Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Hunian Vertikal, antara Pengaruh Drakor dan Kenyataan Hidup

30 Oktober 2021   17:33 Diperbarui: 31 Oktober 2021   18:00 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu drakor tentang hunian vertikal, Penthouse (2020) | Photo by: SBS doc via Hancinema

Dewasa ini, menonton serial Korea, atau yang akrab disebut Drama Korea (drakor) seperti menjadi kebiasaan populer. 

Tidak hanya kaum perempuan yang suka menonton drakor, kaum laki-laki juga ada yang suka menonton drakor, minimal saya salah satunya.

Tentu, istilah drakor yang saya maksud kali ini adalah serial Korea. Artinya, di dalam serial tersebut ada beberapa aliran (genre). Seperti action, thriller, mystery, hingga yang paling populer di kalangan pecinta drakor adalah drama, romance, dan comedy.

Tentu saja, tiga genre terakhir bukan pilihan saya. Namun, ini hanya soal selera, bukan tentang kualitas. Lagipula, sesekali saya juga pernah menonton drakor yang bergenre seperti itu untuk menambah wawasan saya terkait hal-hal yang berbau romantis, melankolis, dan jenaka.

Meski saya cenderung memilih genre yang kurang menghebohkan lini masa dan kurang menghiasi trending topic di media sosial, nyatanya apa yang saya tonton juga biasanya masih punya unsur sama dengan yang ada di genre populer, yaitu keberadaan hunian vertikal.

Hunian vertikal ini identik dengan apartemen. Atau, yang paling merakyat di Indonesia adalah rumah susun (rusun). Kemudian, kita juga sudah akrab dengan asrama pelajar dan asrama mahasiswa yang juga bisa disebut sebagai rumah susun mahasiswa (rusunawa).

Sebenarnya, tontonan yang di dalamnya ada unsur gaya hidup, salah satunya dengan keberadaan hunian vertikal, tidak hanya ada di drakor. Film Hollywood pun ada, misalnya, "The Social Network" (2010). 

Di film itu, kita bisa melihat kehidupan mahasiswa yang tinggal di asrama mahasiswa. Ini bisalah disebut sebagai hunian vertikal walau masih bergaya klasik. Atau, kalau mau melihat versi hunian vertikal modern, ada di "The Amazing Spider-Man" (2012).

Di Bollywood juga terkadang ada, walaupun konsepnya ada dua. Model rusun dengan dua-tiga lantai untuk menggambarkan kehidupan tokoh yang hidup pas-pasan dan cenderung kurang mampu. 

Lalu, model apartemen untuk menggambarkan kehidupan tokoh yang kaya. Di sini ada film "My Name is Khan" (2010) yang bisa menjadi salah satu contohnya, terutama saat si Khan masih kecil.

Tetapi, karena saat ini yang sedang populer adalah drakor, maka saya mencoba mengulas pembahasan hunian vertikal lewat pengaruh drakor. Ini memang sudah bukan topik baru, tetapi saya pikir, ini juga saya alami ketika pernah berada di fase sering menonton drakor dan selalu menemukan adanya unsur gaya hidup lewat hunian dari para tokohnya.

Sebenarnya, apa yang terjadi di dalam drakor juga biasanya menyesuaikan keadaan di Korea Selatan, atau minimal mudah dinalar oleh penontonnya. 

Saya ambil contoh dengan "Full House" (2004). Drakor ini bisa masuk akal, karena saat itu mungkin harga properti masih tidak semahal sekarang.

Saat itu pun, jumlah penduduk Korsel tentu masih lebih sedikit dibandingkan sekarang. Artinya, luas lahan yang tersedia di sana masih memungkinkan bagi seorang pemuda kaya untuk mempunyai rumah tapak sendiri.

Kalau sekarang, keadaan seperti itu secara logika awam sudah sulit terjadi. Jangankan pemuda lajang bisa membeli rumah tapak sendiri, orang-orang yang sudah berumah tangga di Korsel kemungkinan masih kesulitan mempunyai rumah tapak sendiri.

Itu bisa dicontohkan dengan film "Sinkhole" (2021) yang menunjukkan betapa sulitnya mempunyai rumah, sekalipun itu adalah hunian vertikal alias apartemen. Jika merujuk pada obrolan di film tersebut, harga pasaran rumah (apartemen) berkisar 200 juta won.

Angka itu tanpa dikurskan ke nilai rupiah saja sudah sangat tinggi. Misalnya, kalau apartemen di Indonesia berkisar 200 juta rupiah, maka itu sudah sangat mahal--walaupun ada yang lebih mahal.

Baca juga: Investasi Apartemen, Apakah Benar Menguntungkan? (Melisa Emeraldina)

Bagi kaum yang gaji bulanannya 2-3,5 juta rupiah (UMR/UMP), jika tiap bulan menyisihkan 1 juta rupiah untuk menebus angsuran apartemennya, maka dia harus bekerja selama 16 tahun 8 bulan, baru lunas. Itu pun kalau hidupnya sepanjang itu.

Ini masih hunian vertikal, belum yang hunian tapak. Berapa ratus juta lagi untuk menebusnya?

Entah bagus atau tidak, faktor zaman dan pengaruh tontonan bisa membuat hunian vertikal lebih diidamkan, terutama bagi kaum milenial. Ini didukung oleh fakta tentang harga yang biasanya masih bisa lebih murah, apalagi kalau sistemnya sewa, bukan beli langsung.

O ya, menyinggung tentang kaum milenial, yang saya maksud di sini adalah kaum generasi Y--yang tepat disebut milenial. 

Mereka adalah generasi yang lahir di kisaran 1980-1995. Kalau dihitung di tahun 2021, mereka saat ini berusia di antara 26-41 tahun.

Makanya di usia segitu, mereka sudah pasti pusing memikirkan tempat hunian. Sampai kemudian, yang paling masuk akal dan masuk ke standar ketebalan dompet adalah hunian vertikal.

Hunian vertikal menjadi 'atap' terbaik, karena tidak harus membeli. Hunian vertikal bisa disewa dengan harga yang lebih masuk akal bagi kantung mereka yang belum tentu sudah rutin menebal tiap bulan.

Alasannya sederhana, kaum milenial juga cukup identik dengan pekerjaan yang tidak tetap. Misalnya, bulan ini menjadi bartender, tiga bulan selanjutnya menjadi asisten fotografer di sebuah studio milik teman, tiga bulan selanjutnya jadi kasir rumah makan cepat saji. Sangat tidak stabil.

Belum lagi dengan tren dewasa ini, yang menggoda kaum milenial untuk menjadi freelancer. Terkadang, jika dilihat dari luar seperti profesi yang menyenangkan, karena waktu bekerjanya fleksibel.

Kenyataannya, waktu bekerja yang fleksibel itu juga cukup seirama dengan volume dompet yang tak kalah fleksibel. Ironis, kan?

Selain itu, kaum milenial juga ternyata suka menonton drakor. Kalau berdasarkan pengalaman saya, saat masa kecil hingga remaja (2000-an sampai 2010-an), sudah banyak orang menggandrungi drakor, yang saat itu tayang tiap sore hari.

Kemudian, yang paling membekas saat menonton drakor adalah melihat para tokoh banyak yang tinggal di apartemen. Kalau waktu saya kecil, salah satu drakor yang memperlihatkan hunian vertikal adalah "My Sassy Girl" (2001).

Kalau sekarang, salah satu drakor yang sangat lekat dengan hunian vertikal adalah "My Secret Terrius" (2018). Hampir sepanjang 32 episode yang ada, kita disuguhkan dengan adegan di apartemen, baik yang bagian dalam apartemen maupun bagian luarnya.

Pada bagian dalam, tentu kita akan mengetahui kehidupan dua tokoh utama yang kebetulan tinggal di tower yang sama, dan di lantai yang sama. Bedanya, yang satu adalah single parent, yang satunya single fighter--alias jomlo yang masih belum move on.

Dua tokoh utama dalam My Secret Terrius. Photo by: MBC/via Layar.id
Dua tokoh utama dalam My Secret Terrius. Photo by: MBC/via Layar.id

Drakor ini bisa dikatakan underrated jika dibandingkan dengan "Penthouse" (2020). Namun, saya pikir, drakor ini mampu membawa kita sedikit paham tentang bagaimana kehidupan di apartemen.

Banyak orang boleh mengatakan, bahwa kehidupan di apartemen lebih "dingin" daripada kehidupan di pemukiman biasa. Meski begitu, lewat drakor ini--sekalipun fiksi, kita bisa tahu cara untuk tetap menjalin interaksi kuat dengan sesama penghuni apartemen.

Caranya, tentu dengan memanfaatkan gawai dan grup obrolan (chatting group). Dari situ, para penghuninya bisa saling bertukar informasi, terutama terkait dengan apa yang terjadi di sekitar apartemen tersebut.

Salah satu drakor tentang hunian vertikal, Penthouse (2020) | Photo by: SBS doc via Hancinema
Salah satu drakor tentang hunian vertikal, Penthouse (2020) | Photo by: SBS doc via Hancinema

Lalu, saya juga melihat bahwa apartemen memang bisa menjadi tempat yang tepat bagi makhluk soliter dan lajang. Biasanya, mereka hanya fokus mengisi kegiatan hariannya dengan bekerja dan tidur.

Mereka tidak perlu banyak berbasa-basi dengan orang lain, apalagi dengan orang-orang yang mudah kepo dan mudah bergosip. Buang waktu! Hehehe.

Dari sinilah, saya berpikir bahwa kehidupan di Korea Selatan kemungkinan besar juga seperti itu. Ada makhluk soliter yang tinggal di apartemen, maupun makhluk-makhluk komunal yang nyatanya tetap bisa membaur di apartemen walaupun harus dengan cara yang kekinian.

Lalu, bagaimana dengan di Indonesia? Apakah tontonan ini bisa relate?

Menurut saya, tontonan ini masih relate. Bedanya hanya di ruang lingkup. Kalau orang Indonesia, terutama yang lajang dan apalagi uangnya pas-pasan, hidup secara indekos, alias menjadi 'anak kos' sudah mirip dengan kehidupan di apartemen.

Walaupun masih bisa berinteraksi lebih banyak dengan sesama penghuni kos, nyatanya orang-orang yang ngekos juga bisa saja ada yang merupakan makhluk soliter. Makhluk yang lebih nyaman menutup pintunya sepanjang hari, dibandingkan membuka pintu untuk menunjukkan eksistensinya.

Kemudian, untuk menggambarkan bagaimana keguyupan antarwarga dalam suatu pemukiman, dewasa ini, masyarakat di Indonesia juga sudah akrab dengan pembentukan grup obrolan yang berisi penghuni suatu pemukiman. Misalnya, grup obrolan 'Kampung Sini Suka-Suka RT 007/RW 001'.

Di situ nanti isinya bisa Ketua RT beserta kepala keluarga, atau Ibu RT dengan ibu-ibu rumah tangga se-RT tersebut. Fungsinya pun mirip dengan yang terjadi di serial yang juga bernama "Terrius Behind Me" itu, bahwa segala informasi yang sifatnya segera atau darurat, bisa langsung dibagikan lewat grup tersebut--sebelum ada agenda pertemuan langsung.

Ilustrasi emak komplek yang gemar kasih update di grup chat. Photo by: Pexels/Anna Shvets
Ilustrasi emak komplek yang gemar kasih update di grup chat. Photo by: Pexels/Anna Shvets

Artinya, apa yang terjadi di drakor bisa saja sesuai dengan kenyataan hidup. Entah banyak atau sedikit, itu tergantung bagaimana kita menontonnya dan bagaimana kita mengenali kehidupan di sekitar kita.

Lalu, apakah menonton drakor bisa membuat kita menjadi terobsesi untuk tinggal di apartemen?

Menurut saya, itu bisa saja terjadi. Tetapi, setiap orang yang menonton drakor sebaiknya juga memahami perjalanan hidupnya masing-masing tanpa harus membandingkan dengan apa yang terjadi di drakor.

Lagipula, hidup ngekos saja sudah penuh drama, apalagi hidup ngapartemen. Pintu kamar diketuk pemilik kos saja sudah keder, apalagi kalau pagi-pagi sudah ditelepon pemilik apartemen. Buyar!

Malang, 30 Oktober 2021
Deddy Husein S.

Tersemat: Kompasiana.com dan Kompas.com.
Terkait: Kompas.com 1, 2, 3, 4, Popmama.com.
Baca juga: Gerakan di Media Sosial Bagus, tapi...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun