leluasa mengakses pendidikan di mana saja. Hal ini berkebalikan dengan PPDB yang justru mengutamakan murid yang berumur tua. Selain itu, praktik ini bertentangan dengan prinsip kesetaraan yang mau diwujudkan dari PPDB, yang terjadi adalah mendiskriminasi mereka yang berumur muda.

Kedua, Tan Malaka dan beberapa tokoh bangsa lainnya, bukanlah peserta didik yang menyenyam pendidikan dengan batasan wilayah. Mereka adalah manusia bebas yang menjadi subjek pendidikan dan merdeka untuk bersekolah di mana saja, bertemu berbagai manusia dengan beragam latar budaya, sosial, politik dan ekonomi. Seperti Tan Malaka yang bersekolah dengan mayoritas elit Belanda dan sistem kapitalisme justru mengajar mayoritas anak buruh di Deli dan Semarang dengan menjunjung asas kemanusiaan. Tan Malaka tak terkungkung dengan jalur zonasi yang sudah ajeg karakter masyarakatnya dari hidup bertetangga misalnya.

Ketiga, Tan Malaka mengedepankan humanisme atau kemanusiaan dalam pendidikan. Komitmen Tan Malaka untuk berpihak kepada rakyat kecil dengan kejujuran mengedepankan nilai kebajikan dan keberpihakan. Praktik PPDB yang kerap penuh dengan kecurangan atau KKN justru akan menghilangan hak anak untuk masuk sekolah pilihannya dan melahirkan siswa yang tidak punya semangat juang untuk berprestasi serta membentuk siswa yang individualistis dan egois yang suka menghalalkan segara cara untuk menang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun