Permasalahan Penerimaaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang diluncurkan sejak 2017 hingga kini bagai lingkaran setan. Kebijakan PPDB ini dicetuskan oleh tokoh yang sama dengan rencana pemberian bantuan sosial (bansos) untuk pelaku judi online, tak lain dan tak bukan ialah Muhadjir Effendi. Tujuan utama dari kebijakan PPDB diketahui untuk memeratakan akses dan kualitas pendidikan siswa.
Namun ada beberapa masalah yang menjadi sorotan dalam PPDB karena terus berulang setiap tahunnya. Mulai dari sistem zonasi yang mengatur hanya siswa yang berdomisili dekat sekolah yang berpeluang lebih besar diterima sekolah. Selain itu ada juga sistem umur, dimana siswa yang umurnya lebih tua didahulukan untuk masuk atau diterima di sekolah. Ditambah lagi masalah kuota penerimaan siswa dari sekolah, seperti yang dijelaskan Disdik DKI Jakarta bahwa kuota bangku di SMA dan SMK negeri ada 47.610, sementara jumlah lulusan SMP sederajatnya ada 144.598.
Berdasarkan penelitian Ula & Lestari (2020) sistem zonasi pada PPDB membawa dampak positif dan negatif bagi guruguru dan siswa.Â
Dampak positif;
- Lebih banyak siswa yang aktif di praktik daripada teori (dianggap menguntungkan bagi guru-guru tertentu)
- Sebagian guru mengambil hikmah positif dari kebijakan zonasi ini menyatakan bahwa, dengan banyaknya siswa yang sulit memahami dan sulit menyerap materi ini, mengharuskan seorang guru untuk dapat menciptakan metode pembelajaran baru dengan dengan harapan dapat meningkatkan nilai siswa di bawah KKM
- Lebih banyak siswa yang semangat dan termotivasi pada kegiatan outdoor saja
Dampak negatif;
- Sebagian guru mengeluh siswa banyak memperoleh nilai di bawah KKM (terutama mata pelajaran yang terlalu banyak teori)
- Semakin banyak pula terjadi pelanggaran tata tertib seperti membolos, terlambat, berkelahi, tidak mengenakan atribut lengkap, dll
- Dirasa lebih sulit untuk dibimbing
- Memunculkan pelanggaran-pelanggaran baru yang belum pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya
- Daya juang siswa rendah sehingga banyak siswa zonasi yang meremehkan guru misalnya menunda-nunda tugas yang diberikan
- Kurang memiliki sopan santun terhadap guru
- Guru merasa kesulitan mengondisikan kelas
- Terbentuknya geng-geng negatif, warisan dari sekolah pada jenjang pendidikan sebelumnya
- Terjadi banyak perkelahian di luar sekolah karena sudah paham seluk beluk lingkungan
- Kebiasaan kurang baik di rumah dibawa ke sekolah
- Pihak sekolah hampir setiap hari mendapat laporan tentang pelanggaran siswa
- Pengawasan orang tua belum efektif meskipun jarak sekolah dekat
- Prestasi sekolah menurun
Selain guru dan siswa, masyarakat juga merasakan dampak positif dan negatif dari sistem PPDB.
