Sejak Timnas Indonesia kalah dari Jepang di Kualifikasi Piala Dunia 2026 pada November 2024 lalu, banyak kegaduhan terjadi di publik sepak bola tanah air.
Semua orang menghadirkan opininya masing-masing. Ada yang disertai argumentasi yang mendalam, ada pula yang pakai pedoman 'pokoknya'.
Jika sudah 'pokoknya', maka tak perlu disanggah. Biarkan saja orang yang sudah mengambil kesimpulan dalam komentarnya tanpa argumentasi yang proporsional tersebut untuk menikmati momen dirinya bisa mengeluarkan ekspresinya.
Sebab, memang ketika seseorang berhasil menyampaikan apa yang ada di pikirannya, ada kelegaan. Ada rasa berdaya dan perasaan sudah melakukan sesuatu yang penting, yang sebelumnya masih terganjal dalam pikiran.
Jika dulu, mungkin dekade 2010-an menuju 2020, media sosial menjadi media untuk menunjukkan wajah lain dari seseorang. Tetapi, dewasa ini terutama sejak prahara yang disebabkan pandemi Covid-19, media sosial menjadi wadah untuk berekspresi apa adanya.
Wajar, karena aktivitas di kehidupan nyata juga kemudian beralih ke sarana digital. Seperti bekerja, rapat, wawancara. Bahkan, berkomunikasi dengan keluarga juga menjadi lebih intens melalui sarana komunikasi digital karena di antara kita kemungkinan besar ada yang pernah menjadi penyintas langsung Covid-19. Sehingga, pernah dikarantina dan berjauhan dengan keluarga.
Perjalanan ini membuat persepsi orang terhadap ruang digital menjadi berbeda. Dari yang sebelumnya merasa media digital alias dunia maya bisa menjadi ruang berbeda, kini bisa dianggap ruang yang sama seperti dalam kehidupan nyata.
Anggapan ini kemudian membuat ekspresi di media sosial juga dapat menggambarkan ekspresi yang sebenarnya dalam diri seseorang.
Artinya, apa yang kita sampaikan bisa saja sesuai dengan apa yang sebenarnya kita pikirkan langsung, bukan desain yang diubah untuk tujuan lain. Misalnya, mencari perhatian dan mendapat keuntungan algoritma--jika merupakan kreator konten digital.
Tentu, ada juga yang berusaha mendesain itu. Karena, segala kemungkinan ada dalam sikap seseorang.
Kemudian, kegaduhan tersebut mereda ketika Timnas Indonesia secara heroik mampu menang 2-0 atas Arab Saudi. Ini membuat harapan Timnas Indonesia untuk masih bersaing memperebutkan tiket ke Piala Dunia 2026 masih terjaga.
Optimisme tersebut kemudian menjalar menjadi kepercayaan diri dalam mengambil keputusan, yakni menurunkan skuat muda ke Piala AFF 2024.
Memang isu rencana menurunkan skuat muda ke Piala AFF 2024 atau yang sekarang rebranding menjadi Piala ASEAN (ASEAN Mitsubishi Electric Championship) ini sudah berembus sejak Timnas U19 Indonesia juara Piala AFF U19 2024.
Ada kepercayaan diri bahwa pemain muda kita punya potensi bagus untuk mendapat kepercayaan bermain di Piala AFF 2024 (senior). Apalagi, seperti yang kita tahu, Piala AFF tidak pernah digelar dalam kalender FIFA, maka rasanya sulit untuk memanggil pemain-pemain senior andalan klub BRI Liga 1. Kondisi mereka sama seperti pemain keturunan yang sudah mendapat tempat di klubnya masing-masing, minimal masuk daftar susunan pemain (DSP) tim utama.
Hingga kemudian, tim yang diturunkan adalah U22 karena dipersiapkan untuk menghadapi SEA Games 2025 Thailand. Keputusan ini cukup masuk akal karena berkorelasi dengan regulasi PSSI yang mewajibkan tiap klub Liga 1 memainkan pemain kategori U22 untuk bermain minimal 45 menit.
Imbas dari regulasi ini, kita bisa melihat nama-nama yang sebelumnya tak terlalu populer, karena mereka memang sudah tidak berada di kategori U19 namun juga lebih muda dari kategori U23 seperti yang menuntaskan Piala Asia U23 2024.
Achmad Maulana Syarif, Mikael Tata, dan Rivaldo Pakpahan menjadi yang lolos ke skuat resmi Timnas Indonesia di Piala AFF 2024. Mereka membaur dengan pemain-pemain yang pernah dipanggil Shin Tae yong di timnas U20, U23, maupun Indra Sjafri di timnas kelompok umur.
Tentu, ada positif dan negatifnya ketika pemain-pemain muda ini memperkuat Timnas Indonesia senior di Piala AFF 2024. Sisi positif yang pertama, regulasi U22 PSSI ada implementasinya ke timnas--senior pula.
Kedua, Indonesia melalui awalan lebih dulu dalam menyiapkan skuat untuk SEA Games 2025 Thailand. Ya, skuat U22 ini akan menjadi kerangka SEA Games 2025. Kemudian, Kualifikasi Piala Asia U23 2026, dan Asian Games 2026 Aichi-Nagoya Jepang.
Artinya, akan ada banyak turnamen yang perlu dihadapi tim U23. Maka, perlu juga untuk disiapkan sesegera mungkin jika memungkinkan.
Sisi positif ketiga adalah kesempatan pemain muda untuk membangun pengalaman internasional tanpa beban berlebih. Ya, jika mereka bermain di turnamen yang sesuai dengan kategori umurnya, maka ada tekanan alias target.
