Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Balik Keindahan Seni untuk Mengkritik

1 September 2021   15:11 Diperbarui: 1 September 2021   15:49 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu puisi Wiji Thukul. Sumber: via Catatanpringadi.com

Membahas tentang kesenian itu menarik. Ditambah, banyak cabang seni yang makin hari juga makin beragam dan terus-menerus berupaya untuk dipopulerkan. Kepenulisan pun masuk ke ranah seni dengan yang populer adalah sastra.

Sastra ini biasanya lekat dengan puisi. Karakteristik puisi yang identik dengan permainan majas, kemudian menjadi menarik untuk dilirik oleh orang-orang yang kreatif dan inovatif dalam merangkai kata-kata (diksi).

Keberadaan majas, membuat puisi bisa dikatakan ideal untuk membungkus pesan-pesan yang sebenarnya amat lekat dengan satu hal menjadi bisa terpecah ke banyak hal. Ini yang membuat puisi sukar ditebak secara pasti.

Kelebihan ini membuat puisi cenderung banyak digunakan untuk mengkritik, terutama kebijakan pemerintah untuk masyarakat. Banyak contoh karya puisi yang bisa menggambarkan kritik.

Bahkan, ada seorang sastrawan puisi yang identik dengan kritik sosialnya, yaitu Wiji Thukul. Karyanya bahkan sering diorasikan dalam aksi-aksi mengkritik pemerintah dari masa ke masa.

Salah satu puisi Wiji Thukul. Sumber: via Catatanpringadi.com
Salah satu puisi Wiji Thukul. Sumber: via Catatanpringadi.com

Namun, seiring berjalannya waktu, puisi menjadi terlihat seperti kekurangan magis. Bukan hanya karena sastrawan puisi yang menulis puisi satir kalah banyak dengan puisi romansa, melainkan karena banyak majas mulai sudah mudah diketahui pembaca.

Banyak diksi yang juga sudah sering digunakan, membuat puisi dewasa ini kurang inovatif, alih-alih kreatif. Nahasnya lagi, dewasa ini, mulai banyak orang yang cenderung menganggap puisi seperti tulisan diari.

Kalau ingin menangis, maka segala ungkapannya menjadi sangat cengeng. Kalau ingin mengumpat pun, segala diksi yang digunakan akan menggambarkan dengan jelas tentang emosi kemarahan.

Padahal, setahu saya, puisi seharusnya masih bisa cukup "netral" dibandingkan tulisan lain. Misalnya, karya yang karakteristiknya cenderung sudah pasti tentang pengungkapan isi pikiran dan perasaan, terutama dari si penulis atau juga bisa dengan sudut pandang orang pertama, yaitu 'senandika'.

Bagaimana dengan puisi?

Puisi sebenarnya punya ragam jenis untuk dapat mewakili perasaan atau pemikiran tertentu.

Ada 'Ode', yang biasanya untuk mengungkap perasaan kagum kepada figur tertentu, atau juga dengan momen tertentu. Ada pula 'Elegi', yang bisa dikatakan mudah dijumpai karena berupa curahan perasaan sedih, yang biasanya juga digunakan kaum muda-mudi untuk curhat setelah putus cinta.

Tetapi, hal semacam itu kadang kurang diketahui terlebih dahulu tentang teorinya. Entah metode pembuatannya atau contoh pembuatannya. Biasanya, ada bentuk tulisan terlebih dahulu, baru dicocok-cocokkan dengan jenis puisi yang ada secara teoritis.

Artinya, ketika kita menyampaikan unek-unek dan lewat puisi, terkadang kita hanya fokus ke apa yang ingin disampaikan. Memang, itu penting, tetapi kalau sudah masuk ke ranah berkesenian yang artinya juga sudah berani dipublikasikan, maka akan lebih baik kalau juga diiringi dengan pengetahuan terkait pakem-pakemnya.

Tentu, tidak bisa disangkal kalau seni itu bebas. Tetapi, adakah kesenian yang memang sepenuhnya bebas?

Setahu saya, tidak ada seni yang seratus persen bebas. Kenapa bisa begitu?

Bukti sederhananya adalah keberadaan aliran di tiap cabang kesenian. Misalnya, di musik. Ada aliran pop, rock, jazz, dangdut, dan seterusnya.

Atau, yang sudah disebutkan tentang ragam jenis puisi. Seperti 'Ode', 'Elegi', hingga 'Satir', yang juga bisa disebut sebagai contoh keberadaan aturan main dalam berkesenian terutama dalam sastra.

Namun, sebelum kita dipusingkan dengan aliran, kita harus berhadapan dengan gerbang yang menurut saya paling berat, yaitu kreativitas dan inovasi.

Sudahkah kita bisa kreatif dan inovatif?

Menurut saya, kunci dari kreatif dan inovatif adalah keberadaan pengetahuan dan pengalaman. Kalau kita sudah punya keduanya, maka kita punya potensi untuk kreatif dan inovatif.

Makin tinggi pengetahuan dan pengalaman, kreativitas dan inovasi juga akan meningkat. Itu logikanya.

