Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Hunian Vertikal, antara Pengaruh Drakor dan Kenyataan Hidup

30 Oktober 2021   17:33 Diperbarui: 31 Oktober 2021   18:00 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tetapi, karena saat ini yang sedang populer adalah drakor, maka saya mencoba mengulas pembahasan hunian vertikal lewat pengaruh drakor. Ini memang sudah bukan topik baru, tetapi saya pikir, ini juga saya alami ketika pernah berada di fase sering menonton drakor dan selalu menemukan adanya unsur gaya hidup lewat hunian dari para tokohnya.

Sebenarnya, apa yang terjadi di dalam drakor juga biasanya menyesuaikan keadaan di Korea Selatan, atau minimal mudah dinalar oleh penontonnya. 

Saya ambil contoh dengan "Full House" (2004). Drakor ini bisa masuk akal, karena saat itu mungkin harga properti masih tidak semahal sekarang.

Saat itu pun, jumlah penduduk Korsel tentu masih lebih sedikit dibandingkan sekarang. Artinya, luas lahan yang tersedia di sana masih memungkinkan bagi seorang pemuda kaya untuk mempunyai rumah tapak sendiri.

Kalau sekarang, keadaan seperti itu secara logika awam sudah sulit terjadi. Jangankan pemuda lajang bisa membeli rumah tapak sendiri, orang-orang yang sudah berumah tangga di Korsel kemungkinan masih kesulitan mempunyai rumah tapak sendiri.

Itu bisa dicontohkan dengan film "Sinkhole" (2021) yang menunjukkan betapa sulitnya mempunyai rumah, sekalipun itu adalah hunian vertikal alias apartemen. Jika merujuk pada obrolan di film tersebut, harga pasaran rumah (apartemen) berkisar 200 juta won.

Angka itu tanpa dikurskan ke nilai rupiah saja sudah sangat tinggi. Misalnya, kalau apartemen di Indonesia berkisar 200 juta rupiah, maka itu sudah sangat mahal--walaupun ada yang lebih mahal.

Baca juga: Investasi Apartemen, Apakah Benar Menguntungkan? (Melisa Emeraldina)

Bagi kaum yang gaji bulanannya 2-3,5 juta rupiah (UMR/UMP), jika tiap bulan menyisihkan 1 juta rupiah untuk menebus angsuran apartemennya, maka dia harus bekerja selama 16 tahun 8 bulan, baru lunas. Itu pun kalau hidupnya sepanjang itu.

Ini masih hunian vertikal, belum yang hunian tapak. Berapa ratus juta lagi untuk menebusnya?

Entah bagus atau tidak, faktor zaman dan pengaruh tontonan bisa membuat hunian vertikal lebih diidamkan, terutama bagi kaum milenial. Ini didukung oleh fakta tentang harga yang biasanya masih bisa lebih murah, apalagi kalau sistemnya sewa, bukan beli langsung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun