Saat itu, saya masih bisa aman walau sebenarnya masih sangat berbahaya. Sebagai pengendara sepeda di malam hari dan tanpa kacamata, permasalahannya bukan tentang kendaraan yang berjalan, melainkan kendaraan yang parkir di bahu jalan.
Biasanya, di beberapa trotoar ada gerobak-gerobak makanan maupun warung makan. Di situ terkadang tidak sedikit kendaraan yang parkir, termasuk mobil yang apalagi berwarna hitam.
Ditambah pula dengan pencahayaan kurang, akibat adanya pohon-pohon yang juga eksis di sekitar trotoar, yang terkadang menutupi cahaya lampu. Lengkap sudah tantangannya.
Faktor keselamatan saya lebih dikarenakan kecepatan sepeda yang tidak mungkin menyentuh 20 km/jam. Menyentuh 5 km/jam saja belum tentu.
Selain itu, kota asal saya tidak seramai Malang kalau malam hari. Dan tentu saja, saya cenderung sudah sangat hafal dengan situasi di jalan di sekitar tempat tinggal saya dibanding di Malang.
Di Malang, saya tidak pernah tahu jalan mana yang biasanya ada gundukan pasir dan bahan material yang seringkali "parkir" di bahu jalan. Lalu, jalan mana pula yang biasanya ada mobil berwarna gelap yang hobi parkir di bahu jalan kala malam hari.
Dengan pengalaman beruji nyali itu, saya sempat berpikir bahwa berkendara tanpa kacamata sebenarnya lebih menyenangkan. Penglihatan memang tidak seterang biasanya, tetapi mata tidak mengalami silau dan bisa lebih fokus serta berhati-hati dengan situasi di jalan.
Selain itu, saya juga berandai-andai, bahwa berkendara tanpa berkacamata ketika hujan pasti akan lebih aman dibanding berkacamata. Karena, orang yang sudah menggunakan kacamata cenderung kehilangan kepercayaan diri jika melihat pemandangan yang kurang jelas.
Contohnya, saya sudah terlanjur terbiasa menggunakan helm tanpa mengatupkan kaca helm yang memang kacanya tidak jernih. Kebiasaan itu juga berlaku saat hujan.
Itu membuat air hujan cenderung memenuhi kacamata dan tentu sebenarnya sangat mengganggu penglihatan. Namun, faktor ketergantungan dengan penglihatan yang lebih jelas, membuat saya seperti itu.