Lalu, bukankah karya seni perlu imajinasi?

Betul. Tetapi, imajinasi kita sebenarnya kalau disadari betul maka hulunya adalah pengetahuan dan pengalaman. Bahkan, mimpi yang kita punya saat tidur pun hulunya adalah informasi-informasi dan pemikiran-pemikiran yang ada saat kita sadar.

Atau, contoh sederhananya adalah ketika kita merasa bahwa kita sudah mampu makan sendiri tanpa perlu disuapi. Di situ kita kadang lupa tentang terjadinya proses transfer pengetahuan tentang cara makan yang benar dari orang tua kita.

Akibatnya, kita seolah-olah merasa memang secara naluriah akan menggunakan tangan untuk makan. Padahal, kalau kita tidak pernah melihat orang tua kita makan dengan menggunakan tangan, apakah kita akan menggunakan tangan untuk makan?

Ilustrasi ini tentu tidak bermaksud untuk merujuk pada difabilitas, melainkan tentang keberadaan transfer pengetahuan dan pengalaman dari satu orang ke orang lain. Inilah yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang terkadang seperti tidak (ingin) disadari.


Ketidaksadaran ini yang kemudian bisa menimbulkan pemikiran bahwa kita bisa melakukan apa saja karena kita bisa, bukan karena kita tahu terlebih dahulu. Alur ini seperti sudah tidak dipikirkan lagi, karena seolah-olah kita sudah menganggap itu sudah paten di dalam diri kita.

Imbasnya, tidak jarang kita mulai merasa bahwa diri kita adalah empu dari segala pemikiran yang ada di dalam pikiran kita. Kita seperti tidak lagi memperhatikan bagaimana kita bisa memikirkan enaknya bakso tanpa memikirkan kejadian tentang bertemunya kita dengan penjual bakso.

Itu yang kemudian membuat kita berpikir bahwa kitalah yang sedang memikirkan itu. Kitalah yang punya sumber informasi itu. Padahal, bisa saja tetangga kita juga sedang memikirkan enaknya bakso yang sama, karena penjual baksonya memang berkeliling di sekitar komplek itu.

Lalu, apakah penting kita tahu kalau orang lain juga memikirkan hal yang sama dan/atau sebaliknya?

Dalam urusan literasi, itu penting. Karena, apa yang tersampaikan dalam sebuah informasi, idealnya bisa mewadahi fakta di luar dan di dalam, sekalipun berbeda persentasenya.

Memang, yang mengabadikan informasi itu adalah satu orang yang biasanya ada di satu posisi, tetapi di balik itu, bisa saja ada orang lain dari posisi yang berbeda dan ia membantu untuk pembangunan informasi menjadi sedemikian rupa.

Pembedahan informasi perlu dilakukan agar tidak sekadar menerima dan menyebarkan suatu informasi. Berasumsi memang bukan kesalahan, karena itulah pekerjaan otak kita. Tetapi, kalau apa yang kita asumsikan akan kita sampaikan di forum besar maupun kecil, maka seyogyanya ada pertemuan terlebih dahulu antara asumsi dengan fakta.

Fakta itu bisa disebut secara luas dengan nama literasi, juga bisa disebut secara spesifik dengan nama referensi. Referensi kita apa sampai dapat menghasilkan asumsi sedemikian rupa.

Proses inilah yang kemudian perlu menjadi bagian dari apa yang akan kita lakukan sehari-hari, termasuk dalam hal berkarya. Karya juga salah satu wujud dari informasi yang ingin disampaikan si pembuat ke publik atau penikmat.

Makin luas jangkauannya, maka makin besar pula keharusan kita untuk memproduksi karya yang dapat dipertanggungjawabkan secara benar. Makin luas jangkauan, juga makin perlu kita mencari referensi-referensi yang relevan dan berdasarkan zona jangkauan dari karya kita.

Sederhananya, dua orang yang lama menongkrong bareng pasti sudah hafal dan paham dengan candaan yang saling mereka lontarkan. Tetapi, ketika masuk satu orang yang jarang menongkrong bersama mereka, maka cara dan bentuk candaannya tidak bisa hanya berkutat pada dua orang itu.

Artinya, yang satunya juga perlu dilibatkan. Kalau tidak begitu, orang yang baru menimbrung pasti belum paham dengan candaan khas dua orang tersebut.

Pola dasar itu juga berlaku dalam pertukaran informasi lewat karya, terutama karya seni. Baik itu lukisan, animasi, film, novel, hingga puisi.

Karya-karya tersebut juga perlu adanya proses literasi dan terutama punya dasar referensi yang tepat. Kalau tidak, maka karya seni kita bisa saja menjadi kurang inovasi dan minim kreativitas.

Hal itu bisa terjadi, karena faktor terlalu percaya diri kita terhadap modal informasi yang ada dari diri sendiri atau dari lingkungan terdekat. Sebenarnya, mewakili lingkungan terdekat sudah termasuk satu langkah lebih maju dari sekadar mengungkapkan pemikiran atau pengalaman sendiri.

Tetapi, terkadang lingkungan terdekat bisa saja menjadi anomali bagi kenyataan di lingkungan yang lebih luas. Kita perlu memperhatikan hal ini, karena pada akhirnya sekecil dan sesimpel apa pun karya kita nantinya juga akan menjangkau lingkungan-lingkungan yang awalnya tidak kita sengaja untuk menjangkaunya.

Daya jangkau itu sangat berkaitan dengan keberadaan media komunikasi dan informasi dewasa ini yang makin canggih dari sebelumnya. Itulah kenapa, perlu juga disikapi dengan persiapan yang lebih baik.

Sama halnya dalam upaya mengkritik suatu peristiwa nyata lewat seni. Sebelum melakukannya, si pembuat karya seyogyanya sudah mempersiapkan konsep yang tepat, dan memperkirakan dampaknya akan seperti apa untuk dirinya maupun orang lain yang mengetahui karya tersebut.

Berbicara tentang karya seni terutama yang beraliran satir, selalu berkaitan dengan dampak, terutama dampak sosial. Ini dikarenakan, karya satir sebenarnya identik dengan keresahan sosial, sudah bukan lagi individual.

Kalau masih fokus individual, ada yang namanya 'elegi' dan 'senandika'. Dua jenis ini masih bisa mewadahi keresahan individual, dan bisa lebih intim terhadap personalitas.

Tentang Senandika. Sumber: Educalingo.com/senandika
Tentang Senandika. Sumber: Educalingo.com/senandika

Namun, kalau sudah mengarah ke satir, idealnya itu ada kumulasi keresahan dari beberapa subjek, ada pertukaran pengalaman, dan adanya kroscek pengetahuan. Artinya, ketika seseorang sudah berani membuat karya satir, dia sudah tidak lagi sekadar curhat tentang hidupnya, melainkan mewujudkan kepeduliannya terhadap situasi di sekitar.

Tentang satir. Sumber: Google/search: what is satire
Tentang satir. Sumber: Google/search: what is satire

Dari sinilah kemudian, tanggung jawabnya akan ditambah dengan tuntutan kreasi dan inovasi. Membuat saja tidak cukup, tetapi perlu berinovasi.

Satir haruslah satir. Dia akan lebih menuntut terciptanya proses kontemplasi dari penikmatnya alih-alih sekadar reaksi. Berbeda dengan aliran lain, yang lebih mengharapkan kecepatan transfer pemahaman informasi dari si pembuat ke penikmatnya.

Satir seharusnya tidak semudah itu. Kadangkala dia bisa membuat dahi bekernyit terlebih dahulu, sebelum mulut membentuk huruf 'O', atau tergelak tertawa.

Ilustrasi karya satir yang perlu dikulik bersama pembuatnya. Sumber: via Hub.jhu.edu
Ilustrasi karya satir yang perlu dikulik bersama pembuatnya. Sumber: via Hub.jhu.edu

Itulah kenapa, ketika ada karya-karya seni yang diklaim sebagai bentuk kritikan namun ternyata gampang ditebak maksudnya, jangan-jangan itu bukan satir. Mereka lebih cocok disebut sebagai letupan-letupan ekspresi yang bagai ayam tanpa kepala, dan biasanya seperti anak baru gede.

Ingin cepat eksis dan disebut sebagai barisan pembela rakyat. Padahal, mengisi perut sendiri saja masih minta orang tua. Bagaimana bisa membela rakyat?

Sebenarnya, saya salut dengan orang-orang yang mau mengerahkan talenta berkeseniannya untuk mewujudkan aspirasi komunal. Namun, alangkah baiknya jika diawali--atau jika terlambat harus segera diiringi--dengan pemahaman tentang dasar-dasar berkesenian.

Jangan mudah terbuai dengan "seni itu bebas" atau "seni itu tidak ada yang salah". Karena, itu hanyalah angan-angan abadi. Selama seni itu ditumbuhkan, dirawat, dan dikembangkan oleh manusia, selama itu juga dia akan punya batas-batas, ciri-ciri, dan perdebatan yang tiada akhir.

Hingga pada akhirnya, seni yang awalnya untuk mengkritik, juga memunculkan kritik untuk seni. Ini bisa terjadi karena, manusia selalu ingin menciptakan nilai-nilainya sendiri dan zona nyamannya masing-masing, termasuk lewat kesenian.

Malang, 20-31 Agustus 2021
Deddy Husein S.

Terkait: Liputan6.com, Kompas.com 1, Kompas.com 2, Kapanlagi.com, Gramedia.com, Zonareferensi.com, Artandpopularculture.com, Kompas.com 3, Journal.unnes.ac.id (pdf), Hardrockfm.com, Ketik.unpad.ac.id, Catatanpringadi.com, Media.neliti.com (pdf), Repository.unpar.ac.id, Hub.jhu.edu.
Baca juga: Menjadi Penulis pun Seperti Menjadi Atlet
Tersemat: Hellosehat.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun