Mohon tunggu...
Dedy Helsyanto
Dedy Helsyanto Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti

@dedy_helsyanto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Literasi Gotong Royong

14 Februari 2019   14:03 Diperbarui: 19 Agustus 2019   23:44 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh 

Dedy Helsyanto

Intisari dari tulisan Denny JA yang berjudul "NKRI Bersyariah Atau Ruang publik Yang Manusiawi?" diantaranya adalah, masyarakat yang mempraktekkan nilai-nilai sosial islami yang dianjurkan Al Quran, terjadi di negara barat. Kebalikannya, banyak negara berlabel Negara Islam tidak berhasil menggapai rangking teratas dalam mempraktekkan nilai yang islami.

Untuk mengukur kebahagiaan pun tak hanya dilihat dari kebutuhan dasar yang tercukupi, pertumbuhan ekonomi dan pendidikan. Tetapi diukur juga dengan ruang publik yang manusiawi.

Negara bangsa Indonesia dengan fondasi Pancasila dinilai sudah memadai mengantar Indonesia menggapai ruang publik yang manusiawi.

Mengingat kondisi beberapa negara, khususnya Indonesia yang tengah mengalami era post truth atau pasca kebenaran, tentu menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat untuk mewujudkan ruang publik yang manusiawi ini. Masalahnya dapat kita lihat bersama dengan maraknya hoaks atau berita bohong yang beredar di media sosial maupun luring.

Menurut survei dari Masyarakat Telematika (Mastel) Indonesia pada Tahun 2017, ditemukan data hoaks politik sebanyak 91,80%, kemudian disusul hoaks SARA berjumlah 88,60% dan di posisi ke tiga ditempati hoaks seputar kesehatan berjumlah 42,20%. Hoaks ini pun berdasarkan riset dari Daily Social bersama Jakpat Mobile Survey Platform pada 2018, banyak ditemukan di platform Facebook sebanyak 82,25%, lalu Whatsapp berjumlah 56,55% dan Instagram 29,48%.   

Kombinasi hoaks politik dan SARA yang paling menonjol misalnya adalah beberapa partai politik pendukung Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno yakni PKS dan PAN yang disebut ingin mewujudkan negara syariah. Sementara Capres petahana Joko Widodo (Jokowi) yang didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan berpasangan dengan Cawapres Ma'ruf Amin dituding sebagai keturunan dan bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Hoaks yang tersebar tersebut juga sudah memakan korban dari beberapa anak bangsa Indonesia sendiri. Beberapa diantaranya diberikan hukuman karena dianggap telah melanggar Undang-undang Nomor 11 Tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan bahkan sebelumnya terlebih dahulu mengalami persekusi dari kelompok yang berbeda. Di sisi lain ditemukan juga adanya kelompok yang sengaja menyebarkan hoaks karena motif ekonomi maupun politik.

Kini yang dapat menjadi solusi dari korban, penyebar dan pembuat hoaks dengan berbagai motifnya ini adalah literasi. Riset dari Central Connecticut State University di New Brimingham Tahun 2016 menyatakan tingkat literasi Indonesia berada di peringkat 60, satu peringkat di atas Bostwana dan di bawah Thailand.

Kondisi literasi di Indonesia yang mengkhawatirkan menjadi tantangan tersendiri untuk mewujudkan ruang publik yang manusiawi tadi. Artinya perlu literasi gotong royong yang diwujudkan bersama-sama oleh pemerintah, kelompok masyarakat dan media. Mengapa literasi gotong royong?

Gotong Royong menurut perumus Pancasila yakni Soekarno adalah intisari dari Pancasila. Dapat diartikan prinsip gotong royong Pancasila adalah berpegang teguh dengan persatuan ditengah-tengah perbedaan atau Bhineka Tunggal Ika. Tentunya ini mencakup nilai-nilai dari kelima sila yang ada, yaitu ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil beradab, persatuan Indonesia, musyawarah mufakat dan keadilan sosial.

Pertanyaannya kemudian, siapa yang menjadi agen-agen literasi gotong royong ini?

Kembali merujuk pada data, berdasar hasil survei Forum Sahabat Keluarga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang bertajuk "Indonesia Millenial Report 2019" menunjukan 94,4% milenial Indonesia telah terkoneksi internet. Sementara survei yang dilakukan IDN Research Institute bekerjasama dengan Alvara Research Center Tahun 2018 ditemukan ada sebanyak 79,5% milenial melakukan update status antara 2 sampai 5 kali sehari, bahkan 6 hingga 8 kali sebanyak 52,5%. Tapi dengan perkembangan lebih baik, dimana kalangan milenial mulai bijaksana dalam menggunakan media sosial, yakni tidak mudah membagi informasi sebelum mengecek kebenarannya.

Pertentangannya, berdasarkan studi yang dilakukan oleh peneliti di Princeston dan New York University mendapati penyebaran hoaks melalui unggahan Facebook setelah Pilpres Amerika Serikat 2016, tak terkait latar belakang pendidikan, jenis kelamin, dan pandangan politik. Faktor usia justru menjadi faktor utama penyebaran hoaks. 

Menteri Komunikasi Informasi (Menkominfo), Rudi Antara juga menguatkan dengan mengatakan di Indonesia, milenial tidak menyukai hoaks dan faktanya hoaks mudah menyebar dikalangan generasi baby boomers atau generasi X yang lahir sebelum kaum milenial.

Para milenial Indonesia inilah yang dapat menjadi agen-agen literasi gotong royong yang di bantu oleh generasi X anti hoaks yang berada pada struktur sosial konvensional dalam masyarakat. Seperti tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh perempuan.

Tak kalah penting mengingat Hari Pers Nasional pada 9 Februari lalu, media massa mainstream mempunyai peran yang cukup vital untuk membantu milenial menjadi agen-agen literasi gotong royong tadi. Cara yang dapat dilakukan diantaranya dengan memberikan pelatihan jurnalistik seperti jurnalisme data kepada milenial.

Bekal yang diberikan media massa mainstream ini diharapkan dapat dipraktekkan oleh milenial yang menjadi agen-agen literasi gotong-royong dalam membuat konten di media sosialnya maupun blognya.

Selain itu, media massa mainstream sedapatnya juga memberikan ruang kepada pakar, intelektual atau akademisi milenial dalam memberikan pendapat mereka. Alasannya, kegaduhan yang terjadi karena hoaks di ruang publik, didapati berasal dari komentar-komentar mereka yang tidak menguasai masalah atau pengetahuan di bidang tertentu.

Peran milenial dan media untuk literasi gotong royong mesti berkolaborasi dengan program-program dan lembaga-lembaga pemerintah dalam mengkampanyekan Pancasila. Dimana tujuannya adalah terwujudnya kehidupan yang adil dan sejahtera di berbagai bidang sesuai amanat konstitusi.

Dengan langkah-langkah ini, wacana negara syariah dapat dibilang akan menghilang dengan sendirinya. Indonesia pun akan maju dengan dinamika revolusi industri yang terus bergerak maju dengan ruang publik yang manusiawi yang dimotori para milenialnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun