Itu yang kemudian perlu dipahami dan menjadi pijakan untuk membuat konklusi, apakah kita percaya dengan vaksin atau tidak. Sekalipun saya orang yang mudah khawatir dan cenderung berprasangka buruk, biasanya saya mengambil sisi positif dan mencari cara untuk mendapatkan sisi positif itu.
Saya mencari cara agar dapat sarapan sebelum vaksinasi. Juga cara agar tidak merasakan sakit pasca vaksin, karena ditusuk jarum di lengan yang kurus tetaplah menjengkelkan.
Kemudian, saya harus punya cara agar ketika ditanya "adakah gejala tertentu pasca vaksin", saya dapat menjawabnya dengan "biasa saja".
Dua kata itu bukan untuk berbohong dan sok tangguh, tetapi memang sudah dipersiapkan sejak awal. Ada tiga persiapan, yaitu tidak memedulikan area bekas suntik, tidak membebani tangan bekas suntik, dan tidak membebani bahu bagian lengan yang disuntik.
Sebenarnya, ada persiapan yang krusial namun cenderung tricky, yaitu tidak memusatkan pikiran ke suntikan, melainkan berupaya memenuhi pikiran dengan hal-hal lain. Dengan begitu, rasa sakit akibat suntikan tidak begitu terasa.
Setelah persiapan yang antisipatif, saya mulai mempersiapkan hal-hal selanjutnya. Seperti istirahat dan seharusnya makan tepat waktu.
Setelah proses syuting, saya membalas kelalaian saya tentang dua hal itu di beberapa hari selanjutnya. Sampai kemudian genap sepekan saya sudah merasa cukup normal, dan berdasarkan inilah saya berani menjadi salah seorang penyebar pengalaman pasca vaksinasi.
Memang, saya masih menjalani vaksinasi dosis satu. Namun, ini sudah menjadi bukti kalau "tukang khawatir" dan (terkadang) "negative thinker" juga berani menjalani vaksinasi.
Kalau saya bisa, mungkin Anda juga bisa membuat keputusan antara vaksinasi atau tidak. Ini memang keputusan masing-masing, tetapi bisa juga berpengaruh terhadap orang di sekitar masing-masing.