Setelah sekian lama dan jarang pula saya menulisnya, namun kali ini saya kembali menulis tentang bulutangkis. Memang, walaupun, cabang olahraga ini adalah wajahnya Indonesia, tetapi saya telanjur lebih dulu berkenalan dengan sepak bola sejak kecil sebelum televisi di rumah pernah dijual pada akhir 90-an.
Baru pada 2008 Ibu bisa membeli tv lagi. Dan, pada periode itulah, saya baru bisa betul-betul menonton bulutangkis selain tentunya sepak bola yang sebelumnya saya tonton di rumah orang lain pada sore hari dan paling malam selepas Magrib jika ada pertandingan Eropa.
Maka dari itu, ketika saya kembali menulis di Kompasiana pada awal tahun ini, hal yang saya pikirkan dan ingin saya tulis di sini adalah tentang sepak bola. Tetapi, kali ini saya ingin menulis tentang bulutangkis, dan terkhusus pada pasangan ganda campuran yang ternyata mampu melaju hingga ke semifinal All England Open 2023, yakni Rehan Naufal Kusharjanto dan Lisa Ayu Kusumawati.
Ya, semifinal All England yang merupakan turnamen Badminton World Federation dengan level Super 1000, yang artinya banyak pemain terbaik dunia tampil di sini.
Indonesia di sektor ganda campuran kini ada Rinov Rivaldy/Pitha Haningtyas Mentari yang punya ranking tertinggi di antara wakil Merah-Putih di All England, yakni peringkat 9. Namun, yang berhasil melaju ke semifinal adalah Rehan/Lisa yang berada di peringkat 13, dan menjalani debutnya pada turnamen tua edisi ke-115.
Bukan pula juara ganda campuran All England 2020 yang kini berperingkat 43, Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti. Walaupun, sebagai turnamen kedua beruntun dari kembalinya 'Honey Couple' di turnamen Eropa setelah German Open 2023, saya melihat Praveen/Melati ada potensi kembali meramaikan persaingan, setidaknya hingga semifinal di turnamen besar kelas Super 1000 dan Super 750.
Bahkan, bisa saja akan meraih juara lagi di turnamen Super 500 atau Super 300 yang biasanya tidak ada Zheng Siwei/Huang Yaqiong, yang merupakan duet maut asal China yang selayaknya Viktor Axelsen dari Denmark, namun versi ganda campuran.
Saya sebut demikian, karena tiap ada Zheng/Huang di suatu turnamen, maka juara sektor ganda campuran seolah-olah hampir pasti akan di tangan mereka. Sama seperti Axelsen, walaupun, di All England 2023 dia secara mengejutkan ditumbangkan tunggal putra Malaysia, Ng Tze Yong.
Fakta ganasnya Zheng/Huang ini melebihi wakil China lain, yang bisa dikatakan tidak ada yang betul-betul superior di sektornya masing-masing. Maka dari itu, ketika salah satu semifinal ganda campuran All England menyajikan laga Zheng/Huang vs Rehan/Lisa, saya sangat bersemangat menantikan laga tersebut.
Hasilnya, saya tidak kecewa meski Rehan/Lisa kalah. Bukan hanya karena saya sudah memprediksinya, seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, melainkan karena Rehan/Lisa memberikan perlawanan sengit kepada ganda campuran terbaik saat ini.
Pada gim pertama, Rehan/Lisa hanya kalah 17-21 dari Zheng/Huang, dan di gim kedua, mereka bahkan bisa menang dengan 21-13. Jauh lebih baik daripada skor gim pertama.
Barulah pada gim ketiga, Zheng/Huang mendapatkan momentum lagi, dan kini lebih baik dengan kemenangan 21-13 atas Rehan/Lisa.
Dari pertandingan ini, saya mendapatkan gambaran sekaligus pembuktian terkait prediksi saya usai laga perempat final Rehan/Lisa vs Kyohei Yamashita/Naru Shinoya (Jepang). Saya berpikir bahwa Rehan/Lisa sangat bagus dalam bertahan, dan itu menjadi salah satu faktor yang membuat mereka menang.
Kenapa?
Karena, ketika Rehan/Lisa berhasil membendung serangan, maka lawan akan mulai frustrasi dan hilang konsentrasi. Bukti nyatanya adalah ketika lawan menjadi terburu-buru dalam membuat keputusan terutama Naru Shinoya yang berusaha ingin segera mematikan kok ketika mendapatkan kok melayang di dekat net.
Hasilnya, beberapa poin yang didapatkan Rehan/Lisa karena kesalahan-kesalahan tersebut.
Ditambah, Yamashita bukanlah Zheng Siwei. Hal ini dapat dilihat dari permainannya yang masih kurang variatif. Contohnya, ketika ada kok naik, kecenderungannya selalu dipukul keras alias di-smash. Dan, ketika smash tersebut berhasil dikembalikan dengan baik terutama oleh Lisa, maka Yamashita mulai kehilangan cara.
Hal ini berbeda dengan Zheng dan telah dibuktikan di laga semifinal tersebut, bahwa tidak semua kok atas langsung di-smash Zheng. Bahkan, ketika dia mulai tahu bahwa Lisa adalah tembok mungil yang ternyata beton, maka dia dapat mengubah arah sasaran smash menuju Rehan yang cenderung lebih mudah ditembus.
Walaupun, ada ganjalan lainnya yang sepertinya sempat membuat Zheng terlihat mengubah pendekatan smash-nya ketika ingin berduel dengan Rehan, yakni tidak dengan smash lurus melainkan menyilang. Karena, pembacaan arah kok Rehan, ternyata juga kurang cepat dibanding Lisa.
Kenapa, Zheng melakukan itu?
Karena, Rehan ketika mampu menahan smash, arah kok pantulannya biasanya dibelokkan ke sudut-sudut yang masih kurang bisa ditebak Huang. Itulah mengapa, Zheng tidak lagi hanya melakukan smash lurus, melainkan pukulan jatuh ke area depan net agar koknya oleh Rehan dikembalikan secara tanggung dan diselesaikan oleh Huang.
Taktik ini bisa diimplementasikan ketika jam terbang pemainnya seperti Zheng/Huang. Mereka tidak hanya punya keterampilan bagus, namun juga pengalaman tinggi yang memungkinkan mereka untuk mengelola permainan lebih variatif.
Hal ini yang membuat Rehan/Lisa dapat menuai pembelajaran berharga. Mereka betul-betul beradu teknik dengan Zheng/Huang, dan soal keterampilan, saya pikir setelah Praveen/Melati, Rehan/Lisa-lah yang sepertinya akan menjadi pasangan Indonesia untuk bersaing di papan atas ganda campuran dunia ke depan.
Apakah berarti, Rehan/Lisa sudah ideal?
Sebetulnya, dalam kacamata penonton bulutangkis yang sedangkal saya dalam jam terbang menontonnya, saya merasa bahwa Rehan/Lisa adalah pasangan ideal saat ini setelah sekian lama mencari penerus Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir.
Menurut saya, level terbaik ganda campuran untuk Indonesia berdasarkan tontonan saya di televisi sejak 2008 adalah Owi/Butet. Butet menawarkan pertahanan yang kokoh dan pengatur serangan yang baik agar dapat diselesaikan oleh smash mematikan Owi.
Nah, itulah permasalahan pada Rehan/Lisa. Ketika Lisa sudah mulai membangun pondasi pertahanan yang kokoh dan pengembalian koknya yang dapat berpotensi menjadi kok tanggung kepada kubu Indonesia, sayangnya Rehan kurang cermat dalam menangkap momentum tersebut untuk diselesaikan dengan pukulan smash.
Kecenderungannya, Rehan seperti kurang percaya diri untuk mengeksekusinya dengan pukulan smash. Akibatnya, muncul permainan panjang dan lawan diberikan nafas untuk kembali mempertahankan laju kok. Padahal, sebelumnya mereka sudah dikocar-kacirkan pemosisiannya oleh Lisa.
Apakah ini faktor tinggi badan Rehan?
Saya sebetulnya berusaha menutup mata soal itu. Karena, sebetulnya Rehan terlihat mampu melakukan smash dengan baik.
Lagipula, jika tinggi badan Rehan kurang ideal, lalu bagaimana dengan Apriyani Rahayu dan Siti Fadia Silva Ramadhanti yang sama-sama bertinggi sekitar 160-an namun berduet di ganda putri? Bukankah, di semua sektor ganda pasti butuh penyerang alias tukang pukul smash?
Maka dari itu, saya tidak mempermasalahkan tinggi badan Rehan.
Selain itu, Rehan juga menawarkan apa yang menurut saya jarang dimiliki ganda campuran, yakni kesamaan kemampuan dalam bertahan dan mengutak-atik arah kok, sehingga membuat lawan kerepotan membaca arah koknya dari dua pemain yang bisa menjadi pengatur serangan balik.
Hal ini yang kurang saya lihat ketika menonton Praveen, Rinov, apalagi Dejan Ferdinansyah. Mereka kecenderungannya konservatif, alias fokusnya hanya bagaimana cara menyelesaikan permainan dengan smash sebagai penyerang.
Sedangkan, ketika tugas bertahan dan mengelola serangan balik gagal dijalankan dengan baik oleh pasangannya, maka mereka pun kedodoran dalam bertahan, karena fokus mereka terlihat seperti hanya satu, yakni menyerang.
