Negosiasi selalu ada di sekitar aktivitas kita. Tidak hanya bagi yang berkegiatan secara formal, alias yang terwadahi kantor dan instansi, tetapi juga bagi yang berkegiatan di luar lingkup kantor dan instansi.
Salah satunya adalah para pekerja lepas (freelancer). Ada dua tipe pekerja lepas di sini, yaitu tipe pekerja lepas mandiri, dan tipe pekerja lepas yang membutuhkan jalinan kerja sama antara dua pihak, alias non-mandiri.
Pekerja lepas mandiri biasanya sebagian besar waktu produktifnya berasal dari upaya menghasilkan karya dan/atau upah lewat inisiatif sendiri. Contoh sederhananya, pembuat konten di Kompasiana (Kompasianer) yang biasanya membuat konten tanpa ada tuntutan dan/atau permintaan dari pihak lain.
Pekerja lepas yang sebaliknya, yaitu yang membutuhkan jalinan kerja sama antara dua pihak, biasanya akan membutuhkan calon klien yang mencari jasa, termasuk jasa kreatif.Â
Contoh sederhananya juga bisa diambil dari aktivitas Kompasianer yang bisa berpeluang mendapatkan afiliasi dengan pihak tertentu yang membutuhkan jasa kreatif berupa tulisan atau sejenisnya.
Saya juga akan memberikan contoh berdasarkan yang pernah saya alami sebagai pekerja lepas yang non-mandiri. Contoh pertama adalah ketika saya pernah mendapatkan kesempatan dari Kompasiana untuk membuat konten artikel yang berafiliasi dengan sebuah produk kategori Food and Beverage.
Boleh dibaca: Berjuang untuk Tidak Sakit dengan Tiga Pola Hidup Sehat
Saat itu, saya belum punya pengalaman bekerja sama dengan instansi untuk membuat konten yang bertujuan promosi produk. Seingat saya, saat itu juga belum pernah membuat konten berbau promosi lewat blog competition, karena saat ada Samber THR 2019 juga belum ada yang berkaitan dengan sponsor seperti saat Samber THR 2020 (tiba setelah afiliasi ini) dan 2021.
Namun, secara tidak langsung, sebenarnya dari situlah--blog competition--saya mulai mengetahui dasar-dasar membuat artikel yang tidak hanya berdasarkan kumulasi ide dan inisiatif pribadi, melainkan dari ketentuan. Ini yang kemudian bisa berubah menjadi permintaan, ketika sudah mengarah ke praktik afiliasi.
Contoh kedua adalah ketika saya mendapatkan kesempatan menuliskan naskah animasi pendek dengan komedi ringan di sebuah kanal animasi di Youtube.
Sebelum saya dipercaya membuatkan naskah untuk kanal animasi tersebut, saya diajak untuk mengisi situsnya yang saat itu baru dibuat. Agar situsnya segera menembus syarat monetisasi, maka perlu banyak konten dan secara berkelanjutan situs tersebut terus diisi.
Salah satunya adalah lewat pengunggahan cerita pendek tentang video-video animasi pendek yang sebenarnya sudah terpublikasi di kanal Youtube-nya. Ibaratnya, yang akan saya tulis adalah versi tekstual dari sumber cerita yang sama.
Memang saat ini, situsnya sudah mengalami perombakan tampilan, termasuk (seperti) menghilangnya jejak tulisan yang pernah saya buatkan. Tetapi, dari situlah kami pernah bekerja sama.
Lalu, dari sini saya mulai menemukan beberapa poin penting dalam pengalaman saya--yang masih belum seberapa--dalam bernegosiasi dengan rekan di bidang kreatif, yang kemudian saya sebut sebagai negosiasi antara penyedia jasa kreatif--bagian dari pekerja lepas--dengan klien.
Poin pertama, memahami kebutuhan klien terlebih dahulu. Mungkin, bagi beberapa orang yang belum pernah bersinggungan dengan dunia kreatif akan berpikir bahwa bekerja sama dalam ranah kreatif akan cenderung mudah, karena dunia kreatif tidak ada aturan main yang baku, alias suka-suka.
Tetapi, justru di situlah letak kesulitannya. Karena, keberadaan stereotip "suka-suka", membuat orang-orang di bidang kreatif bisa terjebak pada ego yang sama kuat di dalam praktik memulai kerja sama.
Itu yang kemudian perlu saya sadari ketika menjadi penyedia jasa kreatif. Meskipun, harus bertemu klien yang mungkin kurang mengenal disiplin dalam bidang kepenulisan, saya perlu "mendengar" terlebih dahulu konsep yang diinginkan klien.
Poin kedua, menerima dan memberi pemahaman terkait cara kerja konsep yang ditargetkan. Setelah mengetahui konsep yang diinginkan klien, si penyedia jasa juga perlu menawarkan konsep yang mungkin sedikit berbeda dari apa yang dibayangkan klien.
Selain harus memberikan argumentasi yang tepat--tidak terkesan menggurui, penyedia jasa juga perlu segera memberikan contoh atau wujud dari apa yang dapat dikerjakan setelah mendapatkan konsep permintaan dari klien. Dengan begitu, klien juga mengerti apa yang dimaksud penyedia jasa.
Jika klien setuju, maka pengerjaan yang sesungguhnya dapat dilakukan atau dilanjutkan.
Poin ketiga, belajar berkompromi. Setelah mendapatkan gambaran tentang permintaan klien dan pihak penyedia jasa juga sudah mencoba memberikan penawaran tentang perwujudan yang dapat dihasilkan, maka yang harus dilakukan selanjutnya adalah berkompromi.
Kompromi tentu tidak hanya dalam hal upaya mewujudkan karya, tetapi juga dalam hal upah. Bagian ini yang biasanya paling cepat diperhitungkan oleh banyak orang.
Padahal, sebenarnya yang paling penting dari negosiasi adalah output yang bisa dicapai oleh kedua belah pihak. Artinya, yang harus dicari kesepakatannya terlebih dahulu adalah rancangan wujud kerja samanya, bukan bayarannya.
Sekalipun, bayaran adalah target realistis bagi si penyedia jasa--termasuk saya, dia akan cenderung mengikuti apa yang dapat dicapai dari kesepakatan ide antara klien dengan penyedia jasa.
Kalau idenya tidak bertemu, bagaimana bisa mempertemukan si penyedia jasa dengan upah?
Itulah kenapa, saya pun harus berkompromi. Selain berkompromi lewat konsep yang diminta klien dengan konsep yang dapat saya wujudkan lewat naskah yang dibutuhkan, maka saya juga perlu berkompromi dengan pendapatan.
Awalnya, saya berpikir kalau sistemnya akan benar kalau saya menggunakan sistem bagi hasil dalam bentuk persenan. Namun, sistem itu terasa kurang baik kalau menyadari bahwa kerja sama ini bersifat tidak menentu, alias tidak terikat pada kerja sama yang panjang.
Lagipula, kalau berkaitan dengan kanal Youtube, kita juga perlu berpikir tentang bagaimana dan siapa yang menumbuhkan kanal tersebut. Jika yang menumbuhkan bukan saya, maka tidak mungkin saya dapat mematenkan segala hal yang ada di kanal tersebut.
Karena, karya yang melibatkan saya bisa saja dihapus oleh si pemilik kanal dengan pertimbangan tertentu. Jika sudah begitu, saya pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Artinya, saya tidak bisa menggunakan logika yang biasanya digunakan oleh orang-orang yang bekerja sama untuk membangun kanal Youtube, yaitu sistem bagi hasil. Bahkan, saya juga tidak bisa menggunakan sistem "residual" terhadap jasa penulis skenario yang diberlakukan di jagat perfilman--terutama Hollywood.
Hal itu dikarenakan apa yang terjadi di kanal Youtube masih seperti praktik dalam struktur 'kreatif akar rumput'. Artinya, sistem yang familier adalah "Anda punya apa, saya beli".
Itu tidak hanya saya alami, tetapi juga dialami oleh rekan-rekan di bidang kreatif, termasuk ilustrator. Ini yang kemudian membuat salah seorang rekan saya harus melakukan survei tentang standar upah jasa di bidang kreatif, terutama ilustrasi.
Berhubung, dirinya sudah membuka jasa untuk pasar (calon klien) internasional, maka dia harus survei tentang standar upah jasa kreatif yang pas. Dia pun menggunakan logika tentang jatah pengeluaran dalam sehari di suatu negara atau daerah di dalam negara tertentu yang dapat dijadikan sebagai patokan tepat.
Misalnya, dia melihat pasarnya di sekitar Amerika Serikat (AS), maka dia akan menggunakan standar yang pas untuk pengeluaran paling mendasar di sana, yaitu biaya makan sehari. Logika itu juga bisa diterapkan di Eropa hingga Asia.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Mungkin, karena dia sudah punya pasar di internasional, maka pasar nasional dan lokal cenderung menjadi target sampingan. Inilah yang membuat dia sudah berani menerapkan sistem 'take it or leave it'.
Sistem itu sebenarnya juga bagus untuk membangun standar yang tepat terhadap upah penyediaan jasa kreatif di Indonesia. Karena, dewasa ini, makin bertumbuh-kembangnya aktivitas kreatif masyarakat Indonesia, ternyata belum diiringi dengan intelektualitas yang tepat dalam mengapresiasi karya.
Jangankan mengapresiasi karya orang lain, mengapresiasi karya sendiri saja masih sangat rendah. Ini dapat dibuktikan dengan maraknya upah penyediaan jasa kreatif yang sangat murah, bahkan seringkali berembel-embel kebutuhan pulsa.
Fakta miris itu yang kemudian perlu diubah, terutama oleh orang-orang yang sudah mulai bersinggungan dengan pasar internasional. Memang, tidak semua negara luar punya tingkat apresiasi yang bagus terhadap karya kreatif.
Negara-negara berkembang--tidak hanya Indonesia--sebenarnya masih ada yang kacau dalam mengapresiasi karya kreatif. Bahkan, secara personal pun masih ada yang melakukan aksi ghosting setelah melakukan permintaan dan dibuatkan sketsa atau kerangka awal dari bentuk karya yang diminta.
Hal semacam itu memang masih menjadi kerikil-kerikil bahkan batu-batu besar yang dapat menyandung proses kreatif, termasuk dalam ranah kerja sama antara penyedia jasa dengan (calon) klien. Termasuk saya, yang masih menjadi pemain baru dan berada di bidang kepenulisan.
Di dalam ranah negosiasi upah terhadap penyediaan jasa kreatif, saya masih cenderung mau berkompromi. Kompromi yang saya lakukan pun tidak semata-mata karena saya sedang membutuhkan uang, melainkan ada beberapa faktor yang harus saya pertimbangkan sebelumnya.
Faktor pertama, tingkat kesulitan. Bisa diukur dari konsep dan panjang-pendek naskah. Panjang-pendek naskah berpengaruh dengan durasi.
Biasanya, orang-orang yang jarang menggunakan naskah yang benar dan baik untuk penggarapan konten audio-visual cenderung susah memastikan target halaman naskah. Di situlah peran saya untuk memberikan pemahaman tentang logika durasi dengan panjang-pendek naskah.
Faktor kedua, pengalaman. Berhubung saya saat itu belum pernah menulis naskah untuk konten audio-visual seperti animasi dan sejenisnya, maka saya juga masih sangat kooperatif dengan upah yang ditawarkan calon klien.
Faktor ketiga, jasa kepenulisan masih tidak sepenuhnya diremehkan. Dengan upah yang saya terima dengan perhitungan konsep dan durasi serta pengalaman, ternyata saya masih tidak terlalu melihat jasa kepenulisan dihargai rendah.
Memang, dibandingkan jasa ilustrasi dan animasi, jasa kepenulisan seperti masih tidak terlalu rempong. Tetapi, pada kenyataannya jasa kepenulisan tetaplah diperlukan, dan sebaiknya memang melibatkan orang-orang yang sudah berkecimpung di kepenulisan. Kenapa?
Sekalipun dianggap mudah, alias tinggal mengetik beberapa larik kalimat. Tetap saja, ciri khas tulisan dari orang yang sering menulis dengan orang yang jarang menulis akan berbeda.
Orang yang jarang menulis akan sulit membedakan antara sinopsis, cerita pendek, dengan deskripsi. Tetapi, orang yang lumayan sering menulis masih bisa membedakan mana sinopsis, cerita pendek, dan deskripsi.
Dari penjabaran sederhana ini, saya hanya ingin menyampaikan fakta bahwa dalam ranah kreatif juga perlu ada negosiasi. Negosiasi tidak untuk mencari tahu siapa yang inferior dan superior, tetapi untuk mencari kompromi.
Memang, takarannya tidak persis sama antarkedua belah pihak. Tetapi, ketika antarkedua belah pihak telah mencapai persetujuan dan berangkat dari pemahaman yang cukup selaras, maka sebisa mungkin tidak ada yang merasa dirugikan.
Bahkan, lewat obrolan saya dengan teman juga mendapatkan suatu pandangan yang tepat dalam berkarya, yaitu tidak hanya memilih salah satu di antara idealis atau realistis. Keduanya bisa dipakai dalam keadaan tertentu atau pada bagian-bagian tertentu.
Persoalan yang sering timbul dari kebuntuan negosiasi sebenarnya adalah ketidakmampuan kita untuk menempatkan idealis dan realistis. Termasuk, memilih kapan harus menggunakan salah satunya.
Jadi, selamat bernegosiasi di bidang apa pun!
Deddy Husein S.
Catatan: Sebenarnya banyak hal yang saya bicarakan dengan rekan saya yang berprofesi sebagai ilustrator tentang prosesnya berkarya berdasarkan pesanan klien. Namun, dengan berat hati, saya harus memilih pembicaraan yang spesifik mengarah ke negosiasi, terutama tentang upah jasa kreatifnya. Terima kasih banyak buat rekan saya.
Terkait:
1 Perbedaan Upah dengan Gaji
2 Minim Perlindungan terhadap Pekerja -Industri Kreatif-
3 Tentang Gaji Pekerja Industri Kreatif
Tersemat: Kompasiana.com, Youtube.com, Warganetlife.com, Support.google.com, Freshmenscreenplay.com, Twitter.com.
Baca juga: Nasib Ilustrator...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H