Dampak positif;
- Semakin berkurang kemacetan yang ditimbulkan di lingkungan sekolah, meskipun tidak signifikan
- Peserta didik bertempat tinggal dekat dengan sekolah sehingga dapat memangkas biaya transportasi siswa
- Persyaratannya sangat mudah jika ingin menyekolahkan anaknya melalui jalur zonasi
- Keluarga kurang mampu bisa menyekolahkan anaknya disekolah favorit secara gratis
- Ada kebanggaan tersendiri bagi orangtua yang berhasil menyekolahkan putra-putrinya di sekolah favorit yang diinginkan
Dampak negatif;
- Dirasa kurang adil bagi siswa yang memiliki prestasi karena akan lebih sulit dapat masuk di sekolah yang dicita-citakan
- Daya juang siswa menurun karena untuk masuk sekolah favorit tidak perlu nilai bagus
- Harga rumah disekitar sekolah menjadi jauh lebih mahal, dan banyak orang memburu rumah dekat dengan sekolah favorit
- Adanya manipulasi tempat tinggal oleh oknum wali siwa agar anaknya dapat sekolah di sekolah favorit
- Belum diimbangi dengan pemerataan jumlah sekolah negeri dan fasilitas pendidikan yang memadai sehingga memunculkan blank spot di beberapa wilayah kecamatan
- Konsep sekolah favorit dan non favorit tidak hilang dari pandangan masyarakat terbukti banyak kasus perubahan dan manipulasi KK (kartu Keluarga)
- Konsep penerapan sistem zonasi yang kurang jelas, sehingga ada beberapa wali murid yang mengeluhkan jarak ke sekolah masih jauh meskipun melaui jalur zonasi padahal ada sekolah yang lebih dekat
- Dirasa menghilangkan hak anak untuk memilih sekolah yang di inginkan terbukti dari adanya laporan beberapa wali murid ke KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia)
Setelah sekitar tujuh (7) tahun berjalan, dapat dilihat baik secara kuantitatif dan kualitatif pelaksanaan PPDB justru banyak menimbulkan dampak negatif yang terus berulang setiap tahunnya. Dampak negatif yang paling menonjol adalah lapisan masyarakat dan pemangku kepentingan seakan permisif atau memaklumi fenomena dan dampak dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dari PPDB.
Menyuburkan Praktik KKN
KKN disepakati oleh masyarakat adalah kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Menurut Sukardi (Saufa Ata, 2022), kejahatan luar biasa adalah kejahatan yang berdampak besar dan multidimensional terhadap sosial, budaya, ekologi, ekonomi dan politik yang dapat dilihat dari akibat-akibat dari suatu tindakan atau perbuatan yang ditemukan dan dikaji oleh berbagai lembaga pemerintahan maupun lembaga non pemerintahan, nasional maupun internasional. KKN ini kerap dilakukan dengan sistematis.
Penyimpangan yang terjadi pada PPDB dapat dimasukan dalam kategori KKN. Beberapa bentuk kecurangan pada PPDB mulai dari pemalsuan identitas kartu keluarga siswa, jual beli kursi, dan siswa/i siluman. Pelaku kecurangan PPDB berasal dari berbagai pemangku kepentingan mulai dari pemerintah daerah, anggota DPRD, TNI, Polri, anggota organisasi masyarakat, wartawan dan penjabat sekolah (Kompas.id, 2024). Berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI) Sektor Pendidikan Tahun 2023 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 24,6 persen responden menyatakan ada siswa yang diterima di sekolah karena telah memberikan imbalan tertentu kepada pihak sekolah. Sebanyak 42,4 persen guru menyatakan sebenarnya siswa tidak layak diterima, tetapi dengan imbalan tertentu, siswa tetap diterima di sekolah itu. Teranyar data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) per 20 Juni 2024, terungkap ada sebanyak 162 kasus terkait PPDB, yaitu tipu-tipu nilai di jalur prestasi (42 persen), manipulasi kartu keluarga di jalur zonasi (21 persen), mutasi (7 persen), serta ketidakpuasan orangtua di jalur afirmasi (11 persen). Di luar itu, ada juga kasus laporan dugaan adanya gratifikasi (19 persen) yang dilakukan melalui dua jalur gelap yang disebut jual beli kursi dan jasa titipan orang dalam.
Dampak KKN pada PPDB tentu dirasakan lintas sektor oleh berbagai lapisan masyarakat. Seperti meningkatnya biaya pendidikan, tingginya jumlah siswa anak putus sekolah khususnya pada kelompok miskin, terancamnya kesejahteraan masyarakat, tergerusnya kepercayaan sosial, memperlebar ketidaksetaraan dan merusak kualitas angkatan kerja.
