Leluconnya laki-laki dengan perempuan juga bisa saja berbeda polanya. Yang kemudian, itu membuat daya tangkap pembaca antara laki-laki dan perempuan perlu terakomodasi dengan tepat.
Maka dari itu, pengetahuan-pengetahuan yang berseliweran di media digital, termasuk yang berbentuk opini juga perlu disuguhkan oleh laki-laki dan perempuan.
Dengan begitu, pembaca bisa menemukan pilihan yang lebih banyak. Dari yang awalnya hanya berpangku pada laki-laki yang (berusaha) serba tahu, kini bisa menengok bagaimana pemikiran-pemikiran dari perempuan terkait hal-hal yang sebenarnya memang lebih pas jika dikuliti oleh perempuan.
Lalu, apakah para perempuan kompasianer harus mampu menyaingi kuantitas laki-laki kompasianer?
Menurut saya, bukan soal kuantitas yang perlu dikejar, melainkan daya tahan produktivitasnya. Laki-laki kompasianer bisa terlihat dominan secara kuantitas rata-rata karena daya tahan produktivitasnya.
Mereka bahkan ada yang mendedikasikan waktunya secara profesional untuk ngeblog, termasuk di Kompasiana.
Bagaimana dengan perempuan? Inilah yang menjadi pertanyaan untuk perempuan kompasianer maupun kreator konten tekstual secara umum.
Harapannya, para perempuan terutama yang menjadi kompasianer, mereka bisa konsisten untuk eksis dan kemudian berkembang. Harapan yang sebenarnya untuk semua orang, tanpa pandang jenis kelaminnya, termasuk untuk saya sendiri.
Jadi, selamat buat para perempuan kompasianer di Kompasiana Awards tahun ini--tanpa peduli apakah di antara mereka menang atau tidak. Terima kasih banyak atas keberadaan tulisan-tulisan hebatnya.
Malang, 27 November 2021
Deddy Husein S.