Itu sudah terbukti bisa dilakukan di musim ini yang rata-rata pertandingan besarnya (big match) digelar pukul 20.20 WIB. Jika belum Ramadan saja bisa bermain malam, kenapa saat Ramadan nanti tidak?
Selain itu, stadion kita sudah lebih modern dibanding dulu yang pencahayaannya masih seperti "warkop angkringan". Maka, sekarang kalau melangsungkan pertandingan di malam hari sudah sangat memungkinkan.
Tentu dengan catatan, bahwa pertandingan tidak molor, saat akan dimulai maupun saat pertandingan masih berlangsung. Jangan sampai kejadian laga berusia 100 menit lebih terjadi saat sistem kompetisinya sedang seperti ini.
Kalau Hari Idul Fitri, jelas harus libur. Tetapi, liburnya juga tidak harus sampai lebih dari sepekan.
Karena, Indonesia ini makanan "jahatnya" sangat banyak. Maka, jangan sampai pemain-pemain kita diberikan waktu panjang untuk menikmati makanan-makanan "jahat" itu.
Nanti saja kalau sudah pensiun. Silakan berwisata kuliner sesuka lidah.
Dari faktor nilai kompetisi dan faktor inferioritas sepak bola kita dibanding kepentingan lain, saya berharap sepak bola kita tidak meniru kompetisi elit yang seolah-olah sangat kompetitif dengan cara menekan pelatihnya ke target yang tidak realistis.
Kalaupun ingin meniru, menirulah yang segi positif. Seperti regulasi yang jelas, jadwal yang tidak bisa dinegosiasi oleh kepentingan lain, hingga memastikan figur-figur yang tepat sebagai wasit dan perangkat pertandingannya jika teknologi belum ada.
Memang, itu adalah tanggung jawab federasi dan operator liga. Tetapi, kalau kompetisinya masih belum berkembang dan 'belum ke mana-mana', kenapa klub-klub kita seolah-olah sangat berambisi untuk meraih hasil terbaik hingga menggonta-ganti pelatih?
Apa benar, faktor pelatih yang sepenuhnya memengaruhi hasil pertandingan dan nasib klub?
Jangan-jangan, mereka adalah korban dari kerabunan kita tentang fakta di dalam dan luar dari klub tersebut. Dan, kita sudah telanjur terbawa euforia tentang tren pergantian pelatih sebagai solusi yang tepat untuk meraih hasil "memuaskan".