Untuk memitigasi masalah KKN pada PPDB ini salah satu caranya dengan mewujudkan tujuan pendidikan seperti yang dikatakan Tan Malaka, yakni "tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan" secara konsisten dan konsekuen. Mengacu pada tujuan Tan Malaka tersebut, sistem PPDB dapat dikatakan masih jauh panggang dari api.
Pendidikan ala Tan Malaka
Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui kalau Tan Malaka adalah Tokoh Pendidikan. Alasannya karena belum banyaknya bahasan pemikiran Tan Malaka tentang pendidikan. Tan Malaka yang bernama asli Sutan Ibrahim berasal dari keluarga bangsawan yang mengenyam pendidikan Kweekscholl atau Sekolah Guru Negara di Bukittinggi dan pada usia 17 tahun Ia kuliah di Rijkskweekschool atau Sekolah Pendidikan Guru Pemerintah di Belanda.
Sepulang dari Belanda, Tan Malaka menjadi Guru di Deli, Sumatera dan tak lama kemudian Ia mendirikan Sekolah Serikat Islam (SI) di Semarang. Model pendidikan yang diajarkan Tan Malaka adalah memberi senjata cukup buat pencarian penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu), kemudian memberi hak murid-murid dalam kehidupan sosial dengan jalan pergaulan (vereniging) dan menunjukkan kewajiban kelak, terhadap berjuta-juta Kaum Kromo (rakyat kecil).
Melihat latar belakang Tan Malaka, lalu konsep dan tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan, praktik PPDB khususnya melalui sistem zonasi, sistem umur dan keterbatasan kuota dapat dibilang justru bertentangan dengan pemikiran salah satu Bapak Pendidikan tersebut.
Pertama, Tan Malaka khususnya, serta founding parents lainnya ialah mereka yang sekolah tidak melihat batas umur. Saat mereka muda, mereka leluasa mengakses pendidikan di mana saja. Hal ini berkebalikan dengan PPDB yang justru mengutamakan murid yang berumur tua. Selain itu, praktik ini bertentangan dengan prinsip kesetaraan yang mau diwujudkan dari PPDB, yang terjadi adalah mendiskriminasi mereka yang berumur muda.
Kedua, Tan Malaka dan beberapa tokoh bangsa lainnya, bukanlah peserta didik yang menyenyam pendidikan dengan batasan wilayah. Mereka adalah manusia bebas yang menjadi subjek pendidikan dan merdeka untuk bersekolah di mana saja, bertemu berbagai manusia dengan beragam latar budaya, sosial, politik dan ekonomi. Seperti Tan Malaka yang bersekolah dengan mayoritas elit Belanda dan sistem kapitalisme justru mengajar mayoritas anak buruh di Deli dan Semarang dengan menjunjung asas kemanusiaan. Tan Malaka tak terkungkung dengan jalur zonasi yang sudah ajeg karakter masyarakatnya dari hidup bertetangga misalnya.
Ketiga, Tan Malaka mengedepankan humanisme atau kemanusiaan dalam pendidikan. Komitmen Tan Malaka untuk berpihak kepada rakyat kecil dengan kejujuran mengedepankan nilai kebajikan dan keberpihakan. Praktik PPDB yang kerap penuh dengan kecurangan atau KKN justru akan menghilangan hak anak untuk masuk sekolah pilihannya dan melahirkan siswa yang tidak punya semangat juang untuk berprestasi serta membentuk siswa yang individualistis dan egois yang suka menghalalkan segara cara untuk menang.
Dengan begitu, PPDB dapat dikatakan stagnan jika tidak ingin disebut gagal. Evaluasi menyeluruh terhadap sistem PPDB mesti dilakukan segera, karena risiko PPDB yang menimbulkan KKN justru membuat kerugian yang lebih besar dan luas dalam waktu yang panjang ketimbang manfaat yang ingin dicapai. Penting untuk diingat adalah pemerataan akses dan kualitas pendidikan tidak hanya dapat ditempuh melalui PPDB. Sudah cukup waktu selama tujuh (7) tahun dari pelaksanaan kebijakan PPDB ini, penggantian kebijakan dan sistem terhadapnya adalah hal yang urgent dan strategis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H