Sedangkan, jika mereka bermain di Piala AFF senior, maka tuntutannya tidak besar karena seyogyanya mereka dimaklumi oleh publik. Ya, publik, bukan federasi dan apalagi pelatih, karena mereka pasti lebih paham mengenai aspek psikologis pemain daripada publik yang terkadang terjebak dengan hasil; yang penting menang.
Sisi positif keempat yaitu referensi pemain untuk pelatih. Shin Tae yong dan pelatih pada umumnya cenderung akan menggunakan jasa pemain yang sudah memahami apa yang dibutuhkan pelatih.
Itu sudah normal, karena di dunia kerja pun yang diterima HRD/atasan juga mayoritas harus sesuai dengan yang dibutuhkan perusahaan atau tempat kerjanya. Prinsip ini seharusnya tidak sulit untuk dipahami.
Tetapi, dengan adanya 'trial' seperti yang dilakukan STY di Timnas Indonesia versi AFF 2024 ini, maka Shin Tae yong akan memiliki tambahan referensi terhadap pemain didikan lokal yang berpotensi untuk dipanggil di timnas senior versi Asia (termasuk Kualifikasi Piala Dunia). Sudah sewajarnya jika opsi/alternatif pemain yang dipanggil adalah pemain liga domestik, karena mereka secara administratif tinggal panggil tanpa perlu jalur naturalisasi.
Inilah mengapa, membawa tim U22 ke Piala AFF 2024 tetap ada bagusnya bagi proyek Timnas Indonesia ke depan, termasuk untuk Kualifikasi Piala Dunia 2026 yang masih menyisakan empat pertandingan lagi.
Bisa saja, Kadek Arel, Dony Tri Pamungkas, Cahya Supriadi, Achmad Maulana, hingga Victor Dethan dapat dipanggil Timnas Indonesia untuk kualifikasi tersebut. Meski, tentu saja, untuk peluang bermain akan kecil.
Setidaknya, mereka akan merasakan berlatih bersama pemain-pemain senior yang pengalamannya lebih tinggi. Seperti Maarten Paes, Thom Haye, Calvin Verdonk, Kevin Diks, Mees Hilgers, hingga yang paling populer saat ini yakni el Capitano Jay Idzes.
Tentu, ada juga sisi negatifnya. Yakni, susah juara. Poin FIFA berkurang karena susah menang walau hanya berkurang sedikit karena standarnya FIFA 'A' Match (maksimal 5 poin FIFA). Dan tentu saja, peringkat FIFA akan turun jika kalah dan poinnya berkurang.
Tetapi, sisi negatif tersebut tidak terlalu berpengaruh signifikan terhadap masa depan Timnas Indonesia. Justru, yang paling berpengaruh adalah sisi positifnya.
Bayangkan, jika pemain-pemain muda ini bisa terpanggil skuat timnas utama dan mendapat kepercayaan bermain. Lalu, ternyata bisa tampil bagus, maka ada potensi dilirik pencari bakat dari luar negeri. Sebab, berlaga di Kualifikasi Piala Dunia 2026, FIFA Matchday, maupun turnamen Asia, akan membuka potensi lebih besar untuk menarik perhatian pencari bakat dari luar negeri dengan skala Asia bahkan Eropa.
Ingat, Indonesia sudah memiliki beberapa pemain keturunan yang mendapat perhatian di Eropa. Seperti Mees Hilgers, Kevin Diks, dan yang paling keren saat ini yakni Jay Idzes. Disebut demikian, karena Jay Idzes bermain di Liga Serie A Italia. Kompetisi tertinggi kedua di Eropa (bahkan dunia) setelah Liga Inggris. Ya, hanya satu strip di bawah English Premier League.
Artinya, jika pemain muda Indonesia bermain bareng pemain-pemain tersebut maka mereka juga akan mendapat sorotan dari pencari bakat Eropa. Itu sudah pasti.
Karena itu, kenapa harus membuat gaduh Timnas Indonesia di Piala AFF 2024?
Bukankah sejak lama Timnas Indonesia dengan Piala AFF seperti Tom and Jerry? Tak pernah 'akur', bukan?
Lihat saja pada 1998. Ada skandal sepak bola gajah, padahal saat itu Indonesia memiliki peringkat FIFA terbaiknya sepanjang sejarah; 76. Kemudian, 2010 yang diisi komposisi terbaik karena menggabungkan pemain senior, usia matang, usia muda, pemain naturalisasi terbaiknya (Cristian Gonzales), dan pemain keturunan pertama di era modern yang berusaha membuktikan kontribusinya (Irfan Bachdim). Tapi, ujung-ujungnya runner-up.
Ini belum bicara ketika Indonesia memiliki deretan striker haus gol pada masanya. Tapi, ujung-ujungnya juga tidak bisa membawa pulang trofi 'chiki' ke tanah air.
Jadi, apabila dalam situasi terbaiknya saja Indonesia tak kunjung mampu mencapai klimaksnya--juara, kenapa harus memperdebatkan AFF ketika kondisinya tak ideal seperti pada edisi 2024 ini? Bukankah lebih baik mendukung mereka yang sedang berjuang di atas lapangan--tanpa mencari siapa yang salah dan yang benar? ***
(Ditulis penonton sepak bola yang tidak takut melihat tim favoritnya kalah)
Referensi:
STY OUT, Preview Indonesia vs Filipina, Poin FIFA, Target di Piala AFF 2024, Sepak Bola Gajah AFF 1998.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H