Praktik ketiga, meminimalisir pembelian air kemasan plastik. Sebelum pandemi, sebagai anak kos, saya harus rutin membeli air mineral kemasan plastik, karena saya masih belum cocok dengan air dingin hasil rebusan.
Namun, sekarang saya sudah mengonsumsi air minum hasil rebusan, karena ternyata lidah dan tenggorokan sudah mau berkompromi. Dan dengan begitu, saya mulai tidak menyumbang sampah botol plastik di tempat pembuangan sampah.
Tiga praktik itu memang terlihat sangat sederhana, dan cenderung terdorong dari faktor ekonomi. Tetapi, seiring berjalannya waktu, saya mulai berpikir bahwa kesadaran tentang pentingnya menghemat 'pengeluaran' (emisi) dari dampak aktivitas yang saya lakukan, perlu dimulai dari hal-hal sepele.
Dengan begitu, kalau saya mau membuat perubahan pada kebiasaan awal ke kebiasaan baru yang lebih berat tantangannya, tidak akan terlalu terkejut.
Selain apa yang sudah saya lakukan, saya juga masih berjuang untuk mengubah kebiasaan lain yang masih terasa berat untuk diubah seratus persen.
Yang pertama, saya masih mengandalkan kantung plastik. Bahkan, saya cenderung sengaja mencarinya untuk nanti saya gunakan membungkus sampah-sampah yang saya kumpulkan terlebih dahulu sebelum saya buang.
Yang kedua, saya terkadang masih membeli minuman kemasan yang berjenis soft-drink. Walaupun, kebiasaan ini mulai berkurang, karena sudah mulai bisa menggantinya dengan minuman hangat yang dibuat sendiri sebagai "teman" menonton bola atau MotoGP.
Yang ketiga, saya masih membeli makanan instan dan makanan ringan yang berbungkus plastik. Faktor tanggal tua, dan/atau godaan ngemil sambil menonton siaran olahraga atau film, membuat saya masih menjadi salah satu penyumbang sampah plastik yang kalau dibakar bisa menjadi bagian dari polusi udara.
Yang keempat, seandainya saya punya pendapatan berlebih, saya masih tergoda untuk membeli buku-buku cetak. Keberadaan buku cetak berarti ada kertas. Ada kertas berarti ada pabrik penghasil kertas.