Selama ini, saya berpikir kalau sepak bola Indonesia mirip sepak bola di Inggris. Bukan soal prestasinya, melainkan segala fenomena menyedihkannya.
Salah satunya adalah fenomena suporter rusuh yang mirip dengan zaman 'jahiliyah' suporter Inggris sebelum terkena sanksi oleh UEFA akibat kerusuhan di laga Liverpool kontra Juventus. Suporter Indonesia pun menirunya.
Walaupun kemudian, sekarang "parameter" kerusuhan suporter Indonesia mirip dengan suporter Italia. Suporter Italia gampang mengamuk, rasis, dan suka menyalakan flare saat pertandingan berlangsung.
Untuk poin rasis, suporter Indonesia menurut pengamatan sekilas saya, sekarang sudah bisa dikatakan tidak ada. Namun, untuk dua poin lainnya, masih ada.
Baca juga: Menelusuri Penyebab Kerusuhan Suporter di Indonesia
Meski begitu, saya masih lebih suka menyamakan Indonesia dengan Inggris. Kenapa?
Sepak bola Inggris masih cenderung kurang ramah dengan pelatih dan pemain lokal. Lihat saja, klub-klub Inggris yang berprestasi di kancah Eropa dan domestiknya, kekuatan intinya ada di pelatih dan pemain asing.
Untuk poin ini, mungkin di lain waktu akan saya uraikan secara khusus. Karena, saat ini, saya ingin mengajak pembaca untuk melihat fenomena unik yang kebetulan sangat segar di mata penggemar sepak bola Indonesia.
Fenomena itu adalah kesamaan Liga 1 dengan EPL--yang sebenarnya bak bumi dan langit ini--lewat tren pergantian pelatih di tengah musim. Dengan catatan menarik, bahwa kedua liga ini sama-sama sudah melewati 10 pekan pertama.
Kebetulan, Liga 1 untuk pertama kalinya sejak 2010, tergelar di tengah tahun, mirip dengan musim kompetisi di Eropa. Maka, tidak heran kalau melihat pekan pertandingan di Liga 1 sudah mencapai 14 pertandingan, sedangkan EPL sudah mengarungi 13 pekan pertandingan--saat tulisan ini dibuat.
Meskipun, kompetisi belum menyentuh separuh musim, kedua liga ini sudah mengalami banyak pergantian pelatih. Kalau di EPL, mereka biasanya disebut manajer, karena pelatihnya juga punya andil menentukan sirkulasi pemain--di bursa transfer--yang keluar dan masuk ke tim.
Pada musim ini, EPL tercatat sudah memakan korban enam manajer. Artinya, ada enam klub yang sudah gerah dengan kinerja manajernya masing-masing.
Mereka adalah Watford, Newcastle United, Tottenham Hotspur, Norwich City, Aston Villa, dan Man United. Secara berurutan, mereka memecat manajernya berdasarkan keterpurukan klub di awal musim maupun menjelang paruh musim.
Watford memecat Xisco Munoz (Spanyol) pada 3 Oktober. Posisinya digantikan oleh Claudio Ranieri (Italia) pada 5 Oktober.
Newcastle United memecat Steve Bruce (Inggris) pada 20 Oktober, setelah klub yang baru saja diakuisisi pengusaha kaya asal Arab Saudi masih terjerembab di jurang degradasi.
Tidak lucu dong, kalau klub kaya baru harus terdegradasi!
Spurs menyusul untuk mendepak Nuno Santo pada hari pertama bulan November. Sungguh 'November (sad) Rain' bagi Nuno.
Norwich City juga tidak mau berlama-lama dengan upaya membuat perubahan lewat pergantian manajer. Daniel Farke (Jerman) dipecat pada 6 November, bahkan setelah Tim Krul dkk menang untuk pertama kalinya di musim ini.
Kemudian, Aston Villa yang musim lalu sempat membuat Emiliano Martinez besar kepala pasca pergi dari Arsenal, harus memecat Dean Smith (Inggris) pada 7 November. Pergantian ini sepertinya dirayakan orang Inggris, karena manajer barunya juga orang Inggris, Steven Gerrard.
Terlihat keren, ya!
Kabar pemecatan paling panas tentu adalah Ole Gunnar Solskjaer yang diberhentikan lajunya sebagai manajer di Old Trafford. Perjalanan Solskjaer sebagai manajer The Red Devils resmi usai pada 21 November, setelah Man. United dihancurkan 4-1 oleh Watford.
Baca juga: Mengenal Taktik Ralf Rangnick (Lamhot Situmorang)
Uniknya, fenomena di EPL juga terjadi di Liga 1. Bahkan, bisa saja dikatakan lebih kejam dari EPL.
Sementara ini, sudah tercatat ada tujuh pelatih yang harus angkat kaki dari klub-klub yang bahkan mulai susah bersaing di Asia--dengan masih merindukan Persipura yang dulu kompetitif di sana. Di antara mereka ada tiga pelatih lokal yang harus menjadi korban.
Sedikit lebih menyenangkan, tetapi kalau dilihat secara luas, dari 18 klub Liga 1, delapan klub dilatih orang Indonesia. Artinya, memang secara kuantitas pelatih asing akan lebih mudah untuk dipecat.
Bayaran yang lebih tinggi dan harapan kualitas kepelatihannya lebih tinggi, maka tuntutan klub juga tinggi. Maka, tidak mengherankan kalau pelatih-pelatih asing rawan dipecat.
Hanya saja, penggantinya juga biasanya pelatih asing. Seperti Borneo FC yang ditinggal cepat oleh Mario Gomez (Argentina) sejak 16 September.
Penggantinya juga pelatih asing, yaitu Risto Vidakovic, asal Bosnia-Herzegovina. Tim manajemen menunjuknya pada 3 Oktober, setelah sempat dilatih sementara oleh Ahmad Amiruddin (Indonesia).
Saat Borneo FC mendapatkan pelatih baru, Persik malah berpisah dengan pelatihnya, Joko Susilo. Peran pelatih kemudian diemban Alfiat sebagai caretaker sampai pada 11 November, Persik menunjuk Javier Roca.
Mantan pesepak bola di liga Indonesia itu merupakan orang Chile. Lisensinya pun diperoleh dari negaranya dan dikabarkan menjadi salah seorang pelatih muda yang berbakat di negaranya. Mari kita lihat!
Kemudian, pelatih lokal lain juga lengser di Persiraja pada 27 Oktober. Hendro Susilo harus mengikuti jejak nelangsa sesama nama Susilo.
Uniknya sampai sekarang, klub Banda Aceh itu masih bersama caretaker, Akhyar Ilyas. Laskar Rencong itu pun masih berada di dasar klasemen.
Pada pekan pertama November, tepatnya tanggal 8, Madura United yang "mendapat giliran" untuk mendepak pelatihnya, Rahmad Darmawan. Penggantinya adalah pelatih Brasil, Fabio Lefundes.
Cukup lama hari-hari di bulan November tanpa berita pemecatan pelatih. Sampai pada 23 November, Igor Kriushenko (Belarusia) tidak lagi melatih Tira Persikabo atau Persikabo 1973.
Kursi kepelatihan kemudian diduduki oleh Liestiadi Sinaga. Pelatih lokal yang pernah menjadi pemimpin Ian Kabes dkk di Mutiara Hitam.
Hanya berselang dua hari, PSM memecat Milomir Seslija. Pelatih asal Bosnia-Herzegovina itu saat ini digantikan oleh Syamsuddin Batola (Indonesia) sebagai caretaker.
Nasib buruk kemudian menimpa Jacksen F. Tiago, dia diberhentikan sebagai pelatih di klub yang sangat identik dengannya, yaitu Persipura. Tim manajemen Persipura sudah tidak bisa bersabar dengan situasi klub yang masih di zona degradasi.
Ditambah, Persipura harus dikalahkan oleh Borneo FC yang kini diperkuat mantan kapten Timnas Indonesia, Boaz Solossa. Kursi panas kemudian diduduki oleh Angel Alfredo Vera, asal Argentina.
Faktor pengalaman tinggi dan CV mentereng di Indonesia membuat Jacksen segera menjadi pelatih, meski harus di Liga 2. Persis menjadi labuhan barunya pada 27 November.
Perpisahan Jacksen dengan Persipura dalam kalender musim kompetisi bisa dicatat sebagai yang ketujuh dari drama pemecatan pelatih di Liga 1. Tetapi, kalau ditarik ke sebelum kompetisi dimulai, ada pelatih lain yang lebih dulu angkat kaki.
Dia adalah Dragan Djukanovic. Pelatih asal Serbia itu memilih pergi dari PSIS pada 10 Agustus. Kemungkinan, ada efek dari kekhawatiran jika kompetisi kembali ditunda, maka lebih baik bekerja di kompetisi yang jelas akan berlangsung.
Artinya, Liga 1 musim ini dengan masih berada di pekan laga ke-14, sudah "menumbalkan" delapan pelatih. Angka yang sangat besar untuk kompetisi yang seharusnya masih ramah dibandingkan kompetisi elit di Eropa.
Faktor nilai kompetisi Liga 1 yang masih belum sepenuhnya bisa tembus ke Liga Champions Asia adalah salah satu tolok-ukurnya. Juara Liga 1 musim ini saja masih hanya bisa berkompetisi di Piala AFC.
Kemudian, Liga 1 masih bisa diintervensi oleh hal-hal non-teknis, seperti pemilu dan bulan Ramadan. Untuk pemilu, ini sudah berkali-kali dan banyak orang memprotes kompetisi yang mengalah dari ajang politik praktis tersebut.
Tentu, bukan saat hari H, melainkan saat masa kampanye politik terjadi. Biasanya, ada saja pertandingan ditunda karena kekhawatiran terjadinya situasi yang tidak diinginkan jika pertandingan tetap berlangsung.
Padahal, semua negara (hampir) pasti ada pemilu. Termasuk Inggris dengan pemilihan anggota parlemen. Tetapi, apakah EPL harus libur?
Kalau untuk jeda Ramadan dan Hari Raya, sebenarnya saya sepakat. Tetapi, cukup dengan jeda sepekan awal Ramadan dan sepekan akhir Ramadan yang dilewati pula dengan Idul Fitri.
Kalau Ramadan ada 4 pekan, maka dua pekan di tengahnya masih bisa digunakan untuk berkompetisi. Tentu saja, pertandingannya harus digelar pasca tarawih, alias pukul 20.00 waktu setempat.
Itu sudah terbukti bisa dilakukan di musim ini yang rata-rata pertandingan besarnya (big match) digelar pukul 20.20 WIB. Jika belum Ramadan saja bisa bermain malam, kenapa saat Ramadan nanti tidak?
Selain itu, stadion kita sudah lebih modern dibanding dulu yang pencahayaannya masih seperti "warkop angkringan". Maka, sekarang kalau melangsungkan pertandingan di malam hari sudah sangat memungkinkan.
Tentu dengan catatan, bahwa pertandingan tidak molor, saat akan dimulai maupun saat pertandingan masih berlangsung. Jangan sampai kejadian laga berusia 100 menit lebih terjadi saat sistem kompetisinya sedang seperti ini.
Kalau Hari Idul Fitri, jelas harus libur. Tetapi, liburnya juga tidak harus sampai lebih dari sepekan.
Karena, Indonesia ini makanan "jahatnya" sangat banyak. Maka, jangan sampai pemain-pemain kita diberikan waktu panjang untuk menikmati makanan-makanan "jahat" itu.
Nanti saja kalau sudah pensiun. Silakan berwisata kuliner sesuka lidah.
Dari faktor nilai kompetisi dan faktor inferioritas sepak bola kita dibanding kepentingan lain, saya berharap sepak bola kita tidak meniru kompetisi elit yang seolah-olah sangat kompetitif dengan cara menekan pelatihnya ke target yang tidak realistis.
Kalaupun ingin meniru, menirulah yang segi positif. Seperti regulasi yang jelas, jadwal yang tidak bisa dinegosiasi oleh kepentingan lain, hingga memastikan figur-figur yang tepat sebagai wasit dan perangkat pertandingannya jika teknologi belum ada.
Memang, itu adalah tanggung jawab federasi dan operator liga. Tetapi, kalau kompetisinya masih belum berkembang dan 'belum ke mana-mana', kenapa klub-klub kita seolah-olah sangat berambisi untuk meraih hasil terbaik hingga menggonta-ganti pelatih?
Apa benar, faktor pelatih yang sepenuhnya memengaruhi hasil pertandingan dan nasib klub?
Jangan-jangan, mereka adalah korban dari kerabunan kita tentang fakta di dalam dan luar dari klub tersebut. Dan, kita sudah telanjur terbawa euforia tentang tren pergantian pelatih sebagai solusi yang tepat untuk meraih hasil "memuaskan".
Sungguh menyedihkan.
Malang, 27-30 November 2021
Deddy Husein S.
***
Tersemat: Wikipedia.org, Okezone.com, Goal.com, Antaranews.com 1, BBC.com, Antaranews.com 2, CNNIndonesia.com, Aissekiya.com.
Terkait: Bola.com 1, Bola.com 2, Bola.net 1, Kompas.com 1, PSMmakassar.co.id, Kompas.com 2, Kompas.com 3, Tribunnews.com, Kompas.com 4, Kompas.com 5, Kompas.com 6, Republik.bobotoh.com, Goal.com, Detik.com, Bola.net 2, Bola.net 3, Kompas.com 7, CNNIndonesia.com.
Baca juga: Menantikan Romantisme Jacksen F Tiago dan Persipura
---
Kabar terbaru: Iwan Setiawan Lengser dari Kursi Pelatih di Persela
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H