Berbeda dengan Rehan, ia juga cukup dapat diandalkan dalam bertahan. Pengembalian bolanya pun cukup variatif, walaupun terkadang ia masih berusaha mencoba memberikan kok-kok 'mudah' kepada lawan meski sudah diketahui bahwa lawan unggul di posisi tersebut.
Seperti di laga semifinal kontra Zheng/Huang. Ketika Huang Yaqiong sudah diketahui mampu menyergap kok depan net dengan baik, Rehan masih saja memberikan kok depan net yang 70-80 persen dapat diselesaikan oleh Huang. Persentase yang sudah sangat besar bagi ganda campuran dunia saat ini.
Tetapi, sekali lagi, saya melihat bahwa soal bertahan dan mengelola permainan di sektor ganda campuran, Rehan adalah pemain putra yang dapat dikatakan lebih baik dibandingkan pemain putra Indonesia lainnya di sektor ini.
Hanya saja, ia kurang berani mengambil risiko untuk melakukan smash-smash yang mematikan lawan ketika kok sudah betul-betul seharusnya dapat dia selesaikan. Padahal, dia sebetulnya bisa melakukannya. Terbukti, ketika berada di poin-poin kritis, ia mampu melakukannya dan berbuah poin.
Inilah yang membuat saya terkadang ikutan berteriak seperti Lisa ketika Rehan akhirnya melakukan smash. Ya, walaupun Lisa hanya mengungkapkannya dengan jempol, saya mengimbuhkannya dengan kalimat, "Itu yang kutunggu dari tadi Mas Rehan!"
Saya pikir, mengenai kekurangan tersebut, masih bisa diperbaiki oleh Rehan. Dan, dengan kualitasnya dalam membaca permainan yang cukup baik, saya pikir ketika dia melakukan smash pun akan berbuah poin, alias tidak mubazir membuang tenaga.
Maka dari itu, Rehan hanya butuh sedikit keberanian untuk mengambil risiko di tengah pertandingan untuk melakukan smash terhadap kok yang tanggung, bukan di poin-poin kritis seperti yang ia tunjukkan di All England ini.
Tetapi, bagaimana seandainya Rehan tetap seperti itu?
Maka, seperti judul artikel opini saya ini, bahwa kesempurnaan itu susah dicari. Tiap ada kelebihan, pasti ada kekurangan. Pengalaman mungkin akan membantu seperti yang dimiliki Zheng/Huang.
Namun, yang ditakutkan dari menunggu terkumpulnya pengalaman untuk membentuk formula yang ideal adalah kemunculan pesaing-pesaing muda yang lebih bertenaga dan berani mengambil risiko untuk menyerang lebih dulu dibanding lawannya.
Di situlah letak kehebatan Zheng/Huang saat ini, yakni menyerang. Karena, kaca antipeluru pun ketika ditembaki secara konstan di titik yang sama, dia akan pecah juga.
Sama halnya dengan pertahanan kokoh Lisa dan Rehan. Ketika mereka mampu bertahan dengan baik, namun terus digempur oleh lawan, terutama oleh lawan yang tidak patah semangat dan cerdas, maka mereka pun akan bobol juga.
Maka dari itu, bila target dari Rehan/Lisa adalah juara di kesempatan selanjutnya, maka  misi mereka pasca-All England 2023 adalah meningkatkan kemampuan menyerangnya. Sekarang, dengan kualitas bertahannya yang bagus, mereka dapat menyingkirkan pesaing-pesaing yang belum mencapai level resistensinya Zheng/Huang.
Namun, selanjutnya, ketika mereka harus mulai sering bertemu dengan Zheng/Huang atau yang mendekati level resistensi keduanya, maka mereka harus dapat mengambil inisiatif menyerang.
Lagipula, kita sama-sama tahu bahwa Zheng/Huang dapat ditaklukkan ketika mereka dipaksa bertahan seperti pada gim kedua semifinal tersebut. Jadi, saya yakin Rehan/Lisa punya potensi untuk menyaingi level Zheng/Huang dan mempersulit langkah mereka untuk selalu menjejakkan kaki di podium tertinggi di tiap turnamen ke depan.
Tetapi, bagaimana jika gaya bermain Rehan/Lisa tetap seperti yang ada di All England 2023?
Maka, saya pikir memang itulah Rehan/Lisa. Suatu pemandangan yang nyaris sempurna, meski akan selalu bikin geregetan bagi penonton seperti saya yang sudah termakan adrenalin tinggi akibat mendengar teriakan emosional dan pontang-pantingnya Lisa.
Meski demikian, saya tetap mendukung mereka dan para atlet bulutangkis Indonesia lainnya yang selalu berjuang menjadikan Indonesia konsisten diperhitungkan di arena bulutangkis dunia.
Tetap semangat! Dan, terima kasih atas perjuangan kalian!
Malang, 18-19 Maret 2023
Deddy